Ragam ilmu baru adalah pembahasan yang dijelaskan pertama kali oleh Syaikh Abdurrahman al-Akhdhari dalam kitab mantiqnya, Sulam Munauraq. Dalam ilmu mantiq, ilmu terbagi menjadi dua: ilmu qodim dan ilmu hadis. Ilmu qodim adalah ilmunya Allah, sedangkan ilmu hadis adalah ilmunya makhluk. Yang menjadi obyek pembahsan ilmu mantiq adalah yang kedua: ilmu hadis atau ilmunya makhluk.
Tashawwur dan Tasdiq
Dalam kitab Idhahul Mubham, penjelas (syarah) dari Sulam Munauroq, ilmu didefisnikan dengan: mengetahui sesuatu yang diketahui. Ilmu ini (ilmu hadis/ilmunya makhluk) terbagi menjadi dua: tashawwur (konsepsi) dan tasdiq (persepsi).
Tashawwur adalah mengetahui makna satuan seperti mengetahui gunung, pisang goreng, Zaid (nama orang) dan lain sebagainya. Misalnya, sebagaimana dicontohkan oleh Kiai Bisri Mustofa dalam kitab terjemah pegon dari Sulam Munaroq yang kemudian diterjemah ke dalam bahasa Indonesia oleh Kiai Cholil Bisri, ketika sesorang menyebutkan kata “pisang”, lalu bentuk pisang itu tergambar benaknya kita secara tepat, itulah yang dinamakan tashawwur.
Sedangkan tasdiq adalah mengetahui relasi kenyatan yang melekat pada satuan tersebut. Syaikh Damanhuri dalam kitabnya, Idhahul Mubham, mengajukan contoh tasdiq dengan: mengetahui jatuhnya predikat berdiri dalam pernyataan: Zaid adalah orang yang bediri. Contoh yang lain, sebagaimana ditulis oleh H.M Fadlil Said an-Nadwi dalam buku Pengantar Ilmu Mantiq, seperti mengetahui kenyataan sifat asin yang melekat pada air laut dalam pernyataan: air laut itu asin.
Urutannya, tashawwur itu mendahului tasdiq. Jika sebaliknya, walaupun berkesesuaian dengan realitas, maka tasdiq dianggap tidak valid. Jika ada seseorang, misalnya, mengatakan bahwa air laut itu asin, atau mengatakan gunung itu keras, tanpa terlebih dahulu mengatahui apa itu air laut dan apa itu asin (tashawwur), maka pernyataannya: “air laut asin” (tasdiq) tidak dianggap valid, kendati itu benar.
Tashawwur dan tasqid beserta urutannya yang tak boleh terbalik, sebenarnya, merupakan upaya dari ahli mantiq supaya seseorang tidak salah dalam berpikir atau dalam melakukan justifikasi hukum. Contoh praktik tashawwur dan tasdiq ini dipraktikkan oleh Kiai Nawawi Banten dalam kitabnya, Fathul Majid ketika akan memulai membahas dan mengklasifikasi sifat-sifat Allah dan rasul-rasul-Nya, mulai dari yang wajib, mustahil dan jaiz.
Kiai Nawawi Banten menyatakan:
“(Memberi label) hukum atas sesuatu adalah cabang dari penggambaran atau pembuahan pikiran (tashawwur) terhadap sesuatu tersebut.”
Setelah menyatakan itu, Kiai Nawawi Banten menjelaskan definisi wajib, mustahil dan jaiz, lalu baru membahas satu persatu mana yang wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah dan rasul-rasul-Nya. Yang demikian ini beliau praktikkan tak lain sebagai ikhtiyar agar tidak salah dalam melakukan klasifikasi: ini sifar wajib bagi Allah, ini sifat mustahil bagi Allah dan ini sifat jaiz bagi Allah.
Nadhari dan Dharuri
Tashawwur dan tasdiq terbagi menjadi dua: tashawwur nadhari dan tashawwur dharari. Namun sebelum membahas keduanya, perlu kiranya kita mengetahui terlebih dahulu pengertian nadhari dan dharuri.
Nadhari secara singkat bisa diartikan sebagai ilmu yang membutuhkan perenungan. Contoh yang sering diajukan dalam hal ini adalah perihal kebaruan alam, yang berarti alam itu ada setelah sebulmnya tiada. untuk mencapai pada pengetahuan semacam ini, seseorang memerlukan perenungan.
