SAPARDI KINI
Puisi kini ingin menjadi
tanah bagi makammu
Hujan yang kautuliskan itu
Ingin selalu setiap pagi
jadi rintik rindu yang gemanya
menjadi gumam sunyi
di hadapan kematian.
Bahwa kematian bukan
akhir dari batas usia
Kematian adalah ayat-ayat api
yang dikumandangkan kehidupan—
yang tak lain merupakan
jalan kepulangan bagi waktu.
Bahwa kematian telah meninggalkan
warna muram di ruang senyap dalam benak.
Bahwa kematian telah melipat jarak
Antara yang sepi
dan yang riuh di dada kami.
Sendirian kini kau dipeluk puisi
yang belum sempat kautuliskan;
Puisi paling indah
yang mungkin pernah ada.
Rasa sakit yang kaupesan
di restoran itu kauwariskan
pada sajak-sajakmu
untuk ditularkan pada kami.
Lalu kau pergi,
dan kepergianmu adalah pandemi—
Wabah kesedihan yang sangat cepat menular
dan cuma bisa sembuh
oleh ‘pada suatu hari nanti’.
Kau memesan rasa lapar
untuk dihidangkan di meja perjamuan
Dan kau mengundang kami
untuk melahap habis nyerinya.
Aku tahu kini
Batu di tengah sungai terjal
yang kau pesan itu ternyata
untuk kautanam sebagai nisanmu.
Apakah kata-kata kini
juga harus mengiring jenazahmu
Seperti ketika kata-kata
mengarang bunga dalam tidurmu?
Apakah Den Sastro & Soekram & Suti
Turut mengirimkan karangan bunga
Atau justru memunguti jejak-jejak kakimu
Yang tertinggal di masa lalu
Atau bertakziah di rumah yang kini
Kosong oleh kehadiranmu?
Ah, mereka pasti sedang berduka
Dan mengucapkan belasungkawa
Kepada dirinya sendiri
Yang ditinggal mati
Oleh pengarangnya
Hujan turun di bulan Juni,
tapi basahnya baru sampai di bulan Juli.
Hujan dalam puisimu kini
melahirkan petir yang berkilat di mataku.
Kau sengaja membuat hujan
tanpa sekali pun menyediakan payung
semata agar tubuhku menggigil oleh kenangan
Maka ketika para pelayat menandu kerandamu,
kau segera memindahkan hujan
dari langit ke mata kami.
Betapa hening ajal!
Dalam doamu—sesuntuk lima waktu,
Kutahu betapa cinta
tak mengutamakan kebahagiaan
Betapa kau cuma menginginkan keselamatanku.
Sonet demi sonet kaurangkai
untuk kemudian diterjemahkan
sebagai burung yang membenci gergaji,
Bayang-bayang yang tak mau pusing
siapa yang telah menciptakannya.
Perahu kertas yang berlayar di banjir bandang
Sita yang menuntut Dalang mengapa
Kecantikannya dilarang untuk dieja
Ia yang ingin menangis sambil berjalan
tunduk sepanjang lorong itu
ternyata tengah menuju pemakamanmu,
Gadis kecil itu kini keluar dari sajakmu
dan sedang terisak sambil menaburkan
hujan di atas pusaramu.
Kini tak ada lagi suara ketukan di pintu,
tak ada lagi bunyi capung di kolam,
tak ada lagi mata pisau yang berkilau
membayangkan urat leher,
tak ada lagi jarum jam
yang memintal kefanaan,
tak ada lagi yang tersisa dari kobar api
yang rela menghangatkan sepiku —
hanya terdengar suara DukaMu Abadi
yang tak henti-hentinya dinyanyikan ketiadaan.
Selamat jalan.
Suatu saat biarkan aku menjadikanmu
sesuatu yang tak letih-letihnya kucari,
sesuatu yang sebetulnya
tak pernah hilang
dari kepergian itu sendiri.
Usman Arrumy, Kairo 19 Juli 2020
Hujan deras dibulan juli 🥀
Meninggalkan jejak