Revolusi informasi sudah mengubah sistem komunikasi dunia kiwari. Sebaran jaringan informasi yang ada di dalam internet melibatkan integrasi di berbagai bidang. Dua di antaranya adalah teknologi dan pendidikan.

Laju informasi yang bisa datang dan berjalan dari mana saja, memungkinkan transfer pengetahuan tidak hanya dari person to person, melainkan juga platform to person. Menilik di masa ini, orang lebih lumrah bertanya kepada Google ketimbang kelompoknya (baca: manusia) sendiri.

Ditambah lagi ketika pandemi Covid-19 datang dan menjadi medium percepatan virtualisasi secara menyeluruh di lapisan masyarakat. Pertemuan daring lebih umum dilakukan dibanding pertemuan luring. Entah itu rapat, sekolah, atau bahkan dalam ranah privat seperti silaturrahmi.

Dari sana, orang-orang jadi memiliki opsi antara berkegiatan di dalam jaringan atau di luar jaringan. Pun juga dengan belajar, yang saat ini dapat dilakukan melalui teks, audio, dan video yang dengan mudah dapat diakses melalui internet.

Sifat internet yang open source dan menawarkan kemudahan akses untuk tetap terhubung ke dalam jaringan di kondisi apa pun, pada akhirnya menggeser dialektika dan pola masyarakat yang semula analog, menjadi digital.

Banyak orang akhirnya memilih untuk belajar dan mempelajari sesuatu secara mandiri lewat platform yang tersedia di internet. Alih-alih mempersulit diri dengan berguru kepada pakar secara langsung yang mengharuskan bertatap muka, atau masuk ke dalam kelas, atau komunitas belajar, untuk mempelajari, atau bertanya, tentang suatu hal.

Apalagi dengan adanya AI, suatu sistem kecerdasan buatan yang ditanam dalam internet, yang digadang-gadang mampu menggantikan pekerjaan analisis data oleh manusia. Seolah mengukuhkan eksistensi internet (perangkat lunak) yang semakin menggeser peran manusia pada dekade ini.

Menengok bagaimana platform AI seperti Chat GPT sudah marak digunakan untuk pertimbangan saran dalam pemecahan suatu persoalan, meski perangkat lunak tersebut masih dalam versi beta, yang notabene perlu banyak perbaikan.

Gambaran tersebut kemudian menuntun kita pada pertanyaan; bagaimanakah persisnya eksistensi para pakar (dalam konteks ini guru atau ulama) dalam dunia digital? Apakah nantinya peran mereka akan tergantikan dengan kecanggihan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI)?

Ada Apa di Dalam Internet?

Sebelum mengurai pertanyaan tersebut. Para pengguna internet harus menyadari bahwa daya guna internet saat ini didasari oleh banyaknya data yang masuk ke dalam otak server internet (big data), dan sejauh ini, koleksi data internet (masih) datang dari manusia.

Bisa dibilang bahwa internet tak ubahnya gudang data dan informasi yang disimpan manusia dalam bentuk digital. Sementara, kegunaan AI yang tertanam dalam sistem internet, berfungsi sebagai pemecah dan penyacah data untuk dianalisis dan dipetakan sebelum informasi tersebut diberikan kepada manusia.

Oleh karena itu, akurasi dan kecerdasan AI bergantung pada banyaknya data dan pembaruan yang dimasukkan ke dalam ‘otak’nya. Semakin sering manusia melakukan input data, sekecil apa pun, akan menambah ketepatan perhitungan AI dalam internet yang tersampaikan ke perangkat kita.

Sebaliknya, ketika manusia berhenti memberi pembaruan data yang ada di internet dan sistem AI, maka ketajaman perhitungan mereka pun akan jadi tumpul, yang akibatnya akan memberi akurasi data yang (semakin) tidak akurat.

Dari sini sebetulnya dapat dibaca, bila ‘kecerdasan’ AI, bagaimana pun tidak akan melebihi para pemilik data orisinal, yakni manusia. Jadi, kemunculan teknologi informasi mutakhir seperti AI bukanlah ancaman. Melainkan pertanda evolusi pemikiran manusia yang (sudah selayaknya) menapak di tingkat level selanjutnya.

Alasan Kenapa Ulama (Akan) Tetap Dibutuhkan

Pamor Google sebagai platform yang paling sering digunakan orang untuk mencari informasi atau data tentang suatu hal, memang mendudukkannya pada kursi subjek ‘serba tahu’. Agaknya, hal itu kemudian jadi salah satu fenomena yang mengantarkan obrolan bertema ‘teknologi-informasi’ mulai menyiratkan gelagat transformasi ask to person jadi ask to platform.

