Malam senin di tahun 2011, saya merasa sudah lama sekali tidak sowan Abah (KH. Dimyati Rois, Kaliwungu). Untuk kalangan santri, saya tampaknya yang paling sering sowan meski sekadar salaman. Tradisi santri di Djagalan, untuk keluar ke pasar saja harus matur kepada Abah. Saya sering ikut para santri matur Abah meski tidak pernah ikut ke pasar. Saya hanya ingin salim.

Kadang-kadang, saya ikut curi-dengar saat ada tamu. Saya duduk di mulut pintu agar bisa mendengarkan dawuh-dawuh Abah. Dan malam itu, saya merasa sudah lama tidak mendengar dawuh Abah dan benar-benar merasa kangen bagaimana Abah dawuh, kangen bagaimana Abah tersenyum.

Tapi, permasalahan apa nanti yang hendak saya ajukan kepada beliau? Saya memutar otak mencari-cari bahan agar terjadi sebuah perbincangan dengan Abah. Akhirnya, saya mendapatkan ide, Tanya persoalan nasab saya, Tanya nama-nama simbah saya dan bagaimana urutannya.

Ini persoalan sensitif. Bila saya tanyakan itu, artinya saya sekaligus menginginkan sebuah satu pengertian tentang dunia gaib dari Abah. Dan bila nanti Abah kebetulan menjawabnya, artinya itu mengkonfirmasi kebenaran cerita dari luar yang menyebut bahwa Abah ahli nasab. Ahli genealogi. Mengingat bapak saya tidak pernah (atau sebenarnya tidak tahu persis?) menunjukkan urutan nasab keluarga.

Hal itu antara lain yang mendorong saya untuk menjadikan nasab sebagai bahan untuk sowan. Sebenarnya, persoalan nasab bukanlah materi utama yang ingin saya ketahui. Tujuan utama saya ingin sowan malam itu cuma ingin menuntaskan kangen dengan cara mendengarkan dawuh abah. Tak lebih.

Di depan ndalem, sudah ada enam tamu menunggu, tujuh termasuk saya. Dan saya menjadi satu-satunya santri yang ikut masuk ndalem. Lainnya, tamu dari luar. Tepat jam 11 malam, Abah mempersilakan semua masuk.

Satu tamu curhat soal ekonominya yang sedang tidak stabil. Abah kemudian cerita.

Dulu ada orang yang bekerja mengangkut batu, dan yang diangkat cuma satu batu besar. Dia berjalan selama tiga bulan sambil mengangkut satu batu untuk kemudian dijual. Tapi Gusti Allah mencukupi rizkinya.

Ada orang lagi yang datang ke sini, cerita soal warung makannya tidak laris, lalu saya ajak dia ke warung makan Pekalongan. Saya tidak bicara apa-apa, saya hanya ingin mengajak dia makan di warung makan yang laris. Setelah pesan dan makan, saya menanyai dia. “Bagaimana, Bapak? Sudah tahu resep warung makan laris?”

Orang tersebut langsung bilang terima kasih. Padahal saya cuma mengajak makan di warung makan laris, tidak bicara sama sekali bagaimana warung bisa menjadi laris. Saya tidak bicara strategi bagaimana warung makan bisa laris.

“Artosipun dos pundi, Bah?” (Maksudnya bagaimana, Bah?) Seorang tamu bertanya.

Maksudnya, usaha warung makan itu bukan Cuma aspek makanannya enak, melainkan juga mempunyai ciri khas. Tentu selain itu juga harus memperhatikan pelayanan. ‘Nama’ warung makan juga penting.

Tahun 2011, Abah masih merokok. Beliau menyalakan rokok sukun kretek.

Satu tamu lainnya cerita motornya hilang. saya taksir usianya masih mahasiswa.

Mbah, Motor saya hilang. Bagaimana ini?”

Lho, lho, lho… Motor hilang kok datangnya ke sini. Motor hilang ya lapor ke kantor polisi”.

Tapi, Mbah…”

Tamu tersebut sudah hampir menangis. Dari raut mukanya, dia ingin sekali Abah memberitahu siapa yang mencuri dan di mana letak motornya sekarang.

“Hilangnya kapan? Waktu apa?” Abah bertanya.

“Hilangnya kemarin Mbah, pagi-pagi.”

Abah diam, lalu merontokkan latu rokok di lantai. Tangan beliau mengusap-usap latu rokok untuk dibersihkan ke dalam asbak. Saya yang tidak kehilangan motor ikut menunggu apa kiranya jawaban Abah nanti. Jujur saya tidak sabar menunggu dan penasaran. Sambil menunggu, saya mbatin, ternyata jadi kiai itu berat.

Tugasnya tidak hanya ngaji, tapi juga dituntut menjawab semua aspek persoalan bahkan ketika persoalan itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan mengajar. Di sebuah kesempatan, Abah pernah dawuh dengan tegas. Menjadi santri itu harus bisa tidak hanya ngaji kitab, tapi juga harus bisa menjawab persoalan supranatural.

