Dalam sebuah narasi dikatakan, bahwasannya Drs. Musthofa Mahmud pernah mengungkapkan sebuah pesan;
الحبّ ليس المعصية… المعصية ان تتلاعب بمشاعر البعض تحت مسمى الحب.
‘Cinta bukanlah maksiat… maksiat itu, mempermainkan perasaan sebagian orang, atas nama cinta.’
Jika berbicara tentang cinta, kita sering mengaitkannya dengan hubungan kasih sayang antara dua orang (pasangan), kasih sayang kekeluargaan, persahabatan dan lain sebagainya.
Pengklasifikasian makna cinta seringkali disalahartikan di kebanyakan masyarakat hari ini. Tak jarang, anggapan tentang cinta pastilah menjuru pada hal-hal negatif semata jika tidak cepat ditindak lanjuti.
Sebagaimana pacarannya anak remaja dengan kedok cinta. Sampai pada hal tak laik lainnya, seperti perselingkuhan suami istri yang beralibikan cinta pertama/sudah tak saling cinta dan masih banyak cinta-cinta lainnya yang sesungguhnya sangat jauh berseberangan dengan esensi cinta itu sendiri. Bahkan, tak jarang yang justru bermakna paradoks.
Salah satu filsuf era klasik, Pytagoras pernah melayangkan sebuah konsepsi bahwa asmara/cinta adalah keserakahan yang terlahir dari dasar hati. Ia bergejolak dan berkembang, mendominasi dan mengundang hadirnya kerakusan.
Bukankah sebenarnya itu semua hanyalah buah/imbas dari rasa cinta yang berlebih?
Walhasil, dari senarai persepsi negatif yang sering melatarbelakangi kata cinta inilah yang akhirnya sedikit demi sedikit membuat kata ‘cinta’ menyandang akreditasi ‘angker’ dalam pandangan masyarakat.
Bukankah jika kita menilik esensi sejatinya, kata cinta memiliki makna yang begitu agung nan bijaksana? Penyair dan sastrawan muslim Jalaluddin Rumi, beliau pernah menuliskan sebuah pesan memikat tentang cinta dalam diwannya;
”Kau harus hidup di dalam cinta, sebab manusia yang mati tidak dapat melakukan apapun. Siapa yang hidup? Dia yang dilahirkan oleh cinta.”
Begitu agung dan sarat makna bukan?
Di dalam dunia kepesantrenan sebut saja, sering kali kita jumpai istilah seperti; tabarrukan (ngalap berkah), tawashulan (lantaran) dan lain sebagainya. Yang tak dapat kita pungkiri, asal muasal dari lahirnya istilah tersebut merupakan implementasi dari kata mahabbah (cinta).
Seorang santri yang mengabdikan dirinya kepada sang kyai ataupun pesantren, tak jarang memiliki tujuan khusus yaitu ngalap berkah. Karena kunci dari kemanfaatan ilmu seorang santri adalah ridho dari masyayikh-nya (guru).
Oleh sebab itu, cinta seorang guru dapat menarik keridha-an atas ilmu yang beliau sampaikan. Dan ridha itulah yang menjadi kunci dari keberkahan ilmu seorang santri.
Masih banyak hal ihwal positif tentang cinta jika kita lihat dari kacamata orang yang paham atas makna cinta itu sendiri.
Sehingga sajak di atas bisa kita ungkap untuk menampik perspektif keliru masyarakat tentang cinta.
Bahwa cinta bukanlah suatu maksiat. Bahwa maksiat adalah mempermainkan perasaan seseorang dengan mengalibikan cinta.
Namun, konsensus apa pun yang digunakan untuk melabeli kata cinta, bukanlah masalah besar. Sebab, yang paling berhak menamai apa itu cinta adalah penikmat cinta itu sendiri.
Setiap orang memiliki ceritanya masing-masing tentang cinta, sehingga ia menyebutnya dengan ungkapan demikian (atau pun demikian). Bukankah kata Jalaluddin Rumi; “tak ada yang kita tau tentang cinta, kecuali namanya.”
Ditulis oleh: Fika Inama Sari, Penikmat kopi dan pecinta malam hari. Mengenyam pendidikan di Ponpes Al-Anwar Pakijangan.