Akhir tahun kemarin (22/11/2015), penulis mengikuti sekolah tani yang diadakan oleh Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo (KSMW). Pemateri sekolah tani tidak lain adalah Sekretaris Yayasan Jawa Tengah Berdikari (YJB). Dalam memetakan problem-problem yang di alami petani, pemateri menggunakan metode siklis. Awalnya, para peserta diminta mengajukan problem-problem yang dialami petani di akar rumput, lalu dilanjutkan dengan membuat pohon masalah, dan mencari akar masalah dengan cara menghubungkan problem-problem tersebut.

Metode siklis ini mengingatkan penulis dengan kitab Tijan al-Darori, yang kebetulan tahun ini penulis pelajari di Pondok Pesanten Alfadllu Kaliwungu Kendal yang diasuh oleh Kiai Dimyati Rois. Kitab Tijan al-Darari adalah kitab tauhid yang diajarkan oleh mayoritas Pesantren Indonesia. Kitab ini terbilang sangat tipis, tak ada dua puluh halaman, yang berisi materi tauhid, lengkap dengan dalil-dalilnya (argumentasi). Lalu, apa hubungan metode siklis dengan kitab Tijan al-Darori?

Kitab Tijan al-Darori mengajarkan kita bertauhid dengan logika yang berkesinambungan. Setiap menjelaskan salah satu sifat Allah, selalu dihubungkan dengan sifat Allah yang lain. Misalnya, ketika menjelaskan kekuasaan Allah, pengarang kitab ini memberikan argumen sebagai berikut: “Allah itu bekuasa, karena jika Allah tidak berkuasa, maka Dia tak mampu menciptakan alam ini, padahal kenyataannya alam ini telah tercipta. Maka kesimpulannya, Allah itu berkuasa, dan mustahil Allah tidak berkuasa”

Penulis kitab Tijan al-Darori mengemukakan argumen yang berkesinambungan. Mirip dengan metode siklis yang dipakai Sekretaris YJB saat mengisi materi dalam sekolah pertanian. Walaupun obyeknya berbeda—tauhid dan pertanian—namun punya kesamaan, yaitu adanya metode meneliti, yang mirip mata rantai.

Terbesit dalam benak penulis, bukankah cara berpikir kitab tauhid ini juga bisa di aplikasikan dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan? Seperti masalah pertanian, ekonomi dan politik. Tanpa disadari, sering kali, kita dalam menghadapi problem atau masalah di masyarakat, hanya melihat pada sisi luarnya, jarang kita berpikir mendalam, seperti memikirkan bagaimana masalah tersebut terjadi. Padahal, sebagai santri, kita sudah diajarkan berpikir mendalam dan menemukan akar masalah, seperti materi yang terdapat dalam kitab Tijan al-Darari

Kenapa berpikir mendalam seperti yang diajarkan kitab tauhid itu penting? Karena, masalah tidak akan bisa selesai secara tuntas kalau akar masalahnya tidak diselesaikan dahulu. Oleh karena itu, dalam menangani problem-problem yang terjadi di masyarakat, terlebih dahulu harus mencari dan menemukan akar masalah.

Banyak masalah-masalah disekitar kita, yang menjadi masalah laten dimasyarakat. Misalnya tentang pertanian, kenapa sangat jarang petani yang kaya, bahkan untuk kebutuhan sehari-hari saja kadang masih kurang? Hal ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan mengatakan bahwa petani kurang bersungguh-sungguh dalam bekerja. Kita harus berpikir lebih jauh dari itu.

Pertama yang perlu dijawab, apakah lahan yang digarap petani milik sendiri atau orang lain? Setelah panen, apakah petani berhak menentukan harga? Atau justru harga ditentukan oleh pembeli? Siapa yang menentukan harga pasar? Pertanyaan-pertanyaan ini harus dijawab, dan ditindaklanjuti, jika ingin meningkatkan ekonomi para petani.

