Bagaimanakah nasib industri wewangian di era pandemi? Masihkah orang-orang bisa menghirup harumnya aroma Yves Saint Laurent seharga jutaan rupiah, sementara di tempat umum, hidung mereka harus mendekam di balik masker?

Hidung sebagai organ tubuh yang bertanggung jawab untuk mengurus segala jenis aroma, menangkap rangsangan informasi paling sedikit di bandingkan keempat indera lainnya.

Coba amati kembali, informasi apa yang kita dapatkan dari indera penciuman hari ini. Dalam kasus rutinitas ketika hendak makan siang, misalnya. Pandemi mengharuskan orang-orang untuk meminimalisir pergerakan di luar rumah, walaupun untuk sekadar makan siang di warung makan dekat tempat kerja.

Tidak ada pilihan lain selain harus memesan melalui aplikasi ojek online. Kita akan berhadapan dengan ratusan menu makanan dan minuman dalam bentuk gambar. Sajian plating yang mampu membuat kita meneteskan air liur, itulah yang akan dipilih. Dalam proses ini, informasi dari indera penglihatanlah yang paling berpengaruh untuk menentukan menu makanan.

Selama proses memilih menu makanan, jemari terus bergerak naik-turun di layar smartphone. Tanpa scrolling, kita tidak bisa membandingkan menu makanan apa saja yang layak dicoba siang ini. Layar smartphone yang mulus, membuat indera peraba kita betah berlama-lama mengelusnya.

17 menit menunggu, pesanan pun tiba. Kita pun tak sabar untuk segera memanjakan indera perasa. “Apakah lidahku akan merasakan rasa pedas gila seperti yang terlihat oleh mataku?” Di sini otak akan membandingkan informasi yang diperoleh dari mata dan lidah, sebelum menyimpulkan hidangan balado telur siang ini “enak” atau “tidak enak”.

Sembari makan siang, obrolan pun terjadi. Salah seorang kawan berkomentar bahwa balado telur siang ini terlalu pedas. Kawan lain berpendapat, menu makan siang ini lebih enak daripada kemarin.

Indera pendengaran kita memperoleh informasi tambahan tentang menu makan siang hari ini. Membuat kita memikirkan ulang kesimpulan yang terlanjur kita ambil berdasar informasi dari mata dan lidah.

“Benarkah menu makan siang kemarin enggak seenak hari ini? Sayangnya, aku tidak berangkat kemarin. Aku tidak bisa membandingkan.”

Menu makan siang telah habis. Menyisakan sejumput sambal tomat pedas yang cukup membuat dahi berkeringat. Tapi tunggu dulu, bagian mana dari proses makan siang ini yang melibatkan indera penciuman?

“Bukankah kita telah menghirup aroma rempah dalam bumbu telur balado siang ini?” Benarkah? Bukankah aroma rempah akan merebak keluar ketika bumbu telur balado ditumis atau ketika hidangan itu baru saja ditiriskan dari wajan?

Kita tidak bisa menghidu aroma rempah itu karena indera penciuman tidak hadir langsung di dapur warung makan. Sementara telur balado yang telah dibungkus sedikit demi sedikit kehilangan aroma bumbu rempahnya karena kabur terbawa udara selama pengantaran.

Proses pemesanan makanan di era pandemi, semakin mengerdilkan peran indera penciuman manusia. Selain itu di pandemi Covid-19, mengharuskan masyarakat untuk menutup indera penciuman mereka ketika berada di luar rumah.

Dibandingkan dengan empat panca indera lainnya, indera penciuman terasa lebih intim (private). Sebab diperlukan kondisi khusus agar indera penciuman benar-benar bisa menyadari kehadiran aroma kemudian mengambil keputusan berdasarkan informasi aroma yang diperolehnya.

