Saya telah tuntas membaca tulisan Faruq Fahmi Rubeka di laman takselesai.com. Ia membahas tentang nilai-nilai filosofis dalam anime Jepang. Panjang lebar ia telah menjabarkannya, dalam hal ini saya sangat sepakat dengan Saudara Fahmi. Namun di sisi lain, saya tidak satu pemahaman ketika Saudara Fahmi membandingkan antara nilai filosofis anime Jepang dengan Kartun buatan Amerika Serikat (AS). Di salah satu paragraf, Saudara Fahmi menuliskan, “Di Amerika Serikat keberadaan kartun memang dibuat untuk sekadar hiburan”. Benarkah demikian?

Saya memiliki pendapat berbeda dengan pernyataan tersebut. Sekian banyak kartun buatan AS yang saya tonton selama ini, saya juga menemukan nilai-nilai filosofis di dalamnya. Tentu nilai filosofis dalam perspektif orang Barat, yang di beberapa bagian bisa dikatakan berseberangan dengan nilai-nilai filosofis negara-negara Timur.

Kartun Casper karya Joe Oriolo dan Seymour Reit serta Scooby-Doo produksi Hanna-Barbera Production, misalnya. Kedua kartun ini dengan jelas menggambarkan persepsi masyarakat Barat tentang keberadaan hantu. Jika ditarik dalam skala yang lebih luas, kedua kartun ini juga menjadi wujud pandangan masyarakat Barat tentang dunia mistis.

Casper mencoba melawan persepsi masyarakat tentang hantu. Biasanya hantu digambarkan sebagai sosok menyeramkan, suka mengganggu manusia, dan berbagai persepsi negatif lainnya. Casper tidak demikian. Ia terasa lebih humanis. Casper selalu ingin berteman dengan semua mahluk yang dijumapainya. Tidak hanya manusia, melainkan juga kepada hewan. Tetapi apa respon yang Casper dapatkan? Semua mahluk yang coba didekatinya, keburu ketakutan melihat sosoknya.

Sikap Casper yang manusiawi ini mendapat protes dari ketiga pamannya, Stretch, Sticky, dan Fatso. Ketiga pamannya selalu mendesak Casper untuk berhenti berbuat baik kepada mahluk lain. “Tugas hantu ialah menakut-nakuti manusia,” begitu kiranya petuah yang selalu diucapkan ketiga paman Casper. Sekeras apapun Casper mencoba, ia selalu gagal mencoba menjadi hantu sejati.

Jika dilihat dari kacamata filosofis, setiap episode Casper menggambarkan perjalanannya mencari jati diri. Casper selalu mempertanyakan eksistensinya. Bagaimana bisa ia menjadi hantu? Mengapa hantu harus selalu menakuti manusia? Mengapa manusia takut kepada hantu? Dan mengapa Casper berbeda dari hantu-hantu lainnya? Jawaban atas semua pertanyaan tersebut ditampilkan secara tersirat dalam versi film “Casper” yang rilis pada tahun 1995.

Lain halnya dengan kartun Scooby-Doo yang berusaha membantah keberadaan hantu. Scooby, Shaggy, Fred, Velma, dan Daphne selalu berhasil membuktikan bahwa keberadaan “hantu” selalu bisa dijelaskan secara rasional. Kebanyakan hantu dalam kartun ini digambarkan sebagai alat konspirasi untuk mencapai tujuan tertentu. Terutama yang berkaitan dengan kepentingan pengusaha serta penguasa dalam membangun dan melanggengkan kekuasaan.

Kartun Scooby-Doo seakan menggambarkan perseteruan tiada akhir antara mistisisme dan rasionalisme. Fred, Scoby Doo, dan kawan-kawan menjadi representasi masyrakat Barat modern yang cenderung rasional. Mereka memiliki misi untuk membantah segala sisa-sisa mistisisme yang tumbuh subur di Barat pada Abad Kegelapan. Karena menggunakan kacamata Barat, sudah bisa ditebak pola pikir rasional Fred, Scooby Doo, dan kawan-kawan selalu berhasil mengungkap mitos hantu yang berkembang di masyarakat.

Lekat dengan Era Modern

Era kebangkitan Barat (Renaisans) ditandai dengan berkembangnya humanisme, individualisme, sekularisme, dan naturalisme. Empat paham ini menjadi pondasi utama era modern yang berlangsung hingga saat ini. Ide tentang empat paham ini turut menyusun alur cerita di banyak kartun Barat yang pernah saya saksikan.