Contoh lain misalnya berebut air antar petani. Bagi yang di hidup di desa, pastinya sering mendengar masalah ini. Namun masih jarang yang berpikir apa penyebab intinya. Mari coba kita telusuri dengan metode berpikir kitab Tijan al-Darari.

Ada dua petani berebut air. Alasannya, mereka sama-sama membutuhkan air. Kalau misalnya air yang tersedia berlimpah, maka berebut air tidak terjadi. Lalu pertanyaanya, kenapa air yang tersedia sedikit? Padahal ada beberapa daerah yang sering mengalami banjir?

Kenapa kita sering kekurangan air? Dan sekaligus sering terjadi bencana banjir? Penulis kemarin menemukan jawabannya saat bertamu ke kediaman Bapak Bahruddin, pengasuh Taman Pendidikan Qaryah Tayyibah Salatiga. Beliau bercerita, kalau saja masyarakat sadar, pentingnya meresapkan air hujan untuk persediaan di musim kemarau, maka petani tidak akan kekurangan air dan juga beberapa daerah dataran rendah akan terhidar dari banjir. Penulis bertanya, bagaimana cara meresapkan air hujan, padahal sekarang banyak tanah yang tetutup batako dan aspal? Beliau menjawab dengan tersenyum, katanya pemecahan masalah tersebut sederhana, cukup dengan membuat sumur-sumur atau lubang-lubang rembesaan. Dengan itu maka air dari atas akan tersimpan di dalam tanah, dan bisa dimanfaatkan pada musim kemarau, dan juga tidak turun ke daerah dataran rendah dan menjadi banjir.

Dari cerita di atas, kita menemukan akar permasalahannya. Kalau diurutkan singkat menjadi seperti ini: Petani berebut air karena kurangnya air, kurangnya air karna sewaktu hujan air tidak meresap ke tanah, kenapa tidak meresap ke tanah, karena banyak yang mengahalangi meresapnya air ketanah seperti batako, aspal dan lain-lain.

Jadi akar masalahnya adalah air tidak meresap ke dalam tanah. Dari sini, kita dituntut berpikir untuk menemukan solusinya. Kira-kira bagaimana supaya air bisa meresap ke dalam tanah? Kata Bapak Bahruddin, salah satu solusinya adalah dengan membuat sumur-sumur kecil untuk rembesan air saat hujan.

Kalau kita cermati, dari awal sampai menghasilkan kesimpulan (menemukan akar masalah), bukankah cara berpikirnya mirip dengan saat kita belajar dalil-dalil adanya Allah dalam kitab tauhid tersebut?

Kontekstualisasi, Tidak Sekedar Aktualisasi

Penulis pernah mendengar Kiai Dimyati Rois Kaliwungu Kendal mengatakan bahwa, pada zaman transisi ini, santri dituntut tidak sekedar melakukan aktualisasi kitab-kitab kuning, namun juga melakukan kontekstualisasi kitab-kitab klasik tersebut. Beliau pernah bercerita tentang Kiai Abdul Wahab Hasbullah, saat memberikan solusi kepada Presiden Soekarno dalam menyelesaikan problem yang terjadi terkait perjanjian Linggarjati. Dalam memberikan solusi, beliau hanya merujuk kepada kitab Fath al-Qarib. Padahal kitab ini terbilang kitab tipis, dibanding kitab-kitab fiqh yang lain, namun dengan kemampuan Mbah Wahab (panggilan akrab Kiai Wahab Hasbullah) melakukan kontekstualisasi kitab Fath al-Qarib dengan realitas yang ada, beliau pun mampu memberikan solusi yang baik.

Bagi santri juga sudah tidak asing lagi, tentang cerita Kiai Kholil Bangkalan, ulama kharismatik yang menjadi gurunya para Kiai Jawa. Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Maksum Lasem, Kiai Wahab Hasbullah, adalah beberapa muridnya, yang tak diragukan lagi kealimannya. Dalam banyak cerita, Kiai Kholil Bangkalan, ketika ditanya tentang beberapa masalah, beliau menjawab dengan referensi kitab Alfiah karya Imam Ibnu Malik.