Paling Miskin Kosa Kata

Indera pengllihatan mampu mengidentifikasi banyak hal. Melalui mata, kita bisa mengenali suatu obyek berwarna merah, hitam, atau ungu. Ukuran, bentuk, tekstur, dan suhu dapat dikenali berdasarkan perpaduan informasi yang diperoleh dari indera penglihatan dan peraba. Hasilnya, ukuran, bentuk, tekstur, dan warna memiliki puluhan kosa kata turunan yang bisa dipahami untuk menjelaskan suatu obyek.

Indera pendengaran juga mampu mengidentifikasi suara merdu, parau, fals, cempreng, ngebas, hingga berisik. Dunia tarik suara bahkan mengklasifikasikan suara pria dan wanita ke dalam beberapa jenis. Indera pendengaran juga memiliki ekspresi kata yang tidak kalah kaya.

Bagaimana dengan indera pengecap? Puluhan kata selebgram dan youtuber yang sedang disewa untuk endorse makanan, sudah cukup untuk mengekspresikan rasa yang dirasakan indera pengecap.

Sementara itu, informasi dari indera penciuman sangat sulit diekspresikan dalam kata-kata. Sejauh penelusuran saya, kata untuk menjelaskan bau hanya ada tiga: anyir/amis, harum/wangi, dan busuk.

Tidak terlalu sulit untuk menjelaskan kata pertama. Kata ini dikhususkan untuk mengekspresikan aroma ikan yang baru tiba di TPI (Tempat Pelelangan Ikan) atau aroma darah yang tercecer dari tubuh korban penusukan petang kemarin.

Namun ketika kita berhadapan dengan kata kedua dan ketiga, kosa kata tersebut menjadi sangat bias. Kita akan sulit mengekspresikan aroma wangi bawang yang digoreng ibu pagi tadi dengan aroma harum parfum yang dikenakan kekasihmu ketika dinner semalam. Kita akan menyebut keduanya sebagai aroma yang harum/wangi, meskipun bersumber dari dua obyek berbeda.

Demikian juga dengan kosa kata “busuk”. Kita tetap menyebut aroma bangkai tikus yang mati di kolong tempat tidur dan bau kentut seorang kawan sebagai dua hal yang sama-sama berbau busuk.

Ditambah lagi, kata “busuk” juga harus berbagi makna dengan buah yang terlampau matang dan sikap seseorang yang dipandang buruk di tengah masyarakat.

Sangat sulit untuk mengekspresikan aroma, bukan? Atau mungkin kamu menemukan kosa kata lain untuk menjelaskan aroma? Tolong ceritakan padaku.

Masihkah Manusia Membutuhkan Hidung?

Jawabannya tentu saja, “iya”. Namun bukan hidung sebagai satu organ tubuh yang tunggal. Melainkan hidung sebagai organ yang menyatu dengan wajah untuk memenuhi estetika keindahan. Hidung beralih fungsi menjadi ukuran kecantikan atau ketampanan seseorang. Istilah hidung mancung dan hidung pesek sudah cukup untuk mendeskripsikan peralihan sudut pandang ini.

Orang-orang Indonesia yang mayoritas berhidung pesek, sangat mendambakan hidung orang-orang Arab yang terlihat mancung. Operasi plastik dan suntik silikon menjadi pilihan untuk mengubah bentuk hidung demi kepentingan estetika fisik.

Masih ingat dengan cerita Pinokio? Pinokio yang berhidung panjang pun hanya dilihat perubahan bentuk fisik yang dikaitkan dengan persoalan moral. Hidung Pinokio akan memanjang jika ia berbohong. Carlo Collodi tidak pernah menyinggung, apakah kemampuan indera penciuman Pinokio turut meningkat ketika hidungnya semakin memanjang.

Belantara aroma masih memiliki banyak misteri yang menunggu untuk disingkap. Peradaban manusia yang bertumpu dari empat indera memang patut diakui telah mengalami perkembangan sangat pesat. Namun tidak dengan indera kelima yang bersinggungan dengan persoalan aroma.

Sekarang, coba rabalah hidungmu. Masihkah hidungmu berada pada tempatnya? Jika masih ada, lantas mengapa hari ini tidak ada informasi yang masuk ke dalam otak melalui indera penciumanmu?

Nashokha

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.