Dalam hal humanisme, kartun Barat banyak menggambarkan sisi kemanusiaan melalui karakter binatang. Tom and Jerry, Mickey Mouse, Donald Duck, hingga Winnie The Pooh, hanya beberapa di antaranya. Semua karakter binatang tersebut digambarkan layaknya manusia. Bisa berbicara, memiliki perasaan, dan hebatnya mereka juga bisa berpikir. Karakter binatang yang tak kalah manusiawi daripada manusia, bukan?

Lain halnya dengan kartun Rugrats yang menggambarkan para balita sebagai individu yang memiliki dunia mereka sendiri. Memiliki pola pikir, rasa ingin tahu, dan daya imajinasi yang bisa jadi akan menghilang ketika beranjak dewasa.

Setiap episode kartun Rugrats bercerita tentang petualangan dan perkembangan pola pikir setiap karakter. Karena rilis pada tahun 1991, perkembangan karakter setiap anak di kartun ini hanya dipengaruhi oleh gizi, latar belakang keluarga, dan teman sepermainan. Seandainya Rugrats dibuat ulang di tahun 2020, mungkinkah pembuatnya, Arlene Klasky dan Paul Germain, akan memasukkan unsur teknologi yang turut mempengaruhi perkembangan anak?

Selanjutnya kartun Barat dengan genre sains fiksi. Saya sangat mengidolakan The Adventure of Jimmy Neutron: Boy Genius dan Rudy Chalk Zone. Ketika masih sekolah dasar, Jimmy Neutron sempat menjadi motivasi saya untuk bisa menguasai mata pelajaran, terutama matematika dan ilmu pengetahuan alam. Tujuannya, apalagi kalau bukan menjadi yang nomor satu di kelas seperti Jimmy Neutron.

Jimmy menjadi representasi anak ideal. Di usia 10 tahun, ia menjadi seorang ilmuwan yang mampu menciptakan berbagai macam peralatan canggih untuk membatu kawan-kawannya. Meskipun dalam setiap episode, peralatan canggih buatan Jimmy lebih banyak menyusahkan daripada membantu. Di sisi lain, kegeniusan Jimmy tidak lantas membuatnya kehilangan dunia kanak-kanaknya. Ia tetap ceria bermain bersama kawan-kawannya.

Sementara kartun Rudy Chalk Zone, membuat dunia kanak-kanak saya merasa iri kepada Rudy. Bagaimana tidak, berbekal bakat menggambar dan kapur ajaibnya, Rudy bisa menciptakan apapun. Rudy menjadi “sang pencipta” di dunia kapur. Ia juga menjadi titik keseimbangan yang mengatur harmoni di dunia kapur. Rudy Chalk Zone membuat saya berpikir ulang, mungkinkah saya bisa menemukan nilai-nilai ketuhanan versi Barat dalam setiap episodenya?

Hasil Pembacaan Ulang

Terlepas dari pemisahan antara Kartun Barat dan Anime Jepang, saya menyadari bahwa nilai-nilai filosofis yang didapatkan dari keduanya merupakan hasil pembacaan ulang. Bagaimanapun kondisinya, kebanyakan anak-anak menonton kartun atau anime sebatas sebagai hiburan. Dalam jangka panjang sangat mungkin juga akan menjadi sebuah hobi.

Hanya saja ketika hobi ini terbawa hingga dewasa, akan membuat penikmatnya membaca kartun dan anime melalui kacamata berbeda. Penikmat kartun dan anime sangat mungkin membandingkan alur cerita dengan realitas yang telah dialaminya. Baik dalam bentuk pengalaman praksis kehidupan sehari-hari, maupun pengalaman teoritis yang didapatkan di bangku kuliah.

Rangkaian panjang episode kartun dan anime yang mengendap di alam bawah sadar akan timbul kembali, namun dalam bentuk yang berbeda. Bukan sebagai hiburan pengisi waktu luang belaka, melainkan pula sebagai bagian dari pengaya wawasan dalam berperilaku dan menyikapi kehidupan nyata. Setidaknya itulah yang kita dapatkan dari pembacaan ulang atas kartun dan anime yang kita tonton sejak belasan tahun lalu.

Lantas bagaimana dengan generasi sekarang yang kebanyakan tidak mengenal kartun dan anime yang pernah kita tonton? Saya percaya setiap generasi menjadi bagian dari anak zaman. Mereka memiliki era sendiri. Seperti halnya generasi 90-an yang tumbuh bersama ragam kartun dan anime yang tidak dijumpai di generasi sebelumnya. Kelak generasi sekarang akan mampu membaca ulang atas apa yang mereka saksikan di masa kecil.

Nashokha

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.