Kisah ini bagi penulis adalah bagian dari pada kontektualisasi kitab-kitab kuning. Penulis pun kepikiran, jangan-jangan kontektualisasi kitab-kitab kuning, bukan hanya terletak pada materinya saja, tapi juga metode berpikir yang diajarkan kitab-kitab tersebut. Kontekstualisasi kadang tidak mesti langsung bisa dilakukan saat mengaji suatu kitab. Kemampuan kontekstualisasi berbeda-beda satu sama lain. Bisa jadi Semua tergantung kedalaman ilmu, pengalaman sosial, dan juga tingkat spiritualitas santri tersebut.

Ada seorang santri pernah bercerita kepada penulis, bahwa pemahaman santri terhadap kitab kuning pun berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Sering kali santri menemukan hal-hal baru pada kitab yang dulu pernah dia pelajari, ketika dia mempelajari kitab tersebut di kemudian hari. Apa yang dia fahami saat menjadi murid dan menjadi guru pun berbeda, walaupun kitab yang dipelajari sama. Tak jarang dia menemukan solusi-solusi dari masalah yang dia alami atau yang terjadi di sekitarnya, dalam kitab yang dulu pernah dia pelajari, saat dia melakukan muthala’ah ulang.

Ada sesorang pernah mengatakan kepada penulis: “Belajarlah, setelah itu berjalan-jalanlah”. Mungkin maksud dari kata-kata itu adalah, bahwa dengan berjalan-jalan setelah belajar, menjadikan ilmu kita kontekstual dengan realistas yang ada saat ini. Tampaknya yang dimaksud dengan berjalan-jalan tak lain adalah membaca realitas, atau keadaan sekitar: baik masyarakat ataupun lingkungan. Apakah realitas yang kita lihat sudah pas sesu dengan yang diajarkan Islam? Kalau tidak sesuai, kenapa itu bisa terjadi?

Misalnya hujan, yang dalam Islam di identikan dengan rahmatullah (kasih sayang Allah), kenapa justru saat hujan turun, banyak banjir yang terjadi? Tentunya bukan ajaran Islam yang salah. Kalau dicermati lebih dalam, mungkin banjir ‘terjadi’ karena kita sering menolak rahmatullah, yang berupa hujan. Berapa banyak—seperti yang dijelaskan di atas—kita melapisi tanah dengan batako, aspal dan semen, tanpa kita memikirkan dampaknya secara lebih luas, sehingga air tidak meresap ke dalam tanah, dan akhirnya menjadi banjir di kawasan dataran rendah.

Melapisi tanah dengan aspal, batako dan semen dengan niat pembangunan, sekilas tidaklah salah, namun, kalau kita telusuri dengan metode berpikir yang dijarakan kitab kuning (kitab Tijan al-Darari), ternyata menjadi salah satu sebab banjir kalau tidak diimbangi dengan membuat sumur-sumur kecil yang bisa menyerap air. Oleh karena itu, perlu kiranya melakukan pemikiran mendalam sebelum melakukan sebuah tindakan, karena seringkali hal yang kita anggap baik, ternyata tidak baik, atau kebaikan tersebut menarik kepada keburukan, atau tidak bermanfaat, sebagaimana kata Gus Dur yang terinspirasi dari gurunya, Kiai Ali Maksum: “Baik itu belum tentu bermanfaat”. Wallahu a’lam.

*Tulisan ini pernah dimuat di majalah Santri LPS Al-Fikroh Pondok Pesantren TPI AL-HIDAYAH Plumbon Limpung Batang Tahun 2016.

Zaim Ahya, Santri, Penulis Lepas dan Founder takselesai.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.