Pada dasarnya perubahan iklim pada bumi itu alami. Terjadi karena dalam kurun masa yang panjang ada letusan-letusan gunung berapi. Tetapi mengajukan argumen itu sebagai jawaban kenapa suhu menjadi ekstrem akhir-akhir ini, pastilah mengundang gelak tawa yang mendengarnya.
Berbagai survei baik sekala nasional maupun global, menjelaskan bahwa krisis perubahan iklim terjadi semakin parah karena aktifitas manusia. Prilaku konsumtif dan eksploitasi alam adalah argumen dasarnya, lebih khusus karena industri ekstraktif yang mengeruk perut-perut bumi.
Ekosida, suatu kejahatan perusakan lingkungan dalam sekala besar, sedang diperjuangkan sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Tidak tanggung-tanggung, ekosida ingin disejajarkan dengan Genosida. Irisan gerakakn ini juga memperjuangkan bagaimana perusahaan, khususnya multi nasional, bisa dijerat hukum karena ekosida. Suatu gerakan yang melawan gurita ekonomi dunia yang melilit negara-negara dunia ketiga.
Banjir di Indonesia di awal Januari menutup kegelisahan petani-petani yang tidak kunjung menanam padi karena menunggu datang hujan. Masa kemarau yang lebih panjang, sekalinya hujan menyebabkan banjir, adalah fenomena yang sudah diperingatkan oleh hasil-hasil penelitian dan survey. Semua sudah diperingatkan. Kebakaran hutan, budaya pengelolaan sampah, prilaku ekonomi konsumtif, masalah energi tidak terbarukan, semua permasalahan tersebut disandera dalam berangkas besi bernama politik oligarkis.
Semua orang menjadi serba bijak, berpesan untuk tidak memnyalahkan satu dua orang. Terutama politikus di jabatan setrategis. Mereka mendorong solidaritas bersama, mengabarkan bahwa musibah ini tanggung jawab kita. Sudah tidak lagi diizinkan mengkritik (bukan mengolok-olok) satu dua pejabat. Suatu kesadaran kebangsaan yang harus diapresiasi jika muncul dari empati dan bukan disclaimer dari pihak politikus yang sedang dikritik. Dalam konteks personal dan bingkai aksi nirkekerasan, hal ini baik.
Tetapi melihat permukaan masalah ini, saya ingin melanjutkan pembahasan. Menyuarakan solidaritas bersama adalah yang utama, tetapi melanjutkan kritik pada tokoh politik harus terus menerus disuarakan. Jelas, dalamk konteks tata negara kita, mereka adalah orang-orang yang dilegitimasi untuk menggunakan wewenang kekuasaan mengelola nasib rakyat.
Proses legitimasi yang didapat adalah hasil dari proses Pemilu sebagai alat demokrasi prosedural kita. Otoritasnya luas, mencakup kebijakan yang sangat mungkin beririsan dengan penyebab-penyebab perubahan iklim semakin parah. Kritik terhadap mereka di tengah situasi kacau, bukanlah hal buruk, dalam koridor pembangkangan sipil, malah hal ini sangat diperlukan.
Kesalahan orang yang mengkalkulasi keuntungan pembangunan dari tambang ekstraktif, adalah luput menghitung kerugian yang diakibatkan kerusakan alam yang timbul dari proses ekstraktif. Seperti dalam industri kerja yang tidak punya sistem kesehatan dan keselamatan kerja. Kerugian seperti ini selalu seperti gunung es. Tampak kecil dipermukaan.
Sekali lagi, perubahan iklim awalnya fenomena alami, tetapi belakangan diperparah oleh aktifitas manusia. Dalam konteks seperti inilah, di tengah krisis seburuk apapun, mengkritik politisi karena musibah-musibah yang disebabkan perubahan iklim selalu penting.Sesama masyarakat kita bersolidaritas, dengan politikus di posisi setrategis, kita kritik kebijakannya.
Ahmad Muqsith, Penulis lepas dan Founder minerva.id