Abah menarik nafas, lalu dawuh—sambil tersenyum.

“Iya itu, Nak.. Kalau motornya hilang itu ke kantor polisi.”

Semua diam, termasuk saya. Mendengar dawuh Abah di luar harapan saya tersebut, kemudian saya mencari-cari celah untuk husnu dzon, sebagaimana perintah bapak pertama kali saya mondok. Saya berusaha mengolah jawaban Abah tersebut sebagai rasio-dialektika. Ini kali saya diberi pengertian secara tidak langsung oleh Abah. Bahwa seharusnya memang demikian seorang kiai mesti menjawab. Tidak bisa tidak.

Abah menjawab demikian untuk menjaga identitas seorang kiai agar tetap dipahami sebagai seorang kiai. Tidak lainnya. Maka ketika Abah disodori pertanyaan jenis  demikian, Abah menjawab sesuai garis haluan—motor hilang ya lapor polisi, jangan lapor kiai.

Seolah-olah, Abah hendak memberi penjelasan bahwa tugas kiai itu ngaji—meski kalau pun toh tahu di mana dan siapa yang mencuri motor, secara syari’at harus dirahasiakan. Ini demi menjaga citra kekiaian. Saya mencoba meneroka wilayah spiritual ini dengan memahaminya dari prespektif rasionalitas. Jangan sampai reputasi seorang kiai—yang mempunyai tugas mulia mengajar dan mengayomi, menjadi sejajar dengan dukun.

Maka saya taslim ketika Abah mematahkan anggapan orang luar dengan menanggapi persoalan kehilangan motor. Toh, polisi nanti akan menganggur bila semua orang membawa persoalan kriminal kepada kiai.

Saya melihat raut muka tamu tersebut agak kecewa, tapi tidak berani mendesak. Saya akhirnya merasa geli. Betul juga, motor hilang kok sowan ke sini, tidak ke polisi. Lalu, saya melihat, Abah mesem.

Seorang teman kamar pernah bercerita ketika sowan, ada seorang tamu minta ijazah padhang ati, lalu Abah dawuh: nek kepingin padhang atine ya nguntal petromak. (Kalau ingin hatinya terang ya makan petromak: jenis lampu dari sumbu api.)

Belakangan, saya mendapat keterangan kalau maksud dawuh Abah tersebut tak lain adalah kalau ingin hatinya terang ya belajar, belajar itu perlu penerangan.

Sudah empat jam berlalu, tapi saya hanya diam. Tidak satu pun Abah bertanya kepada saya. Saya punya prinsip, selama saya belum ditanya oleh Abah, saya akan selamanya diam. Jam menunjuk pukul tiga dini hari. Kokok ayam mulai bersahutan. Persoalan nasab yang sejak tadi saya simpan untuk saya ajukan sebagai bahan sowan hanya terhenti di tenggorokan. Semua tamu diam.

Tiba-tiba, Abah bercerita.

“Dulu ada kiai dari Jawa Timur datang dan bercerita kepada saya. Kiai itu puasa mutih (puasa dengan bukanya hanya memakai nasi putih) selama empatpuluh hari, hanya untuk bisa mengetahui urutan nasabnya. Saya kaget lalu bilang. Bagaimana sampeyan ini, Kiai? Puasa empatpuluh hari kok tujuannya Cuma ingin tahu nasab. Kalau soal itu bisa Cuma tiga hari. Eman-eman banget puasanya. Lagian, kalau sudah tahu nasab, mau apa selanjutnya?”

Saya tersedak. Tubuh saya gemetar mendengar rentetan cerita tersebut, seolah Abah tahu persis apa yang hendak saya pertanyakan. Seolah Abah mengerti apa yang tersimpan di dalam hati saya. Saya semakin diam. Wajah saya tertunduk dan lebih condong mencapai lutut.

Seorang tamu kemudian bertanya.

“Tapi, mengetahui nasab kan baik Yai?”

“Iya, bagus. Tapi kalau dengan mengetahui nasab bisa menjadikan orang sombong, kan jadi buruk?”

Di dalam diri saya ada sesuatu yang bergemuruh. Sesuatu yang tak bisa saya redam gejolaknya. Tarhim sudah berkumandang, gelegar suara pecut yang dibunyikan pengurus untuk membangunkan para santri juga mulai bersahutan. Tamu-tamu sudah bersiap pamit. Dan selama hamper lima jam saya hanya diam, Abah baru bertanya kepada saya.

Piye, piye.. Nang?

Bade salim kalih Abah.

Semua tamu pamit, Abah mengantarkan para tamu keluar. Saya ada di belakangnya. Saya salim lagi. Abah masuk ke dalam sebentar lalu keluar lagi dan memanggil saya di bawah pohon mangga—beranjak kembali ke kamar.

“Nang, nang.. iki rokok.”

Bungkus sukun kretek merah dilempar Abah. Saya menangkapnya. Sehabis subuhan, saya pesan kopi di kantin pondok dan saya merasa menjadi santri Djagalan yang paling berbahagia subuh itu.

9 September 2019

Kairo.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.