Soeharto adalah jenderal yang punya tautan dengan Pembela Tanah Air (PETA), artinya punya sentuhan dengan ajaran-ajaran Jepang. Negeri Matahari Terbit ini adalah negara yang sejak akhir abad XIX tergila-gila akan modernisasi yang berkiblat pada Barat, pada Eropa dan Amerika Serikat.

Kedekatan Jepang dengan Eropa (terutama Inggris) dan Amerika Serikat tidak terlepas dari perang yang mereka lakukan terhadap Uni Soviet di awal abad XX. Jepang yang mengeluarkan modal besar butuh bantuan dari Inggris dan Amerika Serikat. Selanjutnya Jepang memahami komunisme sebagai ideologi yang benar-benar berbahaya dan berkomitmen memeranginya.

Pemerintahan Jepang menilai melalui ajaran yang dilakukan aktivis sosialis di era perang melawan Uni Soviet kepada rakyatnya, berbahaya! Ajaran sosialisme mereka anggap mampu membangunkan kesadaran kritis rakyatnya untuk menuntut hak-hak individual.

Kesenjangan sosial yang melanda, kemudian diperparah oleh mobilisir sumber daya logistik gila-gilaan untuk mendukung perajurit di medan tempur, melahirkan “keributan beras” di beberapa daerah di Jepang. Masyarakat yang terbangun kesadarannya akibat kelaparan yang dimotori ibu-ibu rumah tangga melakukan penjarahan selama beberapa bulan, terutama terhadap beras.

Fenomena “Keributan Beras” yang diasosiasikan Pemerintah Jepang dengan bangkitnya sosialisme dengan cepat berusaha diredam dengan beberapa rekayasa sosial. Salah satunya melalui penokohan terhadap Ninomiya Santoku (1787-1856), petani yang mengalami gagal panen akibat sawahnya yang terkena banjir luapan sungai di desanya.

Pada tahun 1906 Pemerintah Jepang, memanfaatkan momen 50 tahun paska Ninomiya meninggal, mendirikan Asosiasi Hotoku Nasional, sebuah gerakan yang mengkampanyekan untuk bekerja keras dan bersyukur terhadap kebaikan dewa-dewi. Kampanye ini sesuai spirit Ninomiya; meski sawahnya terbanjiri, ia tetap bekerja keras menanam di tanah yang selamat dari banjir. Ia tetap hidup hemat dan membantu petani lainnya menghidupkan perekonomian lokal.

Pemerintah kemudian membangun patung Ninomiya (menggendong kayu sambil membaca buku) di halaman setiap Sekolah Dasar di Jepang. Melalui buku-buku, masyarakat Jepang sejak dini diajarkan agar mencontoh Ninomiya, yang tetap bekerja keras dan tidak pernah menuntut pemerintah. Gerakan sosialisme yang melahirkan “Kericuhan Beras” juga dituding sebagai budaya yang tidak mau mengedepankan kepentingan nasional (Susy Ong, 2017).

Potret Patung Ninomiya Sintoku

Maka kita tak sepantasnya heran jika Soeharto selalu menekankan ketertiban umum dan berbicara dengan mengatasnamakan kepentingan nasional. Jendral Ne Win di Myanmar yang juga pernah mendapat sentuhan pendidikan dari Jepang pun sama, menjadi diktator yang membentengi sikap politik otoriternya atas nama menjaga kepentingan nasional.

Jargon demi kepentingan nasional memang ampuh meredam gejolak yang timbul akibat kesadraan bahwa ada ketimpangan sosial. Selanjutnya, tidak harus pada pemerintahan yang kentara otoriter. Dalam sistem demokrasi, watak fasisme seperti ini juga masih sering kita temui.

Kisah Ninomiya di atas, sebenarnya ingin saya jadikan pintu masuk pembahasan masalah krisis pangan. Suatu fenomena yang sudah terjadi sejak lama, bahkan yang menjadi korbannya seringnya malahan petani. Seperti masalah simplifikasi krisis pangan yang saya tentang kemarin di tulisan Pengantar Diskursus Terhadap Simplifikasi Krisis Pangan, krisis pangan tidak bisa dipisahkan dari yang namanya struktur ekonomi-politik.

Dalam sebuah Webinar yang diselenggarakan KPK dengan tema “Oligarki, Aspek Ketatanegaraan, Ekonomi dan Politik Pemberantasan Korupsi”, Faisal Basri menjelaskan bahwa dalam konteks postur anggaran perubahan APBN untuk penangan pandemi Covid-19, beberapa lembaga yang diisi profesional (meritokrasi) mendapat potongan anggaran yang tinggi. Sementara lembaga yang diisi politisi kuat hanya mendapat potongan yang sangat kecil. Sektor pertanian tidak masuk sekala prioritas meski isu ketahanan pangan sangat menarik di masa pandemi, dan ironisnya sektor pertambangan malah mendapat stimulus yang cukup besar.

