Salah satu dari ragam tradisi di Pesantren adalah menyalin kitab atau karya ulama yang dikaji. Bahkan beberapa pesantren menjadikannya sebagai salah satu syarat santri bisa naik kelas. Contohnya adalah pesantren TPI al-Hidayah. Pesantren yang terletak di Desa Plumbon ini — salah satu desa di Kabupaten Batang — mewajibkan santri menyalin kitab-kitab yang dikaji dalam kelas “sorogan”. Santri harus menyalin kitab seperti Safinah, Riyadhul Badiah dan Fathul Qorib, padahal mereka punya kitab-kitab tersebut versi cetaknya.

Bagitu juga Pesantren Alfadllu Kaliwungu Kendal. Untuk bisa mengikuti tes kenaikan kelas, santri-santri harus mendapatkan rekomendasi dari wali kelas (mustahiq) dan salah satu syarat memperolehnya, mereka harus secara lengkap menyalin kitab beserta makna pegonnya. Kitab-kitab seperti Taqrirat Alfiah Ibnu Malik, Taqrirat Jauharul Maknun dan lain sebagainya harus disalin, walaupun mereka sebenarnya sudah memiliki versi cetak atau copiannya.

Saya dulu saat masih menetap di Pesantren Alfadllu sempat menanyakan dalam hati perihal hal di atas: “Bukankah yang demikian itu menghabiskan waktu, toh kita juga sudah punya versi cetaknya?”

Mungkin pertanyaan di atas, walaupun tampaknya bernada kritis, sepertinya lebih didorong oleh kemalasan menyalin lantaran tulisan saya yang tidak cukup bagus.

Belakangan saya baru sadar atau dapat menerima secara rasional, ternyata menyalin kitab itu punya beberapa manfaat yang tak sepele. Bahkan luar biasa!

Dari generasi ke generasi, hampir bisa dikatakan selalu ada beberapa santri yang sangat bagus dan rapi tulisannya, walaupun tidak secara khusus belajar khath. Ini merupakan salah satu efek dari pada tradisi menyalin kitab yang dilakukan santri-santri beberapa tahun sebelumnya.

Manfaat yang lain, adalah membantu santri memahami pola bahasa Arab yang baik dan benar tanpa ia sadari. Kenapa bisa demikian?

Saat saya mulai bergabung di pers mahasiswa, salah satu senior menyarankan belajar menulis dengan cara menyalin tulisan yang baik. Saran yang sama, juga pernah saya peroleh dari seorang penulis yang cukup terkenal. Bahkan ia bercerita, dalam proses belajarnya ia sering menyalin beberap karya penulis besar.

Dengan cara demikian menurut keduanya, kita bisa belajar diksi, tata bahasa, cara berargumentasi dan gaya penulisan yang khas dari penulisnya.

Dari Menyalin, Lalu Menulis

Di pesantren pada umumnya, tentu sejauh pengetahuan saya, tidak ada pelajaran yang khusus mengajarkan bagaimana menulis dengan bahasa Arab. Adanya hanya bagaimana cara membaca dan memahami teks Arab. Namun, tak sedikit jebolan pesantren yang menulis karya dengan bahasa Arab, walaupun sebagian mereka tidak pernah belajar di Arab.

Sebut saja, misalnya Kiai Ihsan Jampes yang menulis Sirajuth Thalibin penjelas dari Minhajul Abidin, Kiai Nawawi Banten yang karyanya sangat banyak dalam berbagai bidang seperti kitab tafsir Maroh Labid, Kiai Kholil Bangkalan yang karya-karyanya baru diterbitkan belum lama ini oleh para dzuriyyah beliau, Kiai Anwar Batang yang menulis kitab fikih pesisir, Aisul Bahri, Kiai Hasyim Asy’ari yang menulis beberapa kitab dengan bahasa Arab yang salah satunya berjudul Risalah Ahlus Sunah wal Jamaah dan kiai-kiai lain dengan ragam karya mereka.

Tradisi menulis ini tidak kemudian berhenti, tapi berlanjut sampai sekarang. Misalnya ada Kiai Sahal Mahfud yang punya banyak karya khususnya dalam bidang usul fikih dan Kiai Maimun Zubair yang salah satu karyanya berjudul Ulama al-Mujaddidun.

Ada juga Kiai Afifuddin Muhajir yang juga menulis karya dengan bahasa Arab. Kiai-kiai Sarang seperti Kiai Najih Maimun juga menulis karya dalam bahasa Arab. Bahkan, saat saya menghadiri haul Masyayikh Pesantren MIS yang beberengan dengan empat puluh hari wafat Kiai Maimun Zubair, sekilas melihat kitab berbahasa Arab bersambul biru yang membahas perihal Facebook.

Ada lagi, dan masih tergolong muda, Kiai Afifudin Dimyati juga produktif menulis karya-karya dalam bahasa Arab.

Dari nama-nama di atas dan nama-nama lain yang belum disebutkan, beberapa selain belajar di pesantren Nusantara juga belajar di Arab. Namun ada juga yang hanya belajar di pesantren Nusantara. Walaupun bukan faktor satu-satunya, ada kemungkinan tradisi menyalin punya efek dalam kepenulisan beliau-beliau. Ini diperkuat dengan cerita seorang kiai yang saat mencari ilmu di Mekkah, untuk menopang hidupnya, menyalin kitab lalu menjualnya. Kiai ini pun termasuk kiai yang menulis karya dalam bahasa Arab.

Namun apakah benar menyalin kitab berperan dalam kepenulisan beliau-beliau? Tentu ini pertanyaan yang jawabannya perlu penelitian lebih lanjut.

Terakhir, ayo kita rajin menyalin, juga menulis!

Zaim Ahya, Pare 5 Januari 2020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.