Dari sisi fungsinya, lafaz dalam ilmu mantiq, dibagi menjadi dua: yang digunakan (musta’mal) dan yang tak digunakan (muhmal). Pembagian ini merujuk kepada makna.
Yang tak digunakan, misalnya “sirag”, pembalikan dari kata “garis”, yang tentu tidak bermakna. Sedangkan kata “garis” termasuk yang digunakan, karena bermakna.
Yang akan dibahas di sini tentu kata yang digunakan (musta’mal). Kata yang tak digunkanan, lantaran tak bermakna, tidak akan dibahas.
Lafaz musta’mal, dilihat dari sisi maknanya, dibagi menjadi dua: mufrod dan murakkab. Berbeda dengan kajian ilmu nahwu, lafaz mufrod dalam ilmu ilmu mantiq diartikan dengan lafaz yang sebagiannya tidak menunjukkan makna sebagian yang lain. Contonya kata “kerbau”. Ini termasuk lafaz mufrod, lantaran kata “kerbau” ini satu kesatuan, sebagiannya tidak menunjukkan sebagian yang lain. Maksudnya, “ker” tidak menunjukkan “bau”.
Berbeda dengan lafaz murakkab, dalam konteks ilmu mantiq tentunya, yang diartikan dengan sesuatu yang sebagiannya menunjukkan sebagian yang lain. Contonya “kuda makan rumput”. Kalimat ini, sebagiannya menjukkan sebagian yang lain, menunjukkan makna tertentu. Artinya, antara kata “kuda”, “makan’, dan “rumput” berkait erat dalam membentuk makna.
Lalu bagaimana dengan kata Banyuwangi/ Banyu wangi? Apakah termasuk lafaz mufrod atau lafaz murakkab?
Jawabannya bisa dua-duanya, tergantung relasinya. Kalau kata “Banyuwangi” relasinya kepada salah satu kabupaten di Jawa Timur, maka termasuk lafaz mufrod. Lantaran satu kesatuan, sebagiannya tidak menunjukkan sebagian yang lain. Tapi, kalau kata “banyu wangi” merujuk kepada air yang harum, maka termasui murakkab, lantaran sebagiannya menunjukkan sebagian yang lain.
Pembagian Lafaz Mufrod
Kaitannya dengan relasi atas makna, lafaz mufrod terbagi menjadi dua: juz’i dan kulli.
Yang pertama, jika kata tersebut, dalam kaitannya dengan makna, aman dari pluralitas makna, atau makna yang beragam. Misalnya kata Gus Dur, yang menunjuk kepada nama presiden ke 4 Indonesia. Ini hanya merujuk kepada satu makna saja, yakni sosok bernama Gus Dur.
Sedang yang kedua, yakni mufrod kulli, diartikan sebagai kata yang relasinya dengan makma berpotensi atau tidak aman dari pluralitas makna yang beragam. Kalau dalam kitab Idhahul Mubham, contohnya “asad”, yang dalam bahasa Indonesia setara dengan “singa”. Kata “asad” dalam konteks bahasa dan budaya Arab, ini kadang tidak hanya untuk merujuk kepada salah satu jenis hewan buas, tapi juga digunakan untuk memberi predikat secara metafora kepada seorang yang pemberani.
Mungkin demikian dulu, pembahasan tentang lafaz atau kata dalam ilmu mantiq. Selanjutnya mungkin kita akan mebahas tentang lima universal (kulliat khams) atau relasi lafaz/kata dan makna yang lebih komplek.
Zaim Ahya, Founder Takselesai.com