Masih ingat dengan cerita perjalanan Biksu Tong Sancong beserta tiga muridnya yang mencari kitab suci ke Barat? Sepanjang perjalanan kisah itu, Biksu Tong selalu dihadang berbagai jenis siluman. Mereka ingin menyantap daging Biksu suci itu agar bisa hidup abadi. Kebanyakan siluman itu adalah seorang raja, ratu, atau pimpinan bangsa siluman. Mereka ingin hidup abadi, demi bertahta bahkan melakukan ekspansi untuk memperluas wilayah dan pengaruh kekuasaannya.

Di dunia nyata, juga dijumpai kisah-kisah tentang manusia yang mendambakan hidup abadi. Hasil pencarian di internet, setidaknya terdapat 6 kisah yang sering diulas tentang manusia-manusia yang mendambakan keabadian. Salah satunya seorang bangsawan Perancis, Diane de Poitiers, permaisuri Raja Henry II yang hidup sekitar tahun 1500-an.

Diane, meyakini keabadian itu mewujud pada kekuatan matahari yang terkandung dalam emas. Ia pun memutuskan untuk meminum cairan emas untuk menggapai ambisinya. Sayangnya, emas yang diyakini akan membawa keabadian justru mengantarkan Diane pada kematian. Sang permaisuri mati di usia 66 tahun.

Cairan emas yang dikonsumsinya menimbulkan penyakit anemia dan pelemahan tulang. Hasil penelitian pada helai rambut Diane mengandung emas dan merkuri 500 kali lebih banyak dari manusia normal. Keabadian dambaan Sang Permaisuri, pupus sudah.

Kefanaan yang Abadi

Mengapa manusia mendambakan keabadian atau setidaknya berumur lebih panjang dari manusia lainnya? Terdapat dua faktor utama yang membuat manusia menginginkan keabadian: ketakutan dan ambisi.

Manusia takut akan kondisinya yang lemah dan rentan. Seiring dengan berkurangnya usia, manusia mulai menua. Rambut mulai memutih, mata merabun, kulit berkeriput, daya mulai melemah. Produktifitas fisik di usia senja, tidak memungkinkan lagi untuk menggapai kondisi optimal. Ujung dari segala ketakutan itu ialah kematian.

Mengapa kematian menjadi sesuatu yang sangat ditakuti? Pengkaji filsafat kelahiran Kota Semarang, F. Budi Hardiman, menyatakan bahwa sesungguhnya manusia tidaklah takut pada kematian, melainkan mati. Kedua istilah ini memiliki perbedaan mendasar. Kematian ialah kondisi ketika ruh telah tercerabut dari jasad manusia. Sementara mati ialah proses menuju kematian.

Konsep kematian telah dibahas oleh banyak agama dan kepercayaan di dunia. Dalam keyakinan agama-agama langit, kematian menjadi bentuk keadilan hakiki atas tindak-tanduk perbuatan manusia selama ruh masih menyatu dengan jasad. Maka ketakutan akan kematian hinggap pada umat beragama yang merasa belum siap menghadapi peradilan setelah mati.

Sedangkan mati (proses menuju kematian), mewujud fenomena nyata yang bisa disaksikan manusia yang masih hidup. Hingga abad ke-21, peradaban manusia telah menyaksikan jutaan orang mati dengan berbagai cara. Ruh manusia terpisah dari jasadnya melalui bencana alam, kecelakaan, peperangan, hingga penyakit seperti Covid-19 yang hingga saat ini masih belum teratasi.

Manusia yang masih sehat, berusaha sekeras mungkin untuk membentengi diri dari mati. Sementara mereka yang sudah terseret masuk dalam proses menuju kematian, berusaha lebih keras untuk bisa keluar dari lingkaran menakutkan itu. Beragam sistem seperti rumah sakit, fakultas kedokteran, hingga protokol kesehatan dibangun untuk memperlebar jarak antara manusia dengan kematiannya.

Namun manusia dan kematian bukanlah dua garis sejajar yang tidak akan pernah bertemu sepanjang apapun garis itu ditarik. Pada masanya, manusia akan bertemu dengan garis kematiannya. Saat itulah, manusia yang menginginkan hidup abadi akan menyadari satu hal. Satu-satunya keabadian yang ada pada diri manusia ialah sifat dan keadaannya yang fana.

Anoman Menginginkan Kematian

Dunia pewayangan mengisahkan, Sang Kera Putih, Anoman dianugerahi umur panjang. Putra Dewi Anjani telah hidup sejak masa Prabu Rama Wijaya dalam kisah pewayangan Ramayana. Setelah menumpas angkara murka berwujud Dasamuka di Alengkadiraja bersama Prabu Rama Wijaya, anoman menjadi seorang pandhita di Pertapan Kendalisada. Di pertapaan ini, Anoman masih hidup hingga masa Mahabaratha yang terpaut ratusan tahun.

