Di tulisan sebelumnya, kita sudah membahas perihal pembagian ta’rif. Sekarang, kita akan membincang syarat-syarat ta’rif.

Tanpa terpenuhinya syarat-syarat di bawah ini, sebuah ta’rif akan sesuatu tidak dianggap valid oleh Ilmu Mantiq.

Pertama, ta’rif harus jami‘ dan mani‘. Artinya, ta’rif harus mampu mengumpulkan semua hal yang termasuk dalam ta’rif, sekaligus mencegah masuknya hal-hal yang bukan termasuk dalam ta’rif.

Tampaknya penjelasan di atas agak rumit, ya? Mari kita langsung pada contoh saja. Tampaknya akan lebih mudah dipahami.

Misalnya shalat. Oleh Syaikh Zakaria al-Anshari, dalam kitab Tuhfatul al-Thulab, shalat dita’rifkan dengan “ucapan-ucapan dan aktivitas-aktivitas yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.”

Ta’rif ini bisa dikatakan sudah memenuhi kriteria jami’ dan mani’. Dengan pengertian ini, seluruh jenis shalat, termasuk shalat jenzah yang tidak ada ruku’ dan sujudnya, terakomodir. Juga demikian, dengan pengertian ini, ibadah-ibadah selain shalat tidak bisa masuk dalam ta’rif ini.

Kedua, ta’rif harus jelas, dan lebih jelas dari yang dita’rifkan. Misalnya, dalam konteks orang Arab tentunya, menta’rifkan lafaz الاسد dengan lafaz الغضنفر. Kendati keduanya bermakna macan, tapi lafaz yang disebut pertama lebih dikenal.

Ketiga, ta’rif tidak boleh menyamai dengan yang dita’rifkan. Contohnya, merujuk kepada kitab Idhahul Mubham, menta’rifkan bilangan ganjil dengan bilangan yang bukan genap, atau sebaliknya, menta’rifkan bilangan genap dengan bilangan yang tidak ganjil. Yang demikian ini tidak valid.

Keempat, tidak menggukan lafaz/kata majaz, tanpa disertai petanda (qarinah). Misalnya menta’rifkan orang bodoh dengan keledai. Namun, jika lafaz majaz ini disertai dengan qarinah, maka diperbolehkan membuat ta’rif dengannya. Contohnya, orang bodoh adalah keledai yang bisa menulis.

Kelima, ta’rif tidak menggunakan lafaz yang memiliki beberapa makna. Seperti menta’rifkan matahari (الشمس) dengan lafaz al-‘ain (العين), yang dalam bahasa Arab punya beberapa makna, seperti matahari, mata air, mata, dan lain sebagainya. Boleh menta’rifkan dengan lafaz yang memiliki beberapa makna jika ada qarinah, seperi menta’rifkan الشمس dengan lafaz العين المضيئة.

Begitulah kira-kira syarat dalam membuat ta’rif, yang perlu diperhatikan.

Oh ya, masih ada beberapa hal. Tapi ini berlaku tertentu. Seperti dalam ta’rif haddi, mencantumkan hukum dari sesuatu yang dita’rifkan tidaklah diperkenankan. Contohnya, menta’rifkan fa’il dalam ilmu nahwu, dengan isim yang dibaca rafa’. Alasannya, rafa’ ini adalah hukum, dan hukum itu merupakan cabang dari pada konsepsi (tashawwur) akan sesuatu itu.

Dalam ta’rif haddi juga dilarang menggetengahkan lafaz atau (او) yang tujuannya bukan untuk pembagian (تقسيم), tapi karena ragu. Beda dengan ta’rif rasm. Dalam ta’rif yang disebut kedua ini, penggunaan lafaz atau (او) tidaklah tercegah.

Memang, antara ta’rif haddi dan ta’rif rasmi ini ada perbedaan. Kalau di ta’rif haddi, kita harus menyebutkan deferensia (فصل), yang menjadi esensi sekaligus pembeda satu hal dari hal lain, dan ini hanya satu, maka tidak boleh menggunakan lafaz atau (او).

Berbeda dengan ta’rif rasmi, yang di dalamnya didatangan aradh khas, penggunaan lafaz atau (او), diperbolehkan. Ini semua tidak lepas dari pemahaman, bahwa aradh khas ini memungkinkan tidak hanya satu. Contoh manusia, aradh khasnya bisa tertawa, menangis, menulis dan lain sebagainya.

Itu kira-kira penjelasan tentang syarat ta’rif. Bagaimana kawan, menarik?

Zaim Ahya, Plumbon, 11 Juli 2023.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.