Arkeologi merupakan penelusuran sejarah pengetahuan sebagai suatu himpunan sekian unsur yang saling terkait karena mengikuti aturan tertentu, namun juga pertentangan di dalam perkembangan suatu pengetahuan yang tak harus selalu berujung pada sintesis seperti dibayangkan oleh Hegel.

Istilah ini berasal dari kata dalam bahasa Yunani, yaitu arkhaios yang artinya “kuno”, sedangkan “arkeologi” adalah kajian tentang segala hal yang kuno atau antik. Menurut Kelly, istilah ‘archaeology’ yang dipakai oleh Foucault merupakan permainan kata-kata. Pada prinsipnya, kata archéologie dalam bahasa Prancis maupun kata “archeology” dalam bahasa Inggris (USA)—tanpa huruf ‘a’ kedua—merupakan turunan dari kata dalam bahasa Yunani, yaitu arkheia yang berarti “catatan” (records), yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai “archive” (arsip). Di sini Foucault bermaksud memakai permainan etimologis tersebut, karena ia memang mempelajari arsip kuno (archive dengan arkhaios) sebagaimana dinyatakannya sendiri bahwa,

: : : : : : : : : : : : : : : : :

“Aku telah menggunakannya sebagai permainan kata-kata untuk menunjuk sesuatu yang akan menjadi deskripsi dari arsip (archive) dan sama sekali bukan penemuan atas suatu permulaan atau pengungkapan akan tulang belulang dari masa lalu.

Melalui arsip, pertama-tama aku memaksudkan tumpukan (mass) berbagai hal yang diucapkan dalam suatu budaya, dilestarikan, dianggap bernilai tinggi, digunakan kembali, diulang dan diubah. Singkatnya, seluruh tumpukan verbal yang telah dirancang oleh banyak orang, ditanamkan dalam berbagai teknik dan institusi mereka serta jalin menjalin dalam eksistensinya dan sejarah mereka. Aku menggambarkan dalam pikiran tentang tumpukan berbagai hal ini dengan memperkatakannya bukan pada sisi bahasa dan sistem linguistik yang mereka gunakan, akan tetapi pada sisi pengoperasian yang memunculkannya.

Permasalahanku dapat dinyatakan sebagai berikut: Bagaimana bisa terjadi bahwa pada suatu periode tertentu seseorang bisa mengatakan seperti ini lalu sesuatu perkataan seperti yang lainnya belum pernah dikatakan? Dengan kata lain, inilah analisis kondisi historis yang menjelaskan apa yang dikatakannya atau apa yang ditolak oleh seseorang, atau apa yang ditransformasikan dalam tumpukan berbagai hal yang diperkatakannya.

‘Arsip’ muncul kemudian sebagai semacam praktik wacana yang hebat, praktik yang memiliki aturannya, ketentuannya, fungsinya, dan efeknya.”

: : : : : : : : : : : : : : : : :

Adapun penggunaan istilah arkeologi sebagai metafora metodologis, sebagaimana dicatat Gutting, setidaknya dimulai pertama kali oleh Maurice Jean Jacques Merleau-Ponty, baru kemudian Foucault menggunakannya secara sangat sembrono dan kabur. Merleau-Ponty menggolongkan psikoanalisis sebagai sebuah arkeologi, sedangkan sebelum itu, Cavaillès menunjuk fenomenologi sebagai sebuah arkeologi.

Gutting mencatat bahwa “…Foucault pertama kali menggunakan istilah arkeologi dalam kerangka pemikiran itu di dalam buku Maladie mentale et personalité, di mana dia mengatakan bahwa dalam kerangka Freudian ‘neurosis adalah suatu arkeologi spontan dari libido’ (26). Dia pertama kali menggunakan istilah ini untuk menunjuk ke pendekatan terhadap sejarah pemikiran itu di dalam Prakata untuk edisi pertama Folie et déraison, di mana, tatkala berbicara tentang akhir dari dialog nalar dengan kegilaan pada Masa Klasik, dia mengatakan ingin menulis tentang “arkeologi dari keheningan ini.” (Folie et déraison, ii)

Melalui metode arkeologi pengetahuan, Foucault ingin memperlihatkan keterputusan, diskontinuitas serta kontradiksi dalam sejarah yang luput dari pengamatan Hegel. Foucault hendak mengkritik filsafat sejarah yang terlalu percaya pada sistem, terlalu berobsesi mengkoherenkan segala hal yang tak koheren, serta mempertahankan rasionalitas dari realitas dan realitas yang mestilah rasional, dan itu tak lain ditujukan kepada Hegel dengan dialektikanya.

