Sembari menikmati jus tomat di kantin Sekolah Pascasarjana UGM, Karta—teman sejurusan kuliah saya—membaca The Catcher in The Rye. Novel legendaris yang bercerita mengenai pemuda uring-uringan itu, dan ia tertawa terpingkal-pingkal.

“Terjemahannya ini lho,” ia berkata seperti itu dengan ekspresi meringis menahan tawa. “Bayangin si tokoh utamanya, Holden Caulfield, pakai kata sableng, keparat, bangsat, hampir tiap kali dia ngomong. Aneh, gitu. Aku jadi ragu novel ini pernah jadi salah satu inspirasinya si David Chapman sebelum menembak John Lennon sampai mampus.”

Saya menanggapi komentar Karta hanya dengan mengangkat bahu. Jujur saja, versi terjemahan yang diterbitkan Banana ini memang lucu. Nuansa depresi dan uring-uringannya Caulfield lebih terkesan seperti kondisi remaja patah hati yang sedang sangat bingung plus nelangsa. Karta sendiri kemudian berseloroh, bahwa versi terjemahan tersebut mungkin hanya sebatas bisa bikin seorang anak STM bolos dan ngebir di pinggir sungai saja, tapi tidak akan mampu memotivasi mereka ikut demonstrasi mahasiswa seperti yang sudah-sudah.

“Ya walaupun begitu, aku agak terenyuh juga pada bagian yang menggambarkan betapa kesepiannya si Holden Caulfield ini, terlepas dari terjemahannya yang agak kocak. Gimana menurutmu?” Karta menatap saya, mimik wajahnya mendadak serius.

“Aku agak kurang sreg ketika memikirkan kenapa si Holden ini kesepian,” saya mengelus dagu. “Bukankah dia punya keluarga, punya beberapa teman di asrama? Oh, ayolah. Mungkin ini hanya soal kebandelan dia saja, ‘kan? Coba bayangkan, bagaimana bisa dia tidak lulus semua mata pelajaran kecuali Sastra Inggris? Ya ampun!”

“Lah, kesepian itu bukan soal banyak atau sedikitnya orang-orang di sekitarmu, tahu.”

“Lalu?”

“Seseorang menjadi kesepian saat ia tak mampu menyampaikan pesan dalam dirinya kepada orang-orang di sekitarnya.”

Saya mengerutkan dahi, kemudian menyeruput jus tomat milik saya, dan ingin mengganti topik pembicaraan. Namun Karta malah kemudian bercerita panjang-lebar mengenai teman kos sekaligus se-jurusannya di kampus, Marno (bukan nama asli), yang berasal dari Kota Bekasi.

Ketika membaca karya J.D. Salinger tersebut, lanjut Karta, ia langsung teringat pada hari-hari ketika Marno membolos kuliah dan lebih memilih dunia virtual (game online). Selain main game online, Marno juga seringkali mencoba mencari kebahagiaan dengan mengoleksi aneka video bokep dan membeli hal-hal yang sebetulnya kurang bermanfaat buat dia.

“Dari kacamata norma umum, Marno jelas menyimpang. Kuliahnya di Yogya amburadul. Duit sakunya tak pernah dipakai untuk membeli buku atau semacamnya yang bisa digunakan buat belajar. Hidupnya seakan cuma untuk warnet dan bokep dan warnet dan bokep. Tapi sebetulnya dia jadi begitu bukan semata-mata karena faktor kenakalan dalam dirinya.”

Karta berhenti sejenak. Ia menatap ke arah langit, seakan sedang menyaring ingatannya dan kemudian ia pun bercerita mengenai temannya tersebut.

Alkisah, Marno merupakan seorang pemuda yang berasal dari keluarga kalangan ekonomi kelas atas. Bapaknya pengusaha yang sukses dalam perspektif umum (punya toko waralaba dan segala macam). Sementara ibunya berbisnis kos-kosan. Dengan kondisi keluarga yang demikian, kehidupan Marno di Yogya bisa dibilang sejahtera. Apa lagi orangtuanya mendukung penuh perkembangannya dalam pendidikan. Tidak heran jika Marno hampir tak pernah kehabisan uang semasa jadi mahasiswa di Yogyakarta.

Akan tetapi, Marno seperti tak bersyukur dengan kehidupannya tersebut dan terkesan ingin menggapai kebahagiaan-kebahagiaan lain. Karta mengenali tanda-tanda akan hal tersebut dari kebiasaan pemuda itu.

Pertama, Marno sering bolos kuliah, hanya untuk membenamkan diri dalam pertempuran game online di warnet. Bahkan lelaki itu bisa sehari-semalam full di sana. Kedua, Marno mengoleksi banyak sekali koleksi video bokep di hard disk-nya. Dengan jujur, Marno bercerita pada Karta soal kebiasaannya menonton sendirian di kamar kosan sembari merancap. Dan sebagaimana kebanyakan orang, Karta pun merasa jijik mendengar cerita yang menurutnya tak perlu diumbar sebanal itu.

