Saya senang karena beberapa teman yang ikut Bengkel Jurnalistik kemarin beberapa sudah menulis berita kegiatan di daerahnya.

Idealnya memang begitu, pasca pelatihan langsung dipraktikan dengan menulis, entah berita, artikel, cerpen atau yang lainnya sesuai minat. Tanpa praktik setelahnya, apa yang didapat dalam pelatihan akan menguap, bahkan bisa tanpa sisa.

Sekali lagi, dan ini penting untuk dikatakan berkali-kali, menulis adalah ketrampilan yang akan berangsur baik ketika selalu diasah.

“Bukan sebanyak pelatihan yang kau ikuti yang menjadikanmu sebagai penulis, tapi seberapa banyak kau mencoba menulis” kata seseorang suatu ketika.

Bruce lee pernah mengatakan: “Saya tidak takut pada orang yang berlatih 10.000 tendangan satu kali, tetapi saya takut pada orang yang berlatih hanya satu tendangan 10.000 kali.”

Namun apakah hanya dengan asal menulis, atau yang penting terus menulis? Tentu tidak.

Terus menulis, iya. Namun tak hanya itu. Harus ada peningkatakn level pula. Singkatnya, bagaimana tulisan kita terus lebih baik dan berkualitas. Minimal di tataran teknis.

Perihal teknis ini oleh kita kadang tak dianggap penting. Teknis yang saya maksud di sini adalah aturan umum bahasa Indonesia.

“Kalau kita ribet dengan hal teknis, nanti tak jadi menulis?” tanya seseorang.

Terlalu “jlimet” dengan teknis mungkin berdampak demikian, tapi bukan berarti kita boleh menulis sembarangan.

Yang demikian itu bisa dijembatani dengan proses editing di akhir dan sebelum tulisan dikirim ke redaktur media untuk diterbitkan.

Dalam proses editing ini, penulis melakukan penelitian, apakah kalimat-kalimatnya sudah sesuai dengan gramatikal bahasa Indonesia seperti minimal terdiri dari subjek-predikat.

Selain itu juga perlu diperhatikan, mana yang harus berawalan huruf besar dan yang tidak. Nama kota atau orang misalnya tentu huruf pertama ditulis dengan huruf besar. Jangan menggunakan awalan huruf besar tanpa alasan yang jelas.

Kesalahan penyambungan “di” dan pemisahannya dengan kata setelahnya juga perlu diperhatikan. Yang digandeng misalnya ketika “di” bergandengan dengan kata kerja seperti “dimakan”, “dipukul”, “diperhatikan” dan seterusnya. Sedangkan “di” yang dipisah seperti “di tempat”, “di sawah”, “di kota” dan lain sebagainya.

Penggunaan tanda baca seperti koma (,), titik (.) juga perlu diteliti sebelum tulisan dikirim ke redaktur. Jangan bubuhkan titik di kalimat yang belum kalimat: kalimat yang tanpa predikat misalnya, kecuali di kalimat fragmentaris.

Kesalahan salah ketik atau yang sering kita sebut “typo” sebisa mungkin dihindari. Walaupun ide tulisannya bagus, namun kalau jumlah salah ketiknya tidak “ketulungan”, redaktur atau pembaca jadi tak tertarik membaca. Istilahnya, typo itu gampang merusak mood.

Ingat, menulis berita atau artikel bukan menulis chat!

Hanya itu mungkin dari saya untuk menemani sarapan pagi kawan-kawan.

Zaim Ahya, Kartasura 14 Oktober 2020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.