Pernah mendengar adagium “Swarga nunut, neraka katut“? Ungkapan yang sangat lekat dengan budaya Jawa ini menjadi nasihat bahkan tameng ampuh untuk “menaklukkan” seorang istri. Saking melekatnya adagium ini, grup musik qasidah wanita era 90-an, Nasidaria, mengekspresikannya dalam bentuk lagu dengan judul yang sama. Swarga Nunut, Neraka Katut.

Pada umumnya masyarakat menafsirkan ungkapan ini sebagai wujud inferioritas perempuan sebagai seorang istri dalam kehidupan rumah tangga. Seorang isri seolah diposisikan sebagai individu yang tidak memiliki kuasa atas diri dan keinginannya. Kebahagiaan (surga) dan kesengsaraan (neraka) seorang istri, bergantung pada dominasi sang suami.

Sayangnya penafsiran semacam ini sering kali mendapatkan restu dan terus disosialisasikan oleh tokoh agama dan tokoh masyarakat. Ungkapan “Swarga nunut, neraka katut“, seakan telah menjadi hikmah yang wajib disampaikan dalam setiap acara pernikahan. Membuat pola pikir yang tidak egaliter ini semakin mengakar kuat.

Sebagai bagian dari wanita Jawa, saya meyakini bahwa ungkapan “Swarga nunut, neraka katut” mengandung nilai filosofi yang lebih adil. Jika melihat konteks, tentu saja ada seorang suami yang tidak taat, suka mabuk-mabukan, tidak memberi nafkah, dan berbagai sikap buruk lainnya. Sementara sang istri berjuang keras untuk mendidik anak, mengurusi rumah tangga, bahkan ikut serta mencari nafkah. Dalam konteks ini, apakah sang istri juga akan ikut terseret ke nereka akibat ulah suaminya?

Di luar sana, ada banyak istri yang berjuang sendirian membesarkan anaknya dengan berbagai alasan. Misalnya seorang ibu paruh baya yang saya temui beberapa waktu lalu. Beliau sedang mencari kardus untuk keperluan tugas anaknya yang masih SMP. Ibu yang ternyata seorang mualaf itu banyak bercerita tentang suaminya yang jarang pulang. Ketika di rumah, sang suami sering marah-marah tanpa alasan yang jelas. Bahkan tak jarang sang suami ringan tangan, tak segan memukul istrinya. Sang suami juga jarang memberi nafkah. Oleh karena itu, beliau harus berjualan sayuran di Pasar Kajen untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Jalan hidup yang tak jauh berbeda juga dialami oleh salah satu tetangga saya, ibu Tasminah. Saya mengenal beliau sebagai seorang yang rajin belajar mengaji di majelis taklim. Aktivitas beliau setiap pagi adalah menjadi buruh cuci baju di rumah seorang saudagar Tionghoa. Beliau sudah menjalani pekerjaan itu semenjak anaknya SD sampai sekarang sudah lulus SMK. Suaminya pergi meninggalkan beliau dan keluarganya tanpa pamit hampir 10 tahun yang lalu. Selama itu pula Ibu Tasminah menjadi perempuan yang berperan ganda yakni Ibu rumah tangga sekaligus tulang punggung keluarga.

Menengok lebih jauh lagi, cerita tentang Asiyah binti Muzahim, perempuan yang dijamin masuk surga oleh Allah. Beliau adalah istri Raja Fir’aun yang terkenal akan segala sikap buruk yang menyelubunginya. Berlawanan dengan watak suaminya, Asiyah justru sangat menyayangi orang-orang miskin dan sering bersedekah kepada mereka. Asiyah memeluk Islam setelah mendengar cerita tentang Nabi Musa yang berhasil mengalahkan para tukang sihir dengan keajaiban mukjizatnya.

Ketika mendengar bahwa istrinya memeluk Islam, Raja Fir’aun marah besar. Ia menjemur istrinya di bawah terik matahari negeri Mesir dengan kedua tangan dan kaki terikat. Di tengah siksaan tersebut, Asiyah berdoa sebagaimana yang diabadikan dalam Q.S. at-Tahrim ayat 11.

“Ya, Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam firdaus. Selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya. Selamatkanlah pula aku dari kaum yang zhalim”. Allah pun memperlihatkan kepada Asiyah rumah megah yang terbuat dari mutiara putih untuknya di surga kelak.

Melihat konteks dan cerita semacam itu, apakah penafsiran yang diskriminatif atas ungkapan “Awarga nunut, neraka katut” masih berlaku bagi perempuan tegar seperti Ibu Tasminah?

Islam: Perempuan dan Laki-laki Itu Setara

Di dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa laki-laki dan perempuan sama di hadapan Allah SWT (QS. Ali Imron 3: 195, Al-Ahzab 33: 35). Laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk menuju surga. Pun keduanya memiliki peluang sama untuk terperosok ke dalam neraka.

Secara personal sebagai hamba-Nya, Surga dan neraka seorang istri tidak bergantung kepada suami. Begitu pun sebaliknya. Sehingga adagium di atas tidaklah mesti menjadi pegangan mutlak bagi setiap pasangan. Bahkan pada titik tertentu pola nunut semacam ini adalah bentuk penindasan khas patriarkhi.

Laki-laki maupun perempuan berhak masuk Surga, karena yang dilihat Allah adalah amal perbuatan dan ketakwaan. Keduanya sama-sama dibebani perintah menjaga keutuhan rumah tangga. Untuk mencapai kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan penuh dengan rahmah.

Tanggungjawab ini melekat pada keduanya. Jika yang satu lalai maka kewajiban pihak lainnya untuk mengingatkan. Meskipun benar lelaki adalah imam, tetapi relasi antara imam dan makmum disini seperti hubungan imam dan makmum dalam shalat. Jika imam salah dalam melakukan salah satu rukun maka makmum dapat mengingatkan imam, atau bahkan memisahkan diri (mufaraqah).

Adagium di atas lebih pas ketika diletakkan secara proporsional. Maksudnya suwargo nunut neroko katut berlaku untuk kedua belah pihak. Sebab seperti telah dijelaskan di atas keduanya dibebani kewajiban yang sama untuk menjamin keutuhan rumah tangga. Bisa saja istri menjerumuskan suami ke dalam neraka, atau justru menjadikannya imam yang bersama-sama melangkah ke surga.

Vika Inayati, Penikmat Kopi dan Buku

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.