Apa yang akan kamu lakukan jika dihadapkan pada pilihan yang belum pernah kamu pilih sebelumnya? Apalagi jika pilihan itu menentukan hidup dan matimu. Siapa atau apa yang akan kamu percaya sebagai sandaran atas pilihanmu? Orang lain, Tuhan, ataukah dirimu sendiri? Situasi ini membuat seseorang merenungkan lebih dalam slogan populer “hidup adalah pilihan”. Seberapa mudahkah kita menentukan pilihan?

“Menentukan pilihan itu tidaklah mudah.” Itulah yang tergambar dari pola pikir dan perilaku seniman berkebangsaan Italia, Leonardo da Vinci. Leonardo harus menyusuri labirin panjang dalam pikirannya. Mengumpulkan titik-titik pengalaman dari hasil pembacaannya. Kemudian menghimpunnya menjadi sebuah pilihan. Keputusan Leonardo ketika pertama kali mendarat di Benua Amerika menjadi satu yang terbaik.

Serial Da Vinci’s Demons season 2, episode 5 menceritakan Leonardo beserta kawan dan lawannya mengarungi samudera mencari The Book of Leaves. Berlayar dari Benua Eropa menuju Benua Amerika. Perjalanan berminggu-minggu yang sulit dipercaya masyarakat kala itu. Leonardo menemukan daratan baru yang dihuni oleh suku penyembah Dewa Matahari.

Hanya Leonardo beserta tiga kawannya yang memutuskan untuk menyusuri hutan mencari The Book of Leaves. Semakin masuk ke dalam hutan, Leonardo menyadari bahwa ada peradaban di tanah antah-berantah ini. Leonardo membaca banyak potensi pengetahuan di daratan ini. Sementara tiga rekannya, melihat banyaknya pundi uang dengan menjual sumber daya alam langka ke tanah Eropa.

Penduduk asli daratan baru menganggap Leonardo dan rekannya sebagai sebuah ancaman. Mereka ditangkap, kemudian di bawa ke pusat peradaban. Sebuah kota yang bangunannya terbuat dari batu. Sebuah suku yang memiliki peradaban tak kalah maju dari Bangsa Eropa waktu itu.

Sepanjang perjalanan menuju pusat peradaban, Leonardo membaca fakta lain. Dengan tangan terikat, sang artista melihat penduduk tengah mengorek tanah, menggenggam bebijian, serta membawa segentong air. Hal-hal yang tidak pernah Leonardo jumpai di Florence, Italia.

Pilihan Leonardo da Vinci

Tiba di pusat peradaban, Leonardo dan tiga kawannya di bawa menuju altar. Ratusan anggota suku telah berkumpul. Kepala suku bertubuh besar mengenakan baju zirah berwarna emas dan penutup kepala berbentuk setengah lingkaran siap menghakimi Leonardo beserta rekannya. Apakah mereka akan dieksekusi mati?

Tidak. Atau lebih tepatnya, belum. Mereka berempat di minta untuk memilih satu di antara tiga benda yang telah disediakan. Pertama, sebuah kayu dengan batu yang diikat di salah satu ujungnya. Kedua, semangkuk bebijian tumbuhan. Terakhir, secawan air.

Satu kawan Leonardo yang mendapat giliran pertama memilih sebilah kayu. Merasa memiliki kemampuan bertarung, ia mengangkat sebilah kayu itu menjadi sebuah senjata. Itukah pilihan yang diinginkan kepala suku? Para prajurit suku penyembah Dewa Matahari mengambil alih sebilah kayu itu. Menghantam kepala kawan Leonardo dengan sebongkah batu yang terika di salah satu ujungnya. Hingga kepalanya hancur. Benar-benar tidak berbentuk.

Sudah jelas, kawan kedua Leonardo tidak akan memilih benda yang sama. Sebelum memilih ia nampak ketakutan. Mulutnya terus merapal doa, memohon keselamatan kepada Sang Kristus. Sebab ia percaya akan keberadaan cawan suci dalam kepercayaan gereja, ia pun memilih untuk meminum secawan air. Pilihan itukah yang menyelamatkan hidupnya? Nasib orang kedua ini tidak jauh berbeda dengan kawan Leonardo yang pertama.

“Jika begitu, sudah pasti mangkuk berisi bebijian adalah pilihan yang benar,” pikir orang ketiga yang akan memilih. Di titik inilah, pikiran Leonardo semakin bergejolak. Potongan-potongan kejadian merasuk dalam pikirannya. Ia merasa melewatkan sesuatu yang menjadi jawaban atas teka-teki ini. Tepat sebelum kawan ketiganya memutuskan pilihan, Leonardo menemukan jawaban.

Leonardo memilih “kalsai“. Ia tidak memilih salah satu dari tiga benda yang dihadapkan. Melainkan memilih ketiganya sebagai satu-kesatuan. Sang Artista mengunakan sebilah kayu sebagai cangkul untuk membuat cekungan tanah. Meletakkan segenggam bebijian ke dalamnya. Kemudian menyiramnya dengan secawan air. Kalsai. Dalam bahasa suku setepat, kalsai berarti “kehidupan”.

Scene ini menggambarkan gejolak manusia ketika berhadapan dengan pilihan krusial dalam kehidupannya. Akankah ia percaya kepada dirinya sendiri, mendengarkan saran orang lain, atau peasrah sepenuhnya kepada Tuhan? Apakah hanya ada tiga pilihan itu? Tidak. Leonardo membuat pilihannya sendiri dengan mengombinasikan ketiga pilihan sebelumnya dengan membaca situasi.

Pilihan apa sajakah yang sudah kita buat hari ini?

Nashokha

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.