Pada mulanya, Pondok Pesantren Darul Falah Amstilati Jepara yang didirikan oleh Kiai Taufiqul Hakim kisaran tahun 2002 hanya mengajarkan Amtsilati. Kendati ada kitab lain, sifatnya hanya pelengkap dan belum menjadi kurikulum yang sistematis, sebagaimana kisah dari para santri senior dan keterangan dari buku tentang tawaran pendidikan berbasis kompetisi dan kompetensi yang ditulis oleh Kiai Taufiq.

Dalam buku itu, Kiai Taufiq bercerita, saat beliau menunaikan ibadah di tanah haram, ada wali santri yang bertanya perihal program setelah santri khatam Amtsilati. Kiai Taufiq pun merenungkan pertanyaan yang mengandung harapan adanya program setelah Amtsilati itu, dan singkat cerita Kiai Taufiq merumuskan program yang diberi nama “Pasca Amtrsilat”

Kalau Amtsilati fokus pada pembelajaran nahwu sorof sekaligus poraktik penerapannya, Pasca Amtsilati fokus kepada ilmu fikih, hadis, tafsir dan tasawuf.

Yang menjadi khas program Amtsilati adalah model fokus dengan fan keilmuan. Jadi untuk tingkatan pertama, santri hanya fokus mengkaji fikih. Fan fikih ini dibagi menjadi lima: Thoharoh, Ubudiyah, Muamalah, Munakahah dan Jinayat. Kitab yang dibuat acuan adalah dua karya Syaikh Zakaria al-Ansory: Tuhfatuth Tholab dan Fathul Wahab. Khusus kitab yang disebut pertama, oleh Kiai Taufiq telah dimodif menjadi semacam mukhtasor (ringkasan) menjadi lima jilid yang dilengkapi, selain makna berbahasa Jawa, juga makna bahasa Indonesia.

Pada kelas Thoharoh, santri fokus belajar tentang Thoharoh dari dua kitab tersebut. Setelah khatam dan lulus tes, santri baru bisa naik ke kelas Ubudiyah, dan seterusnya begitu.

Setelah fan fikih, mulai dari kelas Thoharoh sampai Jinayat, dirampungkan, baru santri naik ke fan hadis dengan mengkaji kitab Ritadhus Solihin dan Bulughul Marom, lalu ke fan Tafsir dengan fokus pada kitab Tafsir Jalalain, dan selanjutnya fan Tawasuf dengan mengkaji kitab Ihya Ulumuddin (angkatan kami dulu mengajinya Mukhtasor Ihya).

Setelah itu semua rampung, santri-santri akan dibekali pula dengan bahasa Arab dan Inggris, istilahnya fan bahasa.

Saat penulis mulai nyantri di sana, pada pertengahan 2004, pasca Amtsilati sudah berjalan, namun karena tahap awal, program ini pun bisa dikatakan masih mencari bentuk idealnya.

Setelah lulus Amtsilati, penulis masuk Pasca Amtsilati, sebagaimana disinggung di atas yakni Pasca Amtsilati masih pada bentuk awalnya, penulis pun bergabung dengan angkatan pertama.

Lambat laun, angkatan pertama yang awalnya mencapai 30 an orang pun berkurang satu demi satu sehingga tersisa 17 orang. Dari 17 orang ini, 5 darinya ditugaskan untuk menjadi guru bagi santri-santri Pasca Amtrsilati angkatan selanjutnya. Kelas kami pun jadi tersisa 12 orang.

Setelah melawati berbagai fan itu — selain fan bahasa. Fan bahasa baru dimulai, kalau ingatan tak khilaf, pada angakatan setelah kami dan nantinya dipelajari setelah santri khatam Amtsilati dan sebelum masuk Pasca — 12 santri termasuk penulis diwisuda sebagai wisuda perdana pasca Amtsilati, dan dengan gagahnya kami menamakan angkatan kami dengan “12 la roiba” yang berarti dua belas yang tersisa dan tanpa keraguan.

Pada perkembangannya, beberapa kitab ditambahkan ke dalam program Pasca Amtsilati seperti Fathul Mu’in, Fathul Qorib, Alfiyah Ibnu Malik, Fathul Majid, Ushul Fikih dan lain sebagainya, namun modelnya tetap dengan tingkatan yang berdasarkan fan.

Begitu kira-kira sekilas tentang Pasca Amtsilati. Saya menulis ini sepertinya lantaran tadi bakda buka secara tak terencana video call via WhatsApp dengan teman-teman angkatan pertama. Setelah boyong, sebelum ada silaturahim alumni 2 atau 3 tahun sekali, di bulan puasa biasanya kami menyempatkan bertemu di pesantren dengan wali kelas kami: Ustaz Sibaweh, lalu bersama-sama kami sowan dan minta doa kepad Kiai Taufiqul Hakim.

Zaim Ahya, Plumbon di malam 30 Romadhon 2020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.