Anoman resah. Putra Dewi Anjani itu mulai bosan menyaksikan tingkah laku manusia di bumi ini. Hingga suatu hari Anoman berjumpa dengan seorang pandhita bernama Begawan Kesawasidi di Pertapan Kutharunggu. Perjumpaan keduanya dikisahkan dalam salah satu bab Mahabaratha yang berjudul “Wahyu Makutarama”.

Potret karakter wayang Begawan Kesawasidi

Meskipun telah berusia sepuh dan telah menyandang status sebagai pandhita, Anoman tidak segan untuk nyantrik kepada orang lain yang ia nilai lebih bijaksana. Bersama saudara-saudaranya dari Batara Bayu: Gajah Situbanda, Garuda Mahambira, dan Naga Kuwira Anoman berguru kepada Begawan Kisawasidi.

“Kapan hamba akan bertemu dengan kematian?” Itulah hal pertama yang Anoman tanyakan kepada Begawan Kesawasidi.

3 Siklus Kehidupan Manusia

Begawan Kesawadisi enggan menjawab angka tahun atas pertanyaan Anoman. Begawan yang menjadi lantaran turunnya Wahyu Makutarama ini, tidak ingin mendahului kehendak dewata. Begawan Ksawasidi justru memberikan wejangan-wejangan kepada Anoman untuk tidak resah karena dianugerahi usia panjang. Sebab di mayapada ini, tak terhitung jumlahnya manusia-manusia yang melakukan segala upaya untuk bisa hidup abadi atau setidaknya berusia panjang.

Alih-alih melipur lara Anoman, Begawan Kesawasidi menjabarkan tentang siklus kehidupan manusia yang terbagi ke dalam tiga tahap. Pertama, kelahiran. Tahap ini, sepenuhnya menjadi ketentuan dewata. Manusia tidak memiliki andil untuk memilih orang tua, warna kulit, tanah tumpah darah, dan banyak hal lainnya. Sukma seorang bayi manusia telah digariskan untuk menitis pada raga yang telah ditentukan oleh Sang Dewata.

Tahap kedua, fase kehidupan. Seorang manusia yang terlahir di dunia akan dituntut untuk menjalani garis kehidupannya, sesuai dengan perannya masing-masing. Begawan Kesawasidi mencontohkan, terdapat manusia yang ditugaskan untuk menjadi seorang narendra (ratu), ksatria, brahmana, bahkan sudra sekalipun. Setiap status mengemban perannya masing-masing. Bersatu, saling bahu-membahu membentuk harmoni kehidupan di mayapada.

Tahap ketiga, kematian. Begawan Kesawasidi menjelaskan bahwa seorang manusia akan menjumpai Batara Yamadipati (Dewa Kematian) ketika tugasnya di mayapada telah usai. Jika ada manusia yang memilih untuk mati sebelum tugasnya usai, maka sukmanya tidak akan bisa kembali ke swargaloka. Ruhnya terjebak di Swarga Pangrantunan, tempat bagi sukma yang terlepas dari raganya ketika tugasnya di mayapada belum usai. Seperti yang dialami oleh Kumbakarna (adik Rahwana dalam cerita Ramayana) yang muncul dalam lakon Wahyu Makutarama.

Begawan Kesawasidi menegaskan bahwa jika hingga saat ini Anoman masih belum menjumpai kematiannya, maka tugasnya sebagai titah dewata belum usai. Anoman harus menyelesaikan tugasnya terlebih dahulu. Hingga menjelang akhir cerita, atas desakan Anoman, Begawan Kesawasidi memberikan petunjuk tentang waktu kematian Anoman. Sang Begawan menyatakan bahwa Anoman akan mati ketika anak-cucu Pandawa telah mencapai turunan keenam. Anoman masih harus hidup selama lima generasi lagi. Waktu yang sungguh tidak singkat bagi seorang titah dewata.

Keabadian Digital

Mengacu pada penggalan lakon Wahyu Makutarama di atas, standar kematian yang diinginkan Anoman ialah kematian fisik. Sang Kera Putih itu ingin agar sukmanya segera terlepas dari raga untuk kemudian berjumpa dengan Sang Dewata penciptanya. Suatu kematian yang lumrah dipahami oleh manusia-manusia yang hidup pada masa itu. Seiring dengan berkembangnya zaman dan teknologi, adakah standar kematian lain selain kematian fisik?

Era digital memungkinkan manusia untuk hidup lebih lama bahkan hidup abadi. Manusia bisa hidup kekal di ruang digital. Henrique Jorge berusaha mewujudkan itu melalui aplikasi Eter9. Mengutip The Sun, Henrique berambisi membuat manusia abadi melalui Artificial Intellegence (AI) melalui Eter9. Data-data yang telah diunggah di aplikasi ini, akan dipelajari oleh AI Eter9. Sehingga akun pengguna yang sedang offline, akan secara otomatis mengunggah sesuatu tentang pengguna menyesuaikan dengan karakternya.

Sistem AI yang sudah mempelajari karakter penggunanya, akan secara intensif mengunggah sesuatu di akun tersebut selama 24 jam. Bahkan jika pengguna telah meninggal, kepribadian yang sudah dirangkai oleh sistem AI Eter9 akan tetap hidup. Inilah fase keabadian versi digital yang berusaha diwujudkan melalui aplikasi Eter9. Sebuah keabadian karakter dan pikiran, meskipun jasad penggunanya sudah tiada.

Versi lainnya, seorang futurolog asal Amerika Serikat, Dr. Ian Pearson meyakini tiga cara agar manusia bisa hidup abadi. Cara pertama, tidak berbeda jauh dengan konsep keabadian di ruang digital seperti yang digagas oleh Eter9. Cara kedua, memindahkan otak sebagai pusat kendali dan pikiran manusia ke dalam tubuh android. Dr. Ian Pearson memprediksi, cara ini baru bisa dilakukan setelah tahun 2045.

Sementara cara ketiga, memperbarui bagian tubuh manusia melalui bio-teknologi dan pengobatan medis. Cara ini akan merekayasa gen manusia untuk mencegah penuaan pada fisik manusia. Bahkan dengan cara mengganti organ-organ tubuh yang telah rusak dengan organ tubuh yang baru.

Jika dipertemukan dengan nilai keluhuran dalam lakon pewayangan Jawa, tentu ambisi untuk hidup abadi bertentangan dengan garis kehidupan manusia. Terutama jika bersinggungan dengan aspek spiritual yang mempercayai eksistensi Sang Mahakuasa. Aspek spiritual meyakini bahwa kehidupan manusia adalah fana. Kekalan hanyalah hak sang pencipta.

Karakter Anoman yang merindukan sang pencipta dalam lakon Wahyu Makutarama memiliki kemiripan dengan kisah seorang sufi, Jalaluddin Rumi. Bagi Maulana Rumi, kematian adalah sesuatu yang sangat ia rindukan, momentum ketika Maulana Rumi berjumpa dengan sang penciptanya. Beliau mengibaratkan kematian sebagai malam pertemuan kembali.

Kidung Kematian Rumi

When I die, / ketika aku mati
when my coffin / ketika peti matiku
is being taken out / dibawa
you must never think / jangan pernah kamu berpikir

I am missing this world. / bahwa aku rindu dunia ini

Don’t shed any tears, / jangan mengucurkan air mata
don’t lament or / jangan meratap
feel sorry / atau merasa sedih

I’m not falling / aku tidak jatuh
into a monster’s abyss. / pada jurang yang menakutkan

When you see / ketika kau melihat
my corpse is being carried/ jasadku dibawa
don’t cry for my leaving / jangan menangis untuk kepergianku

I’m not leaving / aku tidak pergi
I’m arriving at eternal love/ aku datang pada cinta yang abadi

When you leave me / ketika kau meninggalkanku
in the grave / di kuburan
don’t say goodbye. / jangan mengucap selamat tinggal

Remember a grave is / ingatlah, kuburan
only a curtain / hanyalah sebuah tirai
for the paradise behind./ untuk surga yang akan datang

You’ll only see me / kau hanya akan melihatku
descending into a grave/ masuk ke dalam kuburan
Now watch me rise / sekarang lihatlah aku yang bangkit

how can there be an end / bagaimana disana sebagai akhir
when the sun sets or / ketika matahari tengelam
the moon goes down/ dan rembulan ketilam

It looks like the end / ini terlihat seperti akhir
it seems like a sunset / terlihat seperti senja
but in reality it is a dawn / tapi dalam realitanya, ini adalah fajar

when the grave locks you up / ketika kuburan menguncimu
that is when your soul is freed / itu adalah waktu ketika jiwamu terbebaskan.

Melalui kidung di atas, Maulana Rumi tidak menggambarkan kematian dari sisi hitam dan gelap, sebagai sesuatu yang harus ditakuti. Maulana Rumi mendeskripsikan dengan apik kematian dari sisi putih dan terang, seterang bulu putih Anoman yang juga merindukan kematian.

Nashokha

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.