“Maaf”, kata singkat yang bisa diucap siapa saja, dan kapan saja. Tapi, marak diucap secara bersamaan di saat Idul Fitri. Sudah menjadi budaya. Idul fitri identik dengan “pesta-pemaafan”. Ya, kita membincang tentang budaya di Indonesia.

Idul fitri yang kerap dianggap sebagai “pesta-kemenangan”, setelah satu bulan penuh berpuasa, menahan lapar dan haus, serta menahan dari sesuatu yang bisa merusak diri, sosial, dan bangsa, kini memiliki makna dan tujuan baru: juga sebagai “pesta-pemaafan”. Meski, memang, tak ada tujuan untuk meletakkan “pemaafan” hanya di saat idul fitri. Ia masih boleh, dan harus, dilakukan di waktu lain.

“Maaf”, diucap berulang-kali secara bersamaan oleh setiap individu kepada individu lain saat saling bertatapan. Di manapun, meski tidak saling kenal. Itulah yang terjadi di kampung halaman. Rasanya memang aneh. Seharusnya tak saling kenal – menurut logika – tak pernah melakukan kesalahan. Tapi, apakah kita mengingat kepada siapa saja kita berbuat salah? Kapan dan di mana kita selalu berbuat salah? Tak tahu, karna kesalahan tak melulu disadari. Di sinilah, pemaafan bagi yang tak saling kenal, saat saling bertemu, menjadi relevan.

“Maaf” identik dengan ‘sungkem’ dan salam-salaman. Sudah semacam satu paket yang tak bisa dipisahkan. Tapi kini, kesatuan paket itu tak lagi relevan. Covid-19 membuat budaya “pemaafan” ini tak lagi melalui medium kontak-fisik, meskipun bisa dilakukan. Banyak yang melakukannya secara berjarak, bahkan daring. Kita lupakan soal ini, karna maaf tak memiliki syarat mutlak hanya melalui kontak-fisik. Syarat mutlak pemaafan adalah kerelaan hati untuk meminta maaf dan memaafkan. Tanpanya, maaf hanya basa-basi.

Bagi pihak yang meminta maaf, ia harus merelakan dirinya berada di tempat paling bawah. Seluruh tubuh, bahkan urat, harus rela menempel pada lantai terbawah, di hadapan yang diminta-maaf. Peminta-maaf tak mempunyai kedaulatan. Memang harus begitu. Ia harus tunduk pada imperatif pihak yang diminta-maaf. Juga, peminta-maaf tak bisa memaksa untuk lepas dari tanggung-jawab setelah ia melakukan kesalahan. Keadilan tak bisa dilebur dengan kata “Maaf”. Bukan soal balas dendam. Tapi, ada tanggung-jawab pada diri peminta-maaf, meskipun yang diminta-maaf tak menuntut.

Pihak yang diminta-maaf, bisakah melupakan kesalahan, dan tak menuntut keadilan? Ini akan menjadi tonggak sejarah. Menjadi titik balik. Dan menjadi pemutus rantai balas-dendam. Inilah “memaafkan” yang sejati. “Memaafkan” tanpa syarat.

Pemaafan, tak melulu lewat kontak-fisik. Ia bisa di mana saja, dengan jarak berapa saja. Pemaafan, harus tanpa syarat, dan melakukannya sepenuh hati, dan kerelaan hati yang mendalam. Memang sulit, tapi itu mungkin. Jika ini terjadi, maka itu revolusi. Mengubah wajah lama menjadi sesuatu yang baru. Sebuah titik tolak kehidupan. Pemaafan, membawa kita jalan beriringan, dan menata hidup baru.

Idul fitri ini aku sebut “berlebaran dengan bilangan biner (0-1)”. Karena aku tak mampu melakukan kontak fisik dengan keluarga. Tak mampu meminta maaf dengan berlutut, dan menempel pada kaki bapak-ibu. Hanya lewat daring. Ingin sekali menyapa keluarga dengan video-call, tapi sinyal tak memungkinkan. Telfon biasa, tak masalah, lebih dari cukup. Selamat berlebaran kawan. Dan aku memohon maaf padamu, dengan diri terendahku.

Cak Adib
Logo maker (dan desainer grafis), owner Namlio, penikmat manga, anime, dan lagu jepang.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.