Dominasi Ekonomi dan Penguasaan Ruang

“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, begitu bunyi sila kelima Pancasila. Namun masih jauh panggang dari api untuk mewujudkan sila tersebut. Sejak pasca-kolonial, Orde Baru, hingga pasca-reformasi, kebijakan negara selalu mengutamakan kepentingan investasi sektor sumber daya alam. Sementara pembenahan sumber daya manusia, seakan diabaikan.

“Kegilaan” investasi ini menimbulkan jurang antara kelas masyarakat kaya (dominan secara ekonomi) dan kelas masyarakat miskin (terdominasi secara ekonomi). Potret ketimpangan ekonomi itu dapat kita lihat dari riset Oxfam Indonesia. Empat orang terkaya Indonesia memiliki kekayaan setara dengan seratus juta penduduk. Ini menjadi salah satu indikasi yang membuat Indonesia menempati peringkat kedua setelah Thailand sebagai negara dengan ketimpangan ekonomi tertinggi di ASEAN.

Lebih dari itu, dominasi ekonomi Indonesia oleh konglomerat, ditopang pula oleh dominasi penguasaan lahan dengan sokongan lembaga pendanaan. WALHI mencatat ada 60,3% lahan dikuasai oleh korporasi pada sektor izin perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.

Ketimpangan yang sangat tinggi, diperkuat data rasio gini penguasaan lahan yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2013 mencapai angka 0,68. Artinya terdapat 1% penduduk Indonesia menguasai 68% lahan. Akar masalah ketimpangan penguasaan ekonomi dan lahan ini disebabkan oleh watak paradigma pembangunanisme. Paradigma licik yang bersembunyi dibalik orientasi pertumbuhan ekonomi (growth).

Paradigma pembangunanisme mendasarkan kesejahteraan hanya dalam skala makro berdasar angka pendapatan per kapita. Apabila ditelisik lebih dalam hanya dinikmati kelompok super kaya yang jumlahnya kecil. Watak paradigma pembangunan mengorbarkan sumber daya alam sebagai komoditas yang harus diekstraksi dan dieksploitasi. Tujuannya, apalagi kalau bukan mengeruk pundi-pundi material untuk menggerakkan roda kapitalisme.

Keberpihakan negara pada praktik buruk investasi sumber daya alam membawa dampak krisis lingkungan hidup dan ruang hidup rakyat di seluruh Indonesia. Tinjauan Lingkungan Hidup (Environmental Outlook) WALHI tahun 2018 dan 2019 mencatat terjadinya peningkatan bencana hidrometeorologi yang disebabkan kerusakan lingkungan hidup.

Tidak hanya itu, konflik agraria karena dominasi penguasaan ruang juga mengalami peningkatan cukup tinggi. Watak ekonomi negara yang melanjutkan moda produksi kolonial terus saja mengabaikan ekonomi lokal. Padahal sistem ekonomi lokal berperan penting dalam menyejahterakan ekonomi rakyat sekaligus mempertahankan kelestarian lingkungan hidup.
Sayangnya krisis sosio-ekologis yang terjadi semakin masif, tidak ditanggapi secara serius oleh pemerintah Jokowi sejak periode pertama hingga periode kedua. Pemerintahan Jokowi justru semakin memperlihatkan keberpihakannya pada investasi yang abai pada kesejahteraan rakyat dan kelestarian lingkungan hidup.

Kegagalan Ekonomi Pertumbuhan (Economic Growth)

Pertumbuhan ekonomi (Economic Growth) selama ini dipakai sebagai teori arus utama makro-ekonomi di negara Utara (maju). Indikator ini “diperkenalkan” untuk dipakai juga oleh negara Selatan (berkembang). Pertumbuhan ekonomi yang berfokus pada akumulasi pada mulanya telah dimulai ketika ekonomi menjadi disiplin. Penekanan pertumbuhan kemudian dikembangkan sebagai jawaban pasca depresi ekonomi Amerika Serikat pada tahun 1930.

Pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada investasi, dan besaran konsumsi perkapita dan neraca dagang ekspor impor, digadang mampu menyelesaikan persoalan penyediaan lapangan kerja, peningkatan standar hidup, dan distribusi kesejahteraan.