Kebalikan dari nadhari adalah dharuri, yang berarti pengetahuan yang tak memerlukan perenungan terlebih dahulu. Contohnya seperti lapar dan satu ditambah satu sama dengan dua. Untuk sampai pada pengetahuni tipe ini, kita tak harus merenung dulu.
Lalu bagaimana dengan pengertian tashawwur nadhari dan dharari, begitu juga tasdiq nadhari dan dharari?
Tashawwur nadhari tak lain adalah sebuah konsepsi atau penggambaran yang membutuhkan perenungan. Misalnya seperti konsepsi atas listrik, radio dan semacamnya, untuk sampai pada hakikat dari pada hal-hal tersebut tentu kita perlu melakukan perenungan atau berpikir, tak bisa spontan mengetahuinya. Sebaliknya, tashawwur dharari adalah konsepsi yang tanpa perenungan terlebih dahulu seperti lapar, dingin dan sebagainya.
Tak jauh berbeda dari pembagian tashawwur di atas, tasdiq nadhari dan dharuri juga demikian. Kalau yang pertama merupakan pelabelan predikat (nisbah/relasi) yang membutuhkan perenungan seperti kebaruan alam sebagaimana telah disinggung, sedangkan yang ke dua tak memerlukan perenungan terlebih dahulu seperti satu tambah satu sama dengan dua.
Ungkapan Penjelas (Qoul Syarih) dan Argumentasi (Hujjah)
Untuk sampai kepada konsepsi atau penggambaran atas suatu hal (tashawwur), kadang kita memerlukan alat bantu, yang berupa penjelasan. Alat bantu ini disebut dengan qaul syarih. Kendati secara bahasa qoul syarih bermakna ungkapan penjelas, namun bentuknya tak selalu definisi, bisa juga seketsa sebagaimana dijelaskan oleh Kiai Bisri Mustofa dan Kiai Cholil Bisri.
Mengutip contoh Kiai Bisri Mustofa, suatu ketika seorang anak diminta untuk membelikan makanan yang bernama rondo royal. Namun anak tersebut tidak paham apa itu rondo royal. Lalu orang tuanya menjelaskan, bahwa rondo royal adalah tape yang digoreng. Anak pun akhirnya paham.
Penjelasan orang tua anak tersebut adalah yang dinamakan qoul syarih, yang mengantarkan anak bertashawwur atau mengetahui makna atau hakikat satuan (mufrod), yang dalam contoh di atas adalah rondo royal.
Contoh lain seperti ketika seorang ayah meminta anaknya membelikan pisau, namun anaknya tak paham apa itu pisau. Kemudian ayah tersebut mengambil kapur atau spidol, lalau menggambar pisau di papan tulis. Ketika milihat gambar di papan tulis, anak itu menjadi mengerti apa itu pisau.
Gambar pisau yang dibuat ayah dalam cerita di atas dinamakan qaul syarih, sedangkan pahamnya anak atas benda yang bernama pisau adalah tashawwur.
Jadi qaul syarih ini hubungannya dengan tashawwur.
Lalu bagaimana dengan pengertian hujjah atau argumentasi?
Hujjah atau argumentasi berhubungan dengan tasdiq, atau tepatnya sebagai pendukung terjadinya tasdiq. Tasdiq itu lebih rumit dari tashawwur, selain harus tahu (tashawwur) detail satuan (mufrod) yang dilabeli (maudhu’) dan yang menjadi label (mahmul), sebelum melakukan tasdiq (mengetahui jatuhnya label pada yang dilabeli), kita juga harus mengetahui relasi antar keduanya.
Salah satu contoh hujjah, sebagaimana dijelaskan oleh Kiai Cholil Bisri, adalah penalaran seseorang perihal Tuhan itu satu.
Contoh yang lain seperti kebaruan alam. Untuk sampai kepada pengetahuan itu seorang butuh argumen atau hujjah. Begini kira-kira cara berargumennya:
“Alam itu berubah, dan setiap yang berubah itu baru, maka alam adalah baru: ada setelah sebelumnya tidak ada.”
Zaim Ahya, Limpung 22 November 2020
.