Kadang-kadang, untuk mengetahui satu hal, tidak selalu dengan melihat langsung hal tersebut. Seperti yang dialami salah satu teman kemarin. Dia tahu adanya api lantaran melihat asap. Katanya, asap itu menandakan adanya api.

Begitulah yang dinamakan dalalah/signifikansi dalam Ilmu Mantiq, mengetahui sesuatu lewat sesuatu yang lain.

Dalam kitab Idhahul Mubham, dalalah, secara umum, dibagi menjadi dua. Ada yang berbentuk lafaz, dan ada yang bukan lafaz.

Masing-masing dari keduanya dibagi lagi menjadi tiga, yakni wadh’iyah, thabi’iyah, dan aqliyah.

Mari kita mulai dengan membincangkan dalalah yang selain berupa lafaz, atau yang disebut dengan dalalah ghairu lafziyah.

Mengangguk menandakan kesetujuan dan menggeleng menunjukkam ketidaksetujuan. Yang demikian ini dinamakan dalalah ghairu lafziyah wadh’iyah.

Dalam bahasa kitab kuning, wadh’iyah diartikan dengan asal sumeleh, yang berarti sesuai dengan aturan sistemnya. Dalan sistem komunikasi kita, mengangguk menunjukkan kesetujuan. Demikian juga dengan menggeleng.

Mari kita bandingkan dengan dalalah ghairu lafziyah thabi’yah. Memerahnya wajah pertanda marah adalah contoh dari dalalah ini. Sebagaimana kita tahu, memerahnya wajah sebagai tanda marahnya seseorang itu adalah alami, yang dalam bahasa kitab kuning disebut thabi’iyah.

Dua dalalah selain bentuk lafaz di atas berbeda dengan dalalah ghairu lafziyah aqliyah. Sebagimana penamaannya, dalalah model ini dipandu oleh rasionalitas yang identik dengan akal. Contohnya adalah adanya asap menandakan adanya api. Atau contoh lain, dan ini akrab dalam kajian ilmu kalam, adanya alam menunjukkan adanya pencipta yang menciptakan.

Selanjutnya mari kita bincangkan dalalah yang berupa lafaz, yang juga terbagi tiga.

Yang wadh’iyah contohnya adalah lafaz asad/macan yang merujuk kepada hewan buas, yanf kita kenal dengan nama macan. Atau lafaz insan/manusia yang menunjukkan kepada hewan yang berpikir. Dengan kata lain, dalalah lafziyah wadh’iyah merupakan penunjukan lafaz kepada sesuatu, sebagaimana asalnya.

Kalau contoh seperti suara merintih sebagai petanda rasa sakit, maka ini termasuk dalalah lafziyah thabi’iyah. Lantaran, penandaan itu bisa diketahui dari sisi alama atau watak bawaan manusia.

Sedangkan pada dalalah lafziyah aqliyah, penandaan itu bersifa rasional, sebagaimana dalalah ghairu lafziyah aqliyah. Bedanya penandaan ini berupa lafaz. Contohnya: suara pembicaraan orang yang berada di balik tembok menandakan masih hidupnya orang tersebut.

Dalam nazam Sulam al-Munaraq, dari keenam dalalah ini, yang dijelaskan secara detail oleh Syaikh Abdurahman Al-Akhdhari hanya dalalah lafziyah wadh’iyah. Dijelaskan dalalah ini dibagi lagi menjadi tiga.

Jika penunjukan lafaz atas sesuatu sebagaimana asal dari dari lafaz itu terjadi secara sempurna, maka dinamakan muthabaqah. Seperti lafaz insan yang merujuk kepada entitas hewan yang berpikir.

Kalau penunjukan lafaz itu bersifat sebagian, seperti lafaz insan hanya menunjukkam kepada yang berbipir atau hewan saja, maka disebut tadhammun.

Sedangkan, jika lafaz itu menunjukkan sesuatu yang bukan bagian dari cakupan lafaz itu, namun sesuatu itu melekat padanya, maka yang demikian ini disebut iltizam. Contohnya lafaz insan yang mengarah kepada kemampuan menulis atau menerima pengetahun. Dua hal ini bukan merupakan bagian dari hakikat manusia, namun melekat pada manusia.

Perihal yang terakhir ini ada contoh menarik dari Kiai Bisri Mustofa dalam kitab Terjemah Arab Pegon Sulam al-Munauraq, yang dialih bahasakan ke bahasa Indonesia oleh anaknya, Kiai Cholil Bisri. Di kitab itu disebutkan cotoh sambal yang merujuk kepada pedas. Menurut Kiai Bisri, pedas itu bukan hakikat dari sambal, karena sambal itu gabungan dari cabai dan kawan-kawannya. Tapi pedas itu melekat pada sambal.

Kiranya demikian penjelasan terkait dalalah/signifikansi. Menarik?

Zaim Ahya, Plumbon, 14 Juni 2023, di Kedai Tak Selesai

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.