Ketimpangan struktur ekonomi-politik di sektor pertanian bukan tanpa sebab. Paska peristiwa G30/S semua usaha reforma agraria untuk redistribusi tanah melempem, beberapa pegiatnya sering dilabeli sebagai “PKI”. Sampai sekarang stigma dan pelabelan “PKI” menjadi hal yang membuat agenda penguatan struktur ekonomi-politik di sektor pertanian melempem.

Saat pandemi yang belum diketahui kapan akan berakhir ini, hal yang perlu disiapkan adalah pasokan pangan dalam konteks ketahanan pangan di waktu dekat, serta kedaulatan pangan jangka panjang. Maksud ketahanan pangan berarti pangan tersedia, meskipun caranya harus dengan mengimpor dari negara lain. Sementara kedaulatan lebih kepada usaha sendiri mencukupi kebutuhan pangan nasional dengan memperhatikan kesejahteraan petani.

Fenomena gerakan pertanian kota (urban farming) mendapat amplifikasi di masa pendemi seperti ini. Meski sudah berlangsung dengan berbagai variannya sebelum pandemi melanda, kini gerakan semacam itu semakin laris untuk diikuti. Tentu ini wujud dari proyek kedaulatan pangan yang strategis. Lebih jauh, tidak bisa kita pungkiri bahwa kebutuhan membangun struktur ekonomi-politik yang kuat di sektor pertanian adalah hal utama.

Siapa yang paling bisa diharapkan bisa menghidupkan struktur semacam itu? Jawaban saya masih berkelindan di seputar organisasi keislaman terbesar di dunia, Nahdaltul Ulama (NU). Baik sebagai kerangka kerja PBNU atau banomnya, menaikkan nilai tawar petani di bidang politik adalah salah satu langkah kedaulatan pangan. Ingat, kemelimpahan pangan di Amerika dan swasembada pangan di negara seperti Tiongkok dan India, tidak bisa dipisahkan dari intervensi kebijakan pemerintah, baik dari subsidi bibit dan pupuk maupun kredit murah bagi petani.

Tanpa intervensi pemerintah dan membiarkan sektor pertanian didekte “pasar”, membuat ketimpangan sosial menceburkan petani dalam krisis pangan. Orang yang menanam pangan tetapi mengalami krisis pangan adalah paradoks kemanusian, dan harus dicegah.

Dalih “saya masyarakat kecil, harus tetap beraktifitas untuk mencari makan”, dalam kompleksitas penanganan pandemi Covid-19, dengan begitu menjadi masuk akal. Pangan sebagai kebutuhan dasar manusia harus dicukupi. Tidak hanya barangya tersedia, yang lebih sulit adalah mengusahakan harga pangan terjangkau tanpa membuat petaninya melarat.

Hal ini tidak bisa dicapai tanpa struktur ekonomi-politik di sektor pertanian yang kuat. Jika di Filipina ada gerakan UNORKA, sebuah gerakan nasional yang diisi petani-petani lokal yang berjejaring untuk tujuan reformasi agraria (Noer Fauzi Rahman, 2015), Indonesia dengan NU-nya menurut saya sangat bisa menginisiasi kedaulatan pangan nasioanl dengan penguatan sektor pertanian dari daerah-daerah (bottom-Up).

Harapan kepada NU saya dasarkan pada beberapa alasan. Pertama, cakupan strukturnya yang sampai ke tingkat desa-desa di beberapa wilayah Indonesia. Banyaknya anggotanya yang bergelut di sektor pertanian. Terakhir, NU lebih sulit dilabeli komunis-PKI, karena mereka sendiri terlibat konflik dengan PKI. Apalagi NU juga punya Pertanian Nahdlatul Ulama (Pertanu) yang punya warisan sejarah dalam menyuarakan reforma agraria (Tri Chandra, 2016).

Masyarakat yang terpaksa bekerja keluar rumah di masa pandemi di atas adalah bukti kesenjangan sosial yang tidak bisa dipungkiri. Kita tidak bisa sekenanya menghardik mereka dengan dalih demi ketertiban umum, demi kepentingan nasional agar diam di rumah selama pandemi. Pemerintah yang tidak punya kapasitas daya dukung pangan bagi rakyatnya di masa pandemi harus sadar, bahwa sektor pertanian sudah seharusnya diperhatikan, jangan malah ikut-ikutan simplifikasi.

Kalau sebagian orang sipil melakukan simplifikasi krisis pangan dengan mengatakan “Kamu mau gak jadi petani, sana jadi petani!”. Pemerintah jangan latah dengan simplifikasi, “Kalau krisi pangan melanda ya tinggal impor!” Wah bisa repot, kalau begitu.

Ahmad Muqsith, Mahasiswa Pasca Sarjana Sekolah Kajian Strategis Global, Program Ketahanan Nasioanl, Universitas Indonesia. Pegiat di Minerva.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.