“Pernah juga ia mencoba memelihara berbagai jenis hewan peliharaan dari mulai hamster sampai ikan cupang dan semuanya, mati…”

“Kamu sudah pernah ngobrol sama dia? Maksudku, memastikan apa dia benar-benar kesepian atau bagaimana gitu.”

Karta mengangguk.“Tapi itu sehabis dia dropout. Dia mampir ke kamarku buat pamit pulang. Sebelum benar-benar pergi, Marno sempat cerita mengenai kehidupannya. Selama ini aku mengacuhkan dia karena kupikir dia ini hanya pemuda ugal-ugalan yang lebih pantas hidup di Mozambique ketimbang kuliah di sini. Nah, sewaktu dia curhat itulah, aku akhirnya paham sebab kenapa dia jadi punya sikap semacam itu.”

Saya diam, enggan memotong dengan komentar.

“Marno bercerita mengenai bapak-ibunya yang sering menghakimi dia tanpa mau memahami kondisi sebenarnya. Memang, di satu sisi, kedua orangtuanya itu mengutamakan pendidikan dan mendukung penuh Marno. Tetapi kita tahu, dukungan secara materil saja tak pernah cukup.”

“Nah, bisa dibilang orangtua Marno kurang mendukungnya dari segi emosional. Ketika Marno ketahuan membeli vapor, misal, kedua orangtuanya langsung memarahi dia habis-habisan. Seolah itu dosa besar yang tak tertangguhkan. Mereka enggan memahami duduk perkara Marno.”

“Bahwa kemudian ia merasa stres dengan hiruk-pikuk pergaulan kampus dan seabrek tuntutan ini-itu demi memenuhi target akademik, sehingga butuh kebahagiaan alternatif dalam wujud barang seperti vapor. Bahwa sebagai orangtua, bapak-ibunya lebih banyak menuntut ketimbang membuka dialog untuk mecari jalan tengah atas keinginan mereka dan potensi Marno yang sesungguhnya.”

“Bahwa Marno jarang punya kesempatan dan teman yang bisa membantunya mengelaborasi diri. Masalah-masalah itu mungkin sepintas sepele, tetapi amat berpengaruh dalam kesadaran seseorang. Efeknya: Marno pun kemudian berusaha melampiaskan semua kepenatan hidupnya melalui game online, bokep, dan percobaan memelihara hewan yang gagal melulu itu.”

Setelah bertutur, Karta tertunduk menatap sampul The Catcher in The Rye. Sementara saya jadi melamun. Membayangkan betapa kesepian orang-orang seperti Caulfield, yang ingin mengatakan banyak hal tetapi tak ada satu pun yang bersedia memahaminya—Orang-orang yang ingin memahami masalah-masalah dirinya tetapi justru gagal dan terbenam. Kalah melawan kenyataan yang tak berpihak padanya sama sekali.

Saya tak tahu apa yang terjadi dengan Marno. Karta juga enggan bercerita lebih jauh. Mungkin ia juga menyesal sudah mengabaikan orang itu.

Holden Caulfield dalam novel, diceritakan pergi mengembara tak tentu arah. Dan sepanjang perjalanan, ia banyak mengumpati manusia dengan seabrek kemunafikannya. Kadang, Caulfield membayangkan dirinya memukul si ini dan si itu. Ya, ia hanya bisa mengumpat dan berkhayal. Selebihnya, Caulfield hanya anak muda ironis yang tersesat dalam perjalanan mencari eksistensinya. Ia hampir tak berdaya.

Selepas obrolan mengenai Caulfield dan si Marno, Karta pun pamit pulang. Ia bawa novel karya Salinger tersebut, yang sebetulnya saya pinjam dari seorang kawan. “Kukembalikan minggu depan,” kata dia. Meski saya agak ragu novel itu bakal kembali ke tangan saya, mengingat perilaku Karta dalam hal perpinjaman yang sebelum-sebelumnya.

Hari telah beranjak sore dan kantin mulai sepi. Beberapa saat kemudian, saya pun pulang setelah menandaskan jus tomat saya. Ketika sampai di tempat parkir, saya duduk sejenak di atas jok motor yang sudah agak rusak. Sembari menatap pantulan wajah dalam kaca spion, benak saya menghadirkan kembali bayangan-bayangan masa lalu yang kemudian berkelebat bagai kumpulan adegan film.

Dalam hening sepi itu, saya membatin, Mungkinkah Holden Caulfield juga adalah saya?

Yogyakarta, 2019

Akhyat Sulkhan, Pemuda biasa yang suka membaca novel

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.