Meski demikian, menilik dalam perspektif kajian Islam transformasi tersebut bisa dibilang tidak tepat. Di dalam Al-Quran, Tuhan memfirmankan manusia untuk bertanya kepada orang yang mengetahui (berilmu) tentang hal yang tidak diketahui.

Anjuran tersebut termaktub pada surah An-Nahl ayat 43:

وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُّوحِىٓ إِلَيْهِمْ ۚ فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Artinya: “Kami tidak mengutus sebelum engkau (Nabi Muhammad), melainkan laki-laki yang Kami beri wahyu kepadanya. Maka, bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”

          Term kata ahl dzikr yang digunakan dalam ayat tersebut merujuk kepada orang (person) yang berakal dan memiliki pemikiran, yang mendalami keilmuan dan tahu tentang persoalan manusia. Bukan pada sesuatu (thing) yang tidak memiliki kecerdasan, atau memiliki kecerdasan tapi buatan (artifisial/palsu).

Pun jika ditelisik kembali, data informasi, pengetahuan, dan pemikiran yang ada di internet berasal dari manusia. Jadi terlihat lah bahwa pangkal dialektika antara dunia analog dan digital muaranya tetap pada manusia.

Maka dari itu dibutuhkan pengetahuan terkait latar belakang serta jejak rekam keilmuan untuk mengukur kapasitas dan kredibilitas pengetahuan seseorang atau suatu platform yang jadi kanal pemberi data. Kita harus tahu bagaimana mekanisme berpikir seorang ilmuwan atau mekanisme algoritma sebuah platform, tersebut berjalan.

Dengan itu kita (diharapkan) mampu berhati-hati dan selektif dalam memilih subjek pemberi pengetahuan dan informasi untuk diturunkan kepada kita. Serta mampu membedakan mana ilmuwan (pengajar) yang dapat dipercaya kesahihan ilmunya, dan mana yang tidak.

Selain itu, dalam sebuah hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam Tirmidzi dikatakan bahwa,

إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

Yang jika diartikan kurang lebih, “Orang-orang berilmu adalah pewaris dari para nabi yang tidak mewariskan dinar dan dirham, melainkan hanya ilmu; dan orang yang memperolehnya, sesungguhnya telah memperoleh bagian yang banyak”.

Ada alasan mengapa orang berilmu (ulama) menjadi pewaris para nabi, salah satu yang terkuat adalah adanya ketersambungan sanad keilmuan yang dimiliki para ulama untuk sampai kepada Nabi Muhammad SAW, yang merupakan prototipe manusia sempurna di bumi ini. Baik dari segi jasmani-rohani, serta akal dan mentalnya.

Yang khas dari penurunan sanad ini adalah bahwa seorang murid diharuskan berguru dan mendapat bimbingan secara langsung (bertemu) oleh ulama tersebut. Sebab, selain menjadi penyalur pengetahuan, tugas penting seorang guru (ulama) adalah membimbing muridnya agar dapat mengamalkan ilmu sesuai dengan jalur yang telah digariskan.

Inti utama seseorang dalam mencari ilmu dan belajar adalah untuk diamalkan. Sejak manusia dibekali akal dan memiliki kapasitas proses berpikir yang berbeda-beda, tentu ada kalanya terjadi kebingungan, kesesatan, bahkan kehilangan arah dalam proses pemahaman suatu pengetahuan. Dari sini kemudian peran guru (ulama) jadi penting, tidak hanya sekedar pemberi informasi, melainkan juga sebagai pembimbing yang memberi jalan saat terjadi kesesatan dalam berpikir.

Bagaimana pun, kapasitas penyimpanan informasi seorang manusia tidak bisa disaingkan dengan internet yang notabene menyimpan data dari seluruh informasi yang ada di dunia. Karena itulah, posisi guru (ulama) sebagai pembimbing memiliki urgensinya.

Manusia memiliki kemampuan untuk dapat memahami diri, sosial, dan lingkungannya. Hal itu yang sejauh ini tidak dapat dilakukan oleh teknologi, yang menarik simpulan bahwa bagaimana pun, manusia tetap membutuhkan pengajaran yang turun langsung dari kaumnya sendiri. Demi menjaga keadaan hakikat manusia tetap sebagai manusia.

Oleh: Etika Filosofia/Alumni Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.