Politik, bagi Abah Dim, adalah jalan perjuangan. Abah Dim sering mengatakan:
السياسة استصلاح الناس الي طريق المنجى دنيا و اخرى
Yang kira-kira berarti:
“Politik adalah usaha perbaikan manusia menuju jalan keselamatan dunia dan di akhirat.”
Bahkan Abah Dim sepertinya mengikuti pendapat yang menyatakan bahwa politik termasuk fardhu kifayah.
Saya pernah mendengar, kalau ingatan tak khilaf, Abah Dim pernah mengatakan:
ما يهم للامة فرض كفاية
Yang artinya kira-kira:
“Sesuatu yang penting bagi umat merupakan fardhu kifayah.”
Biasanya, lagi-lagi jika ingatan tak khilaf, Abah Dim, dengan mengutip pendapat Imam al Ghazali, menyandingkan politik dengan kodekteran dan semacamnya yang hukumnya fardhu kifayah.
Mungkin karena pandangan beliau akan politik ini, Abah Dim konsisten berada di jalur perjuangan politik hingga akhir hayat. Tercatat, di akhir hayatnya, beliau masih menjabat sebagai Dewan Syuro PKB.
Saya masih ingat, dulu ketika kami khataman Alfiyah, beliau berbicara tentang politik dalam khazanah kitab kuning dan pesantren.
Waktu itu, beliau bercerita tentang Syaikh Abu Yazid Al Bustomi yang menuntun ribuan orang mengucapkan kedua kalimat syahadat, tanpa kekerasan.
Oleh Abah Dim kisah itu dibaca dari perspektif setrategi politik. Menurut Abah Dim, keberhasil Syaikh Abu Yazid lantaran strategi politiknya.
Saya juga mendengar Abah Dim mengisahkan keadaan kaum muslimin ketika wafatnya Nabi Muhammad. Ada orang-orang badui, lantaran wafatnya Nabi Muhammad, mereka keluar dari Islam. Merespons yang demikian itu sahabat Abu Bakar mengatakan yang kira-kira artinya:
“Barang siapa menyembah Nabi Muhammad, maka Nabi Muhammad telah wafat. Dan barang siapa menyembah Allah, maka Allah hidup dan kekal.”
Oleh Abah Dim, pernyataan ini dipahami adalah pernyataan politik sahabat Abu Bakar, yang tujuannya untuk memperbaiki situasi pada waktu itu.
Artinya apa, tentu yang saya fahami, politik ini punya peran penting dalam kehidupan manusia.
Saya tidak ingat betul, tapi sepertinya Abah Dim pernah menyatakan kalimat dalam bahasa Arab, yang kira-kira artinya:
“Barang siapa tak tahu politik, maka ia akan termakan politik.”
Dalam berbicara politik, Abah Dim juga sering menyebut nama Kiai Wahab Hasbullah. Jika ingatan tak khilaf, Abah Dim pernah bercerita, bagaimana kehebatan Kiai Wahab dalam mengkontekstualisasikan kitab Fathul Qorib untuk merumuskan sebuah solusi ketika Presiden Sukarno meminta petunjuk kepada Kiai Wahab atas persoalan Irian Barat waktu itu.
Maka, sebagaimana kata Gus Mus di peringatan tujuh hari wafatnya Abah Dim, bahwa Abah Dim ini adalah seorang kiai yang berpolitik dengan landasan kitab kuning.
Dan Abah, dalam salah satu ceramah beliau, menekankan bahwa politik itu pada dasarnnya tidak kotor, dan bahkan bisa bernilai ibadah.
Tentu masih banyak yang perlu ditulis terkait pandangan dan sikap politik Abah Dim.
Zaim Ahya, Plumbon 25 Juli 2022