Tak seperti kampus atau universitas yang keilmuannya terpetakan sesuai fakultas dan jurusan, keilmuan pesantren — kendati tak semua, karena ada beberapa pesantren yang desainnya spesialis — tak terpetakan secara khusus seperti jurusan tafsir atau hadis. Namun bukan berarti pesantren tak melahirkan ilmuan yang spesialis. Banyak jebolan pesantren atau kiai yang dikenal dengan spesialis keilmuan tertentu.

Lalu yang jadi pertanyaan, apa faktor-faktor pembentuknya?

Kalau kita melihat sistem pendidikan pesantren pada umumnya, tentu sesuai pengalaman penulis, bisa dibagi menjadi dua:(1) sistem madrasah dan (2) pengajian pasaran atau bandungan.

Yang disebut pertama, pelajaran diajarkan dengan model tingkatan kelas, yang dimulai dari sekolah persiapan satu tahun, tsanawiah atau wusto tiga tahun dan aliyah atau ulya 3 tahun. Dalam sistem pembelajaran model ini, santri hanya mengikuti dan tak bisa memilih.

Sedangkan sistem yang kedua, ngaji pasaran, sifatnya ekstra, tak wajib. Biasanya ngaji pasaran ini, kalau mengacu kepada Ponpes Alfadllu Kaliwungu, digelar di luar jam madrasah dan yang dikaji selain kitab yang telah diajarkan di madrasah, seperti sebelum bel masuk madrasah, menjelang Dhuzur, menjelang Magrib setelah musyawarah, dan setelah belajar wajib sekitar pukul sembilan malam.

Pada sistem ngaji yang kedua ini, santri bebas memilih kitab sesui bidang yang diminati. Santri yang suka ilmu alat misalnya, bisa merapat ke ustaz yang membacakan kitab ilmu alat seperti beberapa kitab syarah Alfiyah Ibnu Malik.

Tak hanya santri yang bebas memilih, ustaz yang membacakan kitab, yang terdiri dari santri-santri senior juga bebas memilih kitab bidang apa yang akan dibaca. Biasanya, ustaz yang baru akan membaca kitab-kitab yang tak terlalu tebal, dan ustaz yang lebih senior membaca kitab yang lebih tebal. Yang demikian ini sebenarnya tidak ada aturan tertulis, namun berjalan secara kultural.

Tak jarang dari santri atau pun ustaz (santri senior) yang memiliki minat lebih banyak kepada satu fan ilmu. Mereka yang minat fan hadis misalnya, bisanya, dengan porsi yang lebih besar, akan mengaji dan membacakan kitab-kitab hadis seperti Sohih Bukhori, Sohih Muslim dan lain sebagainya.

Karena porsi perhatian yang lebih besar ini, santri senior atau ustaz yang membacakan kitab di ngaji pasaran, perlahan akan dikenal sebagai ahli bidang ini dan bidang itu. Yang demikian ini, yang saya sebut sebagai spesialisasi kultural keilmuan di pesantren.

Zaim Ahya, Santri dan Penulis lepas

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.