“Salah atau benar itu cuma perkara siapa yang paling banyak omong.” Ungkapan tersebut dilontarkan oleh Muklas Animalus; salah satu karakter tokoh dalam film garapan Wregas Bhanuteja berjudul Budi Pekerti, agaknya bisa jadi refleksi dialektika masyarakat digital di era kiwari.
Bisa dikatakan bahwa kebenaran saat ini diposisikan sebagai sesuatu hal yang sungguhan benar jikalau memiliki banyak afirmasi dari khalayak umum. Singkat kata ialah ‘kebenaran afirmatif’.
Dalam denyut nadi perputaran informasi yang kita terima dan bagikan, selalu ada narasi yang tercipta (diciptakan), lalu digaungkan, sebelum akhirnya sampai ke gawai kita (baca: masyarakat).
Narasi itu akan jadi topik perbincangan dan diskusi di beranda kehidupan sosial kita. Saat cerita (baca: informasi) itu ramai dibahas, ia akan jadi trending topic yang mencuri perhatian publik.
Lumrahnya, sebuah trending topic akan memantik diskusi bervolume pro dan kontra. Dari sinilah, kontestasi narasi terjadi.
Pada kontestasi tersebut, nilai afirmasi publik akan jadi ukuran kemenangannya. Keberpihakan publik akan membuat sebuah narasi jadi penguasa informasi arus utama.
Merujuk pada konteks ‘kebenaran afirmatif’ di atas, wajar bila narasi (informasi) arus utama sering kali dijadikan referensi kebenaran oleh publik, lantaran telah menerima banyak afirmasi dari masyarakat.
Contoh saja, trending topic yang membahas soal perang di Palestina. Sebagai negara yang memiliki solidaritas tinggi kepada Palestina, topik ‘bela Palestina’ jadi narasi mainstream yang memutari siklus informasi di Indonesia.
Tak heran, bersamaan dengan tingginya trafik bahasan ‘bela Palestina’, membuat Indonesia; melalui seruan para petinggi negara dan masyarakat yang notabene simpatisan, melakukan aksi seperti demonstrasi damai, melakukan penggalangan dana dan bantuan, serta seruan aksi untuk menghindari transaksi dan penggunaan produk yang terafiliasi dengan Israel dan yang mendukung penjajahan.
Hal ini, bagi Robert J Shiller; penerima Nobel dalam bidang Ekonomi di tahun 2013, adalah hal yang wajar. Sebab menurutnya, sebuah narasi yang ada di masyarakat memang mampu jadi faktor yang mempengaruhi kondisi dan perilaku, bahkan mendorong sebuah tindakan.
Jebakan Bias Informasi
Narasi yang berkembang jadi wacana publik, berasal dari keping-keping informasi yang berputar dalam saluran data yang biasa kita akses sehari-hari.
Kepingan informasi tersebut diciptakan oleh seorang penulis (baik manusia atau pun AI) melalui proses dialektika yang dialami masing-masing. Makanya, bias lumrah terjadi.
Informasi yang sama, dibaca oleh orang yang berbeda, (seringnya) akan menghasilkan interpretasi berbeda, karena adanya perbedaan perspektif (bias).
Tak jauh dari contoh yang saya tuliskan; soal boikot produk Israel. Pada mulanya, merupakan anjuran yang difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) kepada umat Islam untuk tidak membeli produk Israel atau pun yang mempunyai koneksi dengan Israel (Fatwa No.83 Tahun 2023 tentang Hukum Dukungan Terhadap Perjuangan Palestina). Pemerintah Indonesia mendukung fatwa tersebut dan menganjurkan hal yang sama kepada masyarakat yang mendukung Palestina.
Sebagai respon, muncul informasi terkait daftar produk yang (dimungkinkan) terafiliasi dengan Israel dari kanal media sosial, yang notabene bukan merupakan rilisan resmi dari MUI, melainkan perpanjangan informasi dari warganet.