Bagi Foucault, pandangan Hegel yang mengutamakan sintesis sebagai jalan keluar dialektika itu tak lain hanyalah solusi yang dipaksakan, karena benturan dan tegangan antara tesis dan antitesis tak harus selalu menghasilkan sintesis, tak mesti selalu ada jalan keluarnya, tak mesti jadi sebentuk progres yang membuat jadi sophisticated. Sebagaimana Foucault nyatakan, “Dan masalah besar yang ditampakkan oleh analisis historis semacam itu bukanlah bagaimana kontinuitas dibentuk, bagaimana suatu pola tunggal dibentuk dan dipertahankan, bagaimana bagi begitu banyak pikiran yang berbeda dan berturutan terdapat satu cakrawala tunggal, moda tindakan seperti apa serta substruktur macam apa yang tersirat oleh transmisi, pelanjutan, penghilangan, dan pengulangan yang saling memengaruhi, bagaimana asal muasalnya dapat meluas jauh melampaui kesimpulan yang tak terberi—permasalahannya bukan lagi tradisi, pelacakan suatu lini, tetapi pembagian, batasan; ia bukan lagi fondasi yang langgeng, melainkan transformasi yang berfungsi sebagai fondasi baru, pembangunan kembali fondasi.”

Ini bisa dimisalkan apakah penjelasan Platōn ihwal jiwa itu lebih primitif jika dibandingkan dengan apa yang kemudian dijabarkan oleh Freud dan para penerusnya? Apakah pemikiran yang muncul kemudian harus selalu merupakan kelanjutan dari pemikiran yang muncul di awal? Ataukah itu adalah dua bentuk pengetahuan terpisah tentang jiwa yang membentuk patahan-patahan dalam perkembangan pengetahuan tentang jiwa, tak ubahnya lapis demi lapis tanah yang ditandai dalam penggalian arkeologis?

“Singkatnya, sejarah pemikiran, pengetahuan, filsafat, sastra tampaknya mencari, dan menemukan, semakin banyak diskontinuitas, sedangkan sejarah itu sendiri tampaknya mengabaikan gangguan peristiwa demi struktur yang stabil,” tandas Foucault.

Banyak yang memandang bahwa genealogi ini kemudian digantikan oleh metodologi lainnya pada tahun 1970-an, misalnya sebagaimana terlihat pada kuliah Psychiatric Power di mana Foucault mengkontraskan arkeologi dengan analisis jenis baru yang berdasarkan pada kuasa, padahal Foucault sendiri menjelaskan bahwa ia tidak pernah berhenti menggunakan metode arkeologi ini. Begitu pula sebaliknya, bahwa setelah selesai menulis buku Archaeology of Knowledge, Foucault melihat kemungkinan untuk menyimpulkan bahwa karya-karya sebelumnya merupakan bagian dari suatu upaya analisis yang terpadu.

Foucault menulis bahwa “Analisis arkeologis bersifat individual dan menggambarkan berbagai formasi diskursif. Artinya, analisis arkeologis harus membandingkan dengan berbagai formasi diskursif, menentangnya satu sama lain dalam simultanitas di mana hal tersebut disajikan, membedakannya dari formasi diskursif yang tidak termasuk dalam skala waktu yang sama, menghubungkannya, berdasarkan kekhususannya, dengan berbagai praktik non diskursif yang mengelilinginya serta berfungsi sebagai elemen umum baginya.”

Itulah mengapa, melalui arkeologi, Foucault mencoba menemukan aturan dasar bersifat material yang secara substantif membatasi apa saja yang bisa diwacanakan dalam lingkup pengetahuan tertentu serta batasan kemungkinan cara berpikir pada suatu penggal sejarah tertentu, yang kemudian dia istilahkan sebagai episteme atau formasi diskursif. Permasalahan yang coba diajukan melalui analisis arkeologi ini adalah:

(1) tipe-tipe partikular berbeda dari praktik diskursif apa saja yang bisa ditemukan pada suatu periode tertentu?;

(2) hubungan apa saja yang bisa ditancapkan di antara berbagai praktik berbeda ini?;

(3) hubungan apa saja yang dimilikinya dengan berbagai praktik non-diskursif, seperti praktik politik, sosial atau ekonomi;

(4) transformasi apa saja yang mudah mempengaruhi berbagai praktik ini.

[Cuplikan dari draft monograf berjudul “Gnōthi Seauton: Etika Pengenalan Diri Menurut Platōn”. Alhamdulillah, self-isolation bisa juga mengondisikan untuk lebih tekun merevisi naskah yang awalnya adalah tesis di STF Driyarkara tahun lalu ini. Sekalipun besok kematian datang menghampiri, toh hari ini masih banyak hal yang bisa kita pelajari dan kerjakan. Bismillah…]

*Direpost dari status Facebook Alfathri Adlin [Filsuf, Penulis dan Dosen Sosiologi Desain ITB]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.