Sebagaimana kata, makna juga kadang berbilangan dan tak tunggal. Begitupun relasi keduanya.
Relasi kata dan makna juga menjadi pembahasan Ilmu Mantiq. Dalam kita Sulamul Munauraq, ada lima macam relasi antara kata dan makna.
Ketika relasi antara kata dan makna itu tunggal dan sama dalam bentuk-bentuk individualnya, dalam istilah Ilmu Mantiq disebut dengan “thawathu'”. Contohnya lafaz “insan” yang berarti manusia. Lafaz “insan” ini hanya merujuk kepada satu makna, yakni “hewan yang berpikir”, yang bentuk individualnya, seperti Zaid dan Umar, juga bisa dikatakan sama. Kita tak bisa mengatakan, dalam konteks pengertian manusia, Zaid lebih manusia dari pada Umar.
Jika relasai kata dan maknanya tunggal, namun ada perbedaan dalam kualitas bentuk-betuk individualnya, disebut “tasyakkuk”. Warna putih misalnya. Kita sering mendapati warna putih pada sesuatu lebih kuat atau lebih lemah dari warna putih pada sesuatu yang lain. Kendati, keduanya masih sama-sama putih.
Kadang juga terjadi, lafaznya tunggal, tapi makna yang terkandung berbilang. Contohnya dalam bahasa Arab adalah lafaz ‘ainun, yang bisa bermakna mata dan mata air. Mungkin kalau dalam konteks bahasa Indonesia, contohnya bisa kata “jarum” dalam pengucapan, yang bisa merujuk ke jarum yang biasa dipakai untuk mengikat kerudung dan salah satu merek rokok di Indonesia. Model relasi ini disebut “isytirak/musytarak”.
Lawan dari relasi “musytarak/isytirak” adalah “taraduf”, yakni ketika satu makna punya relasi dengan beberapa kata. Contohnya dalam bahasa Arab adalah kata “insan” dan “basyar”. Keduanya sama-sama merujuk kepada satu hal, yakni hewan yang berpikir.
Ada satu lagi relasai antara kata dan makna. Relasi yang berbeda antara satu sama lain. Ahli Mantiq ada yang menyebutnya dengan istilah “takhaluf”, ada juga yang menyebutnya dengan “mutabayin”. Contohnya kata “insan/manusia” dan “faras/kuda”. Keduanya berbeda secara kata, dan keduanya juga merujuk pada makna yang berbeda.
Selain pembahasan di atas. Dalam bab relasi kata dan makna juga dibahas perihal pembagian lafaz, yang mirip dengan pembahasan di kitab-kitab Ushul Fiqh.
Secara umum, lafaz dikelompokkan menjadi dua. Yang pertama disebut “khabar”, dan yang kedua disebut “thalab”.
Khabar sendiri diartikan sebagai lafaz yang memungkinkan benar dan salah. Kalau dalam bahasa Indonesia mungkin setara dengan “kalimat pernyataan”. Contohnya “Andi berada di kelas saat ini”. Kalimat ini mumungkinkan benar dan salah, bukan?
Sedangkan jenis yang ke dua, yakni thalab yang bermakna permintaan/tuntutan, dibagi menjadi tiga. Pembagian ini berdasarkan relasi antar subyek. Jika thalab ini berasal dari yang derajatnya lebih tinggi kepada yang lebih bawah, maka disebut “amar/perintah”. Seperti perintah Allah kepada kita untuk melakukan shalat. Contoh lain, kata-kata majikan kepada pembantunya “ambilkan minum.”
Kalau thalab itu berasal dari yang lebih bawah kepada yang lebih atas, maka disebut “du’a/permohonan/permintaan. Misalnya, kita memohon kepada Allah diberi hidup yang berkah. Contoh lain, kita meminta uang kepada orang tua.
Jika thalab ini berasal dan ditujukan kepada yang sama derajatnya, maka disebut iltimas. Seperti thalab itu berasal dari sesama santri atau mahasiswa.
Kira-kira demikian, pembahasan kali ini. Semoga kita bisa melanjutkan lagi ke pembahasan berikutnya.
Zaim Ahya, Plumbon 12 Mei 2023