Beberapa tahu silam di haul Kia Haji Maksum Lasem jika ingatan tak khilaf, Gus Yahya Staquf menjelaskan kompleksitas peran kiai di masyarakatnya. Kata beliau kira-kira, “bahkan, sapi milik salah satu masyarakat sakit, itu mengadunya kepada kiai”.
Memang demikian adanya. Bagi masyarakat, kiai selain sebagai tempat bertanya persolan hukum agama, juga sebagai tempat aduan banyak hal. Penulis sendiri pernah beberengan sowan kepada beberapa kiai dengan orang-orang yang punya hajat bermacam-macam, bahkan sampai anaknya galau lantaran putus cinta pun diadukan!
Tampaknya situasi yang demikian juga menghampiri Kiai Anwar Batang. Kalau kita membaca kitab karya beliau yang berjudul Aisyul Bahri, yang menjelaskan hukum-hukum hewan air dan hewan yang hidup di air dan darat, menunjukkan betapa beliau memberi jawaban sebagai solusi permasalahan di masyarakat, khususnya tentang status halal beberapa jenis hewan.
Saya mengandaikan, bisa jadi waktu itu banyak yang bertanya, “Kiai, hukum hewan seperti kepiting, belut, ikan lele itu halal apa tidak?”
Contoh-contoh hewan di atas adalah hewan-hewan yang tak asing bagi masyarakat desa, baik yang hidup di daerah pesisir maupun di persawahan era dulu, di mana banyak orang yang memporoleh, katankalah belut dan ikan lele, di semak-semak sungai dan lubang-lubang kecil sawah.
Selain perihal status hukum hewat-hewat tersebut, kitab Aisyul Bahri juga dilengkapi dengan beberapa cerita dan doa-doa. Sebagaimana kita rasakan, medium pembelajaran agama di desa-desa salah satunya adalah dengan cerita. Tentu bukan sekedar cerita, namun cerita yang punya “hidden agenda” menyampaikan ajaran ke masyarakat seperti dicontohkan Kiai Anwar dengan cerita Nabi Sulaiman yang ingin memberi makan seluruh ikan. Dengan cerita ini, Kiai Anwar mengajarkan tentang tauhid Asy’ariyyah. Penulis pernah mengulasnya di alid.id
Lalu tentang doa-doa, juga semakin menguatkan bahwa karya Kiai Anwar ini memang menjawab kebutuhan masyarakatnya. Di dalam kitab beliau, kita akan mendapati ragam doa, seperti doa aman rumah dari gangguan hewan seperti ular, aman dari pencuri, doa sebelum tidur, doa supaya rezeki dilancarkan dan lain sebagainya. Selain doa-doa, juga ada beberapa “ilmu titen” yang termuat. Kiai Anwar mengatakan kira-kira, “ini (telah) dicoba (mujarrobun).
Begitulah, Kiai Anwar dari Batang itu, bisa dikatakan sebagai kiai desa. Bukan lantaran keilmuan beliau hanya level desa. Namun kemampuan beliau menjawab kebutuhan masyarakat desa dengan keilmuan beliau yang luas, dengan bukti beliau mengutip beberapa kitab pokok seperti al-Minhaj.
Memudarnya Kitab Fikih Pedesaan
Kitab Kiai Anwar Batang di kemudian hari, entah bisa hari ini sudah dimulai atau belum, bisa saja “tidak relevan”. Kenapa demikian?
Kitab Kiai Anwar ini membahas tentang status hukum hewan-hewan yang notabennya hidup di pedesaan. Jika orang-orang desa, atau hewan-hewan yang disebut Kiai Anwar tidak ditemukan lagi di semak-semak persawahan dan sungai, di tambak dan laut, lalu apa gunanya justifikasi kehalalan yang termuat dalam kitab tersebut.
Ada dan tidaknya hewan-hewan tersebut, dalam kaca mata luar (dzahir), tentu ada hubungannya dengan kita, manusia dalam memperlakukan alam. Bagaimana hewan-hewan tersebut bisa ditemukan jika sungai-sungai airnya telah tercemar, sawah-sawah juga tak terjaga dan laut dipenuhi tumpukan sampah?
Apakah memudarnya kitab fikih pedesaan, yang salah satunya ditulis Kia Anwar telah dimulai? Tentu kita sendiri yang tahu jawabannya bukan?
Zaim Ahya, 15 Ferbruari 2020 di kedai @tak_selesai
Ijin share gus…
siap