Faktanya, berdasarkan pengalaman dari praktik pertumbuhan ekonomi justru menyebabkan konsentrasi besar kekuatan ekonomi yang menimbulkan ketimpangan ekonomi dan krisis ekologis. Pertumbuhan ekonomi menjadi dalang dari bencana lingkungan, hancurnya struktur sosial, pencabutan identitas budaya, dan lahirnya kota-kota besar yang mengerikan.

Pertumbuhan ekonomi sejatinya hanya melayani sebagian kecil populasi dunia untuk memuaskan kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan mereka. Ekonomi jenis ini menciptakan tipe baru masyarakat heteronom berdasarkan kekuatan ekonomi, kompetisi, keserakahan dan individualisme.

Krisis ekonomi global yang terjadi pada tahun 1998, terulang pada tahun 2008 dan 2019. Hal ini menjadi fakta yang tidak terbantahkan bahwa ekonomi pertumbuhan sesungguhnya adalah ekonomi yang rapuh. Krisis demi krisis telah menunjukkan kesalahan kebijakan ekonomi berbasis angka Produk Domestik Bruto (PDB) sebagai ukuran keberhasilan.

Mengejar pertumbuhan PDB diyakini telah mengalihkan prioritas tentang hal yang sesungguhnya penting bagi kesejahteraan hidup manusia. Kenaikan PDB yang dikejar oleh negara-negara dunia nyatanya berimplikasi negatif pada menurunnya kualitas lingkungan hidup, yang terakumulasi dengan pemanasan global dan krisis iklim.

Ekonomi Nusantara sebagai Jalan Alternatif

Kent Klitgaard (2010) menyebutkan pertumbuhan ekonomi mempunyai batas pada tiga hal. Pertama, pertumbuhan ekonomi akan dibatasi dinamika akumulasi modal, khususnya pada investasi. Ketika batas-batas ini tercapai, ekonomi akan mengalami stagnasi siklikal (musiman) dan sekular (jangka panjang).

Kedua, pertumbuhan ekonomi akan dibatasi daya dukung dan tampung lingkungan. Pertumbuhan ekonomi dengan corak produksi ekstraktif dan eksploitatif berdampak buruk pada keberlanjutan lingkungan hidup. Ketiga, pertumbuhan ekonomi memiliki batas stabilitas politik. Ketika kapasitas pertumbuhan ekonomi menurun, maka menurun pula legitimasi suatu pemerintahan.

Pertumbuhan ekonomi di Indonesia dalam praktiknya hanya berhasil dalam skala makro ekonomi lewat capaian angka. Terutama dalam bentuk kenaikan pendapatan per kapita dan kenaikan produk domestik bruto (PDB).

Pertumbuhan ekonomi tersebut faktanya hanya dinikmati oleh segelintir kelas ekonomi atas, dan sesungguhnya melanggengkan dominasi penguasaan ekonomi dan ruang hidup. Madzhab pertumbuhan ekonomi yang dianut pemerintah Indonesia tidak berkorelasi terhadap kesejahteraan rakyat, tidak berdampak pada upaya pengentasan kemiskinan, dan tidak menghilangkan ketimpangan.

Pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh investasi sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan dan industri, justru menjadi penyebab dari krisis lingkungan hidup. Kebakaran hutan dan lahan, banjir, pencemaran, dan krisis air adalah sederet masalah yang ditimbulkan oleh pertumbuhan ekonomi, dengan beban biaya lingkungan yang harus ditanggung oleh rakyat. Dari sisi politik, pertumbuhan ekonomi semakin melanggengkan cengkraman oligarki yang menguasai “infrastruktur” ekonomi dan politik Indonesia.

Kepercayaan terhadap economic growth harus diruntuhkan, karena telah terbukti gagal melahirkan kesejahteraan, dan bahkan melahirkan krisis baru. Muncul narasi tanding berrnama degrowth. Narasi ini mencoba melampaui ukuran pertumbuhan ekonomi dari angka PDB. WALHI sedang melakukan penelitian yang kurang lebih mempunyai kesamaan dengan muatan degrowth yakni ekonomi nusantara.

Ekonomi nusantara oleh WALHI didefinisikan sebagai praktik ekonomi yang mengutamakan aspek kelestarian lingkungan hidup dan keadilan ekologis. Praktik ekonomi nusantara, lebih luas cakupannya dari sekedar hitungan valuasi dan nominalisasi sumber daya alam secara ekonomis. Praktