Dua Masjid, Satu Cinta (Bifurkasi Simulakrum dalam Beragama)

Setelah empat puluh tahun berselang, dua karib yang tak terpisahkan sewaktu kecil dulu akhirnya didudukkan dalam situasi teramat genting. Menjadi pesakitan. Moek dan Is—nama panggilan mereka ketika remaja—“disidang” oleh iparnya sendiri, Anwar. Perkaranya memalukan, gara-gara kedua putranya bertengkar dan adu-jotos ketika sedang dalam rapat desa. Bukan cuma itu. Persoalannya, baik Moek (Fauzan) dan Is (Iskandar) adalah tokoh agama di masing-masing masjid di Centong. Moek memangku Masjid Selatan, sedangkan Iskandar penggede Masjid Utara.

Novel bertajuk Kambing dan Hujan karya Mahfud Ikhwan ini menghadirkan potret sebuah desa yang disesaki romantika, cinta, tangis, nestapa, harapan, dan bifurkasi dalam beragama. Alkisah, desa kecil bernama Centong harus dibelah oleh dua masjid yang hanya dipisahkan jalan dan sepelemparan tanah yang tak seberapa jauh. Bahkan suara adzan yang dikumandangkan dari kedua masjid terdengar jelas satu dengan yang lain.

Bifurkasi dua masjid di satu desa tersebut mungkin tak menjadi perkara pelik jika dibangun dengan alasan ketidak-tertampungan jamaah di masjid yang satu, sehingga mengharuskan berdirinya masjid baru. Atas alasan yang seperti ini, bisa dipastikan semua orang akan memberikan pemakluman. Namun, apabila pembangunan “masjid baru” ditujukan untuk membuat distingsi dengan “masjid lama”, tak heran jika menimbulkan riak-riak dan sak-wasangka.

Ya. Novel pemenang I Lomba Novel Dewan Kesenian Jakarta 2014 ini mengangkat “profil” dua organisasi Islam terbesar, NU dan Muhammadiyah, di Indonesia sebagai latar belakang sekaligus latar persoalan cerita. Dengan berbekal sinopsis di sampul belakang pembaca mudah saja menebak bahwa persoalan yang diangkat oleh penulis merupakan persoalan klasik antara dua organisasi tersebut. Tapi, jangan dikira, pembaca akan dengan mudah menyederhanakan persoalan yang diperkarakan penulis.

NU sebagai representasi Islam tradisional dan Muhammadiyah bergelar Islam modern tak pelak “ditelanjangi” dengan jenaka oleh penulis. Saya, sebagai pembaca, dibuat terpingkal-pingkal membaca kejenakaan yang muncul dari dua karib yang, awalnya, tak bisa dipisahkan, Yakni Moek dan Is, ketika berdebat hal-ihwal peribadatan yang berbeda satu dengan yang lain. Perdebatan yang terjadi bukan omong kosong karena keduanya digambarkan dua anak muda dengan tingkat kecerdasan di atas rata-rata, disertai kemampuan literatur keagamaan yang istimewa.

Meski Is tidak seberuntung Moek yang berkesempatan melanjutkan ngaji di pondok setelah tamat dari Sekolah Rakyat (SR), namun Is memiliki kecerdasan dan kengototan untuk terus belajar meski harus putus sekolah (bukan putus belajar). Tak berhenti di situ, Is juga memanfaatkan kehadiran Cak Ali, seorang guru yang sangat dihormati. Dari Cak Ali pula, Is mendapatkan pengetahuan-pengetahuan baru tentang pengajaran agama yang berbeda dengan apa yang telah mentradisi di Centong. Kedatangan Cak Ali bisa dibilang sebagai titik awal perubahan Is menjadi seorang tokoh Islam modern di Centong.

Pergerakan yang digagas oleh Cak Ali, Gus Dul, Manan, dan tentu saja Is menyembulkan ketegangan di Centong. Para tetua desa menilai, mereka tidak memiliki sopan santun dalam bersosialisasi. Tidak punya unggah-ungguh kepada orang tua, yang telah sejak lama menjaga tradisi sebagai jembatan untuk melakukan ritus agama. Mereka menyalahkan tahlil, selametan, mempersoalkan dua adzan dalam shalat Jumat, bahkan perdebatan khas yang selalu diulang mengenai metode yang digunakan untuk menentukan jatuhnya kalender Hijriyah, seperti menentukan puasa atau lebaran.

Bagi saya, novel ini tidak sekadar warta mengenai kisah sebuah desa, atau sebagaimana disebut oleh Zen Hae dalam komentarnya di sampul buku sebagai “sejarah sebuah kampung”. Bukan pula sekadar romantika cinta yang mempertemukan Miftahul Abrar  dan Fauzia. Lebih dari itu, novel ini ibarat miniatur Indonesia dengan segala dinamika sosial dan agamanya. Namun lebih khusus membahas dunia Islam dan segala macam turunan pergesekan pemikiran di dalam.

Sebagaimana maklum, dinamika kegamaan di Indonesia selalu menemui titik didih dan titik jenuh. Titik didih mengemuka ketika berbagai persoalan keagamaan yang melibatkan banyak organisasi agama membuat riuh dan runyam. Betapa kasus kekerasan atas nama agama kerap dipertontonkan di muka umum seolah-olah murni persoalan agama belaka, tanpa dirunut benang merah yang lupa dieja.

Sedangkan titik jenuh kentara ketika segala persoalan tersebut hanya hingar-bingar di belakang tanpa ada penyelesaian yang komprehensif. Titik jenuh itu juga bisa dibaca dari perdebatan tahunan yang tak pernah berkesudahan, melibatkan NU dan Muhammadiyah. Terutama antusiasme masyarakat yang selalu tergugash terhadap penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal yang telah berlangsung bertahun-tahun.

Padahal, di balik itu semua, ada hal yang tak terungkap dan dicermati oleh masyarakat. Bahwa terdapat suatu kompleksitas tersendiri ketika membincangkan apa yang sering disebut dengan “konflik agama”. Narasi yang dibuat Mahfud, dengan menghadirkan sosok Mif dan Zia, di tengah kebencian dan permusuhan yang telah menua dan tetap kuat di Centong menawarkan harapan tentang suatu masa depan yang lebih bersahabat.

Mif, putra tokoh Muhammadiyah bernama Iskandar, dan Zia, putri kesayangan abah Fauzan, tokoh NU di Centong. Mereka jatuh cinta satu sama lain dan terlupa bahwa ada lubang menganga yang harus mereka lompati. Ada kenangan-kenangan buruk yang mempertautkan kedua bapak mereka: dua saudara tanpa ikatan darah yang harus “bersengkata” selama empat puluh tahun lamanya. Masa lalu yang membikin Moek dan Is berubah menjadi orang lain. Salah satu sebabnya adalah Yatun: ibu kandung Zia; mantan kekasih hati Iskandar yang telah bersuamikan Fauzan.

Seusai membaca novel ini, saya memiliki ikhtisar berikut ini. Jika dulu Ehma Ainun Najib (Cak Nun) pernah berujar bahwa Indonesia Bagian dari Desa Saya (1992), maka kini, lewat novel ini saya justru menyangka bahwa jika kita ingin melihat bagaimana wajah Indonesia sebenarnya tengoklah desa-desa dengan segala dinamikanya. Karena wajah desa adalah wajah negaranya. Dengan begitu adalah wajah kita semua.

—AHMAD KHOTIM MUZAKKA, Warga NU

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.