Sejatinya, informasi daftar produk tersebut adalah bentuk bias informasi dari warganet yang menginterpretasikan fatwa MUI. Secara fungsi, informasi itu memang membantu mengidentifikasi produk barang boikotan.
Hanya saja, tidak semua interpretasi warganet memiliki nilai fungsi yang sama. Pasalnya, ada pula oknum pemikir radikal yang membaca bahwa aksi tersebut tidak hanya berhenti pada produk (barang) yang terafiliasi Israel saja.
Tapi juga boikot produk (ideologi) seperti demokrasi, yang menurut mereka juga merupakan produk Yahudi (baca: Zionis). Narasi ini bila ditelisik ulang, merupakan interpretasi tak berdasar, bahkan cenderung disinformasi.
Masalah akan terjadi bila narasi disinformasi ini menguasai wacana arus utama. Sistem ketatanegaraan Indonesia yang telah disepakati konsensus sebagai sistem demokrasi akan tergerogoti, sementara persatuan dan kesatuan bangsa kita akan tergerus.
Moderasi Sebagai Filter Bias Informasi
Mengingat kembali bagaimana ‘kebenaran afirmatif’ itu terbentuk; narasi yang dimenangkan di ruang publik dan menjadi wacana mainstream adalah narasi yang secara afirmatif dibenarkan oleh publik itu sendiri.
Bentuk ketatanegaraan Indonesia yang menganut sistem demokrasi dengan Pancasila sebagai ideologi adalah kesepakatan para founding fathers membentuk negara Indonesia yang notabene multikultural, majemuk.
Dua hal itu dinilai konsensus sebagai bentuk terbaik bagi kemaslahatan umat bersama. Karena, sistem dan ideologi tersebut diciptakan tak lain untuk menyatukan perbedaan ke dalam satu wadah negara. Makanya, semboyan kita selalu Bhinneka Tunggal Ika, berbeda tapi tetap satu jua.
Memberi celah kepada para pemikir radikal atau liberal untuk mengubah sistem ketatanegaraan Indonesia dan menyamarkan ideologi Pancasila lewat kontestasi narasi, akan menimbulkan kekacauan pada tubuh bangsa ini.
Karenanya bekal moderasi itu penting. Moderasi dalam konteks ini tidak hanya mengarah pada bahasan agama, melainkan juga dalam bahasan sosial, serta literasi, baik di ruang nyata atau pun ruang maya.
Saat kebenaran afirmatif jadi laku wacana di zaman ini, kita butuh filter narasi agar bisa menentukan posisi di mana nanti kita hendak berdiri. Seperti yang diajarkan Nietzsche, bila kita harus menyuburkan independensi dengan selalu apatis dan skeptis dalam menelaah suatu hal.
Sederhananya, kita harus menyaring (meragukan.red) hal-hal yang kita terima, sebelum dimasukkan ke dalam kepala. Maka, ada di posisi tengah-tengah (moderat), lalu melihat dua perspektif yang bersisian sangat diperlukan.
Seperti namanya yang berarti sikap sedang atau sikap tidak berlebihan, perilaku moderasi tergambar sebagai cara pengambilan sikap yang mengutamakan kebijaksanaan dengan melihat persoalan di antara kedua sisi.
Perihal bias informasi yang ada dalam informasi tentang perang Palestina sendiri, baiknya kita gunakan payung moderasi untuk hujan disinformasi yang mungkin terjadi. Jangan sampai kita termakan narasi emosional-persuasif tak berdasar, lantaran kencangnya arus informasi di sekitar.
Sebagai penutup, saya akan memuat kuot lain dari Muklas Animalus, “Jangan mau jadi animal Beo yang suka terprovokasi dan mengejek. Tetapi, jadilah animal Cucakrowo yang bersuara merdu dan menenangkan”.
Oleh: Etika Filosofia/Alumni Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta