Pak Sukir menyeduh kopi. Dia menuang air panas, yang telah dia ukur suhunya dengan tepat, ke dalam cangkir berisi bubuk arabika. Sedikit demi sedikit, aroma kopi meruap dari cangkir. “Smooth aroma with a herbal aftertaste,” kata dia.
Itulah kopi hasil panen Pak Sukir sendiri. Dia menanam kopi di lereng Gunung Bismo, salah satu puncak Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah.
Pak Sukir bukan sekadar petani kopi. Dibantu istri dan anaknya, dia mengolah panen kopi sendiri dengan berbagai cara: full-washed, natural dan wine. Dia juga seorang roaster: menyangrai biji kopi dengan keramik kasongan di atas kompor gas. Dan lebih dari segalanya, dia barista yang piawai. Setiap kali berkunjung ke rumahnya saya selalu mengagumi kopi bikinannya.
Tinggal di Desa Mlandi, Kabupaten Wonosobo, Pak Sukir memilih menanam kopi sementara banyak petani lain di desanya menanam sayur-mayur, terutama kentang, hingga lereng terjal pegunungan.
“Kopi lebih menjanjikan,” kata Pak Sukir. “Lebih dari itu, kopi juga memperkuat tanah, sehingga menahan air dan longsor, serta menumbuhkan mata-mata air baru.”
Bagi Pak Sukir, pelestarian alam dan ekonomi bukan dua hal terpisah. “Kita sudah kehilangan banyak mata air,” katanya. “Pelumpuran sungai juga makin parah. Kasihan warga di hilir sungai.”
Eulogi untuk Mrica
Wonosobo, dan khususnya Dieng, merupakan hulu beberapa sungai yang sangat penting di Provinsi Jawa Tengah dan sebagian Yogyakarta. Sungai Serayu dan Bogowonto, misalnya, plus belasan anak-anak sungai mereka, menghidupi sekitar 45% warga Jawa Tengah yang tersebar di 13 kabupaten.
Sungai Serayu sendiri, yang punya hulu antara lain di desa Pak Sukir, punya panjang 180 km dan melintasi setidaknya 560 desa di lima kabupaten: Wonosobo, Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas dan Cilacap.
Dalam beberapa tahun terakhir, Daerah Aliran Sungai (DAS) Serayu mengalami kerusakan parah. Salah satunya akibat pertanian kentang serta penambangan pasir, yang sangat luas dan merambah hingga lereng-lereng terjal perbukitan di kawasan hulu. Di musim penghujan, longsor dan banjir kini menjadi langganan bahkan di kawasan Dieng sendiri.
Erosi, sampah, limbah rumah tangga dan polusi obat kimia pertanian mengancam kualitas air kawasan hilir. Air Serayu mengairi ratusan ribu hektar sawah serta menjadi bahan baku air bersih bagi warga 228 desa di Banjarnegara, Purbalingga dan Banyumas.
Sementara itu, pelumpuran parah kini juga mengancam. Menurut sebuah hasil penelitian, sedimentasi yang dihasilkan oleh kawasan hulu DAS Serayu mencapai hampir 2 juta ton per tahun, dan terus meningkat.
Pelumpuran mengancam keberlangsungan Bendungan Soedirman, atau yang lebih dikenal sebagai Waduk Mrica, di Kabupaten Banjarnegara.
Mrica salah satu bendungan terbesar di Jawa Tengah. Jika sedimentasi berlanjut dengan laju seperti sekarang, sekitar 20.000 ton lumpur per tahun, bendungan pembangkit listrik itu dikhawatirkan hanya berumur dua tahun lagi. Tak hanya berhenti beroperasi, waduk ini juga terancam jebol. Itu akan menjadi bencana bagi empat kabupaten: Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas dan Cilacap.
Sudah Injury-Time
Masalah Waduk Mrica kini menjadi perhatian nasional. Berkat inisiatif Mas Imam B Prasodjo, penasehat senior Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, masalah kerusakan Serayu kini menjadi keprihatinan pemerintah pusat.
Penyelamatan Serayu tak bisa dilakukan sendiri-sendiri oleh tiap kabupaten. Itu sebabnya Mas Imam menggalang kolaborasi besar lima kabupaten, melibatkan pemerintah daerah pusat maupun daerah, aktivis non-pemerintah dan kalangan dunia usaha.
Pekan lalu saya menghadiri pertemuan tim dari Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi dengan Bupati Wonosobo Afif Nurhidayat serta seluruh jajarannya. Mereka membicarakan apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi krisis Serayu dan Waduk Mrica, khususnya dalam waktu dekat.
Kabupaten Wonosobo memiliki peran penting dalam penyelamatan Serayu. Sekitar 3/4 kawasan hulu Serayu ada di kabupaten ini.
“Kita sudah memasuki masa injury time,” kata Mas Imam Prasodjo. “Ini sudah darurat. Ancaman terhadap Mrica bisa memicu bencana ekonomi-sosial dan konflik yang luas.”
Menenggelamkan 32 desa di 7 kecamatan, Waduk Mrica mulai dibangun 1987 dan beroperasi dua tahun kemudian. Waduk ini punya luas genangan 12 km2 jika terisi penuh. Dia merupakan bendungan terbesar di Asia Tenggara dengan panjang bendungan mencapai 6,5 km.
Dikelola oleh Indonesia Power, anak perusahaan PLN, pembangkit Mrica menyumbang 185 MW ke jaringan listrik Jawa-Bali.
Namun, sedimentasi parah membuat Waduk Mrica kini hampir penuh, hanya tersisa 20% dari kapasitasnya. Sedimentasi mencapai 6 juta meter kubik, yang hanya bisa dikeruk dengan melibatkan 2.600 lebih dump-truck setiap hari. Hampir mustahil dilakukan.
“Mrica hanya punya sedikit waktu,” kata Mas Imam Prasodjo. “Kita harus bergerak cepat dan bersama-sama untuk penyelamatan Serayu yang sebenarnya sudah terlambat.”
Keterlambatan menuntut langkah yang lebih menyeluruh dan pendekatan radikal.
Deja vu dan Kutukan Kentang
Namun, upaya penyelamatan Serayu sebenarnya bukan inisiatif baru. Sejak belasan tahun lalu, kerusakan kawasan Dieng sebagai hulu Serayu sudah menjadi perhatian Wonosobo. Pemerintah daerah dan aktivis lingkungan setempat sudah memulai gerakan “Save Dieng” dan pembentukan Tim Kerja Pemulihan DAS Serayu beberapa tahun lalu.
Banyak kegiatan sudah dilakukan: penghijauan kembali kawasan perbukitan, penanaman pohon keras, memperkenalkan pertanian terpadu untuk menghambat perluasan lahan pertanian, dan mengajak petani mengusahakan penghidupan lain di luar kentang. Termasuk misalnya memberi petani kambing untuk mau beralih ke peternakan. Tapi, itu semua belum cukup efektif mengatasi masalah kentang.
Setelah sebelumnya berjaya dengan tembakau, pertanian kentang dimulai di kawasan Dieng sejak 1980-an, dipelopori oleh petani dari Pengalengan, Jawa Barat. Ketang segera jadi favorit, menjadikan Dieng sebagai salah satu produsen kentang terbesar dan terbaik di Indonesia.
Dibiayai secara agresif oleh dunia perbankan, perluasan kentang secara dramatis merambah hingga perbukitan dengen lereng sampai 70 derajat dan menghabisi kantong-kanyong hutan yang tersisa di hulu Serayu. Hilangnya kawasan resapan memicu limpasan air yang makin besar ketika hujan; memicu erosi, longsor dan sedimentasi.
Petani kentang Dieng akhirnya menjadi korban dari sukses awalnya sendiri. Lapisan humus yang tergerus hujan mengurangi kesuburan. Produktivitas kentang yang pada 1980-an mencapi 30 ton per hektar kini terjun bebas jadi sekitar 10 ton saja.
Sementara itu, biaya pertanian kentang justru makin mahal. Sumber air kian jarang. Dari 500 lebih mata air di Dieng kini tersisa sekitar 100-an saja akibat perluasan lahan kentang.
Kebutuhan pupuk dan obat pun meningkat. Petani juga harus mendatangkan “humus baru” setiap kali menanam: pupuk kandang dari peternakan-peternakan ayam di Jawa Timur.
Setiap hari, bertruk-truk kotoran ayam dengan segenap pencemarnya naik menuju Dieng. Puluhan ribu ton “soil baru” itu pula yang segera habis lagi dihajar air ketika hujan, masuk ke Serayu dan Mrica.
Masa kejayaan ekonomi kentang sudah surut, namun kebiasaan lama sulit hilang. Ekspansi lahan kentang masih terjadi, naik ke bukit yang makin tinggi.
Nepal-nya Indonesia
Dieng memang menawarkan alternatif ekonomi lain: pariwisata. Bertengger di atas ketinggian lebih dari 2.000 meter, dia dikenal sebagai “negeri di atas awan”. Meliputi wilayah 6 kabupaten, Dieng adalah dataran tinggi dengan jumlah penduduk terbanyak kedua di dunia setelah Nepal.
Terbentuk dari kaldera gunung purba, Dieng memiliki banyak kawah, telaga, puncak bukit tempat orang mengintip matahari terbit, dan kompleks candi Hindu tertua di Jawa. Itu semua menjadikan Dieng salah satu tujuan wisata terpenting di Jawa Tengah.
Tapi, pengelolaan wisata yang terlalu agresif dan sembrono bisa sama merusaknya dengan pertanian kentang. Tak hanya produksi sampah makin banyak. Tumbuhnya penginapan, restoran dan lapangan parkir di situs-situs “instagramable” juga memperluas kawasan terbangun yang mengurangi resapan air.
Kepemilikan lahan yang makin terpecah, privat dan individualistik, baik pertanian maupun wisata, mempersulit upaya pemerintah mengendalikan alih fungsi lahan, bahkan jika mau melakukannya. Pada kenyataannya, pemerintah daerah sendiri kurang serius dan tegas dalam menegakkan aturan tentang tata ruang, khususnya dalam menyelamatkan dan melindungi kawasan hijau.
Gerakan Radikal, Seradikal Pak Sukir
Tidak ada cara mudah untuk mengoreksi kesalahan masa lalu yang kini sudah hampir telambat dilakukan.
Penyelamatan Dieng dan Serayu tak hanya menuntut kerjasama/kolaborasi yang sangat padu melibatkan banyak pihak seluas mungkin. Pendekatannya juga harus komprehensif mencakup berbagi aspek: ekonomi, sosial dan budaya.
Dan yang paling penting: harus cukup radikal, keluar dari pola dan praktek biasa (business as usual) yang terbukti tidak efektif dalam 20 tahun terakhir.
Seradikal seperti petani kopi Pak Sukir. Belajar dari Pak Sukir kita harus menyadari bahwa konservasi dan kepentingan ekonomi bukanlah dua hal terpisah dan bertentangan. Keduanya harus dirancang dan diterapkan dalam satu kesatuan.
Itu menuntut paradigma baru dalam membangun. Pembangunan ekonomi, baik pertanian maupun wisata, yang mengabaikan kelestarian alam sudah terbukti akan berbalik memicu bencana tak hanya bagi ekonomi, tapi juga bagi hidup manusia sendiri. Pola pikir seperti itu harus dibuang jauh.***
Farid Gaban, Ekspedisi Indonesia Biru