Setelah membincang ta’rif, yang merupakan puncak dari konsepsi (tashawwur), kita akan memulai babak kedua dari pembahasan ilmu mantiq, yakni perihal tashdiq (persepsi/justifikasi).

Kita akan mulai dengan membincangkan dasar-dasar (mabadi‘) dari tashdiq terlebih dahulu, yakni qadhiyah atau proposisi.

Qadhiyah, secara singkat, diartikan dengan lafaz yang tersusun, yang memungkinkan benar dan salah pada dirinya. Nama lainnya adalah khabar. Pernyataan “Zaid adalah seorang penulis” merupakan contoh dari pada qadhiyah, karena pernyataan ini punya potensi benar dan salah.

Qadliyah Hamliyah

Secara umum, qadliyah dibagi menjadi dua, yakni hamliyah dan syarthiyah. Kita akan membahas yang pertama dulu, yakni hamliyah. Apalagi hamliyah ini merupakan bahan dari syarthiyah.

Qadhiyah hamliyah adalah qadliyah yang terdiri dari maudlu’ dan mahmul, atau subjek dan predikat dalam bahasa kita. Contohnya “Zaid adalah seorang penulis”. “Zaid” merupakan maudlu’, sedangkan “seorang penulis” adalah mahmul.

Jika didetailkan lagi, qadliyah hamliyah ini terbagi menjadi delapan.

Jika maudlu’nya berupa lafaz yang juz’i, pembahasan tentang lafaz juz’i ada di bab sebelumnya, contohnya “Zaid”, maka dinamakan qadliyah hamliyah syakhsyiah. Jika isi dari qadliyah ini mengafirmasi, misal “Zaid adalah seorang penulis”, maka disebut qadliyah hamliyah syakhsiyah mujabah. Namun jika isi dari qadliyah ini berbentuk negasi, seperti “Zaid bukanlah seorang penulis”, maka disebut qadliyah hamliyah syakhsiyah salibah.

Berbeda jika maudlu’ dari qadliyah berupa lafaz yang kulli, seperti lafaz al-insan/manusia. Maka disebut dengan qadliyah hamliyah muhmalah. Sebagaimana qadliyah hamliyah syakhsiyah, qadliyah ini juga dibagi dua. Jika berbentuk afirmasi, maka disebut qadliyah hamliyah muhmalah mujabah. Contonya pernyataan “manusia adalah hewan”. Sedangkan jika qadliyahnya berupa negasi, maka disebut qadliyah hamliyah muhmalah salibah. Contonya pernyatan “manusia itu bukan batu”.

Lain dengan yang di atas, yakni jika qadliyah hamliyah yang lafaznya berupa lafaz kulli kemasukan sur (batas), maka tidak disebut qadliyah hamliyah muhmalah.

Jika sur (batas) itu berupa lafaz kullun yang bermakna semuanya atau setiap atau yang semakna, maka disebut dengan qadliyah hamliyah kulliyah. Sedangkan jika surnya berupa atau lafaz ba’dlun, yang bermakna sebagian dan yang semakna, maka disebut qadliyah hamliyah juz’iyah. Keduanya ini masing-masing dibagi dua, yakni mujabah dan salibah.

Pernyataan “semua manusia itu hewan” adalah contoh dari qadliyah hamliyah kulliyah mujabah. Sedangkan pernyataan “tidak satu pun dari manusia itu batu” merupakam contoh dari qadliyah hamliyah kulliyah salibah.

Pernyataan “sebagian manusia itu hewan” adalah contoh dari qadliyah hamliyah juz’iyah mujabah. Sedangkan pernyataan “sebagian manusia bukan batu” merupakan contoh qadliyah hamliyah juz’iyah salibah.

Qadliyah Syarthiyah

Ketika sebuah qadhiyah mengandung ta’liq atau penggantungan, maka disebut qadliyah syarthiyah. Misalnya pernyatan “jika matahari terbit, maka terjadilah siang.”

Berbeda dengan qadliyah hamliyah, dua bagian dari qadliyah syarthiyah disebut dengan muqaddam dan tali. Jika mengacu pada contoh di atas, maka “jika matahari terbit” merupakan muqaddam, sedangkan “terjadilah siang” adalah tali.

Qadliyah syarthiyah ini terbagi menjadi dua: muttashilah dan munfashilah. Jika dua bagian dari qadliyah syarthiyah itu saling menetapkan satu sama lain, maka disebut qadliyah syarthiyah muttashilah. Contohnya sebagaima telah disebutkan di atas. Terbitnya matahari menetapkan terjadinya siang hari. Begitupun sebaliknya.

Kalau dua bagian dari qadliyah syarthiyah berlawanan maka disebut qadliyah syarthiyah munfashilah. Pada detailnya, perlawanan ini ada tiga macam.

Yang pertama disebut mani’ al-jam’i, yakni tercegah berkumpulnya dua bagian dalam qadliyah, namun tidak tercegah andaikan keduanya tidak ada. Contohnya pernyataan “baju itu adakalanya putih, adakalanya hitam”. Baju tidak mungkin berwarna putih dan hitam secara bersamaan. Artinya hitam dan putih tidak mungkin berkumpul pada satu baju. Namun putih dan hitam ini bisa sama-sama tidak ada. Misalnya, baju itu berwarna hijau.

Kalau mani’ al-jam’i itu tercegah berkumpulnya, maka bentuk perlawanan yang kedua adalah tercegah ketiadaan keduanya secara bersamaan, yang disebut mani’ al-khulwi. Namun tidak tercegah berkumpulnya. Contohnya, merujuk ke kitab Idlahul Mubham, Zaid adakalanya di laut, adakalanya tidak tenggelam. Zaid tidak mungkin tidak di laut dan tidak tenggelam secara bersamaan, namun mungkin terjadi bahwa Zaid di laut dan secara bersamaan tidak tenggelam. Misalnya di laut, Zaid menaiki perahu.

Yang ketiga, dan ini yang paling mewakili dari qadliyah syarthiyah munfashilah lantaran perlawanan antar dua bagian dalam qadliyah ini totalitas, disebut mani’ al-jam’i wa al-khulwi, yakni tercegah berkumpulnya dua bagian tersebut, sekaligus tercegahnya ketiadaan keduanya secara bersamaan. Artinya, harus ada salah satu, dan harus tiada salah satu. Contohnya, Zaid adakalanya mati, adakalanya hidup. Zaid tidak mungkin mati dan hidup sekaligus. Begitupun sebaliknya, Zaid tidak mungkin tidak hidup dan tidak mati secara bersamaan.

Bagaimana kawan-kawan, menarik bukan perihal qadliyah ini?

Zaim Ahya, Plumbon, 11 Juli 2023

 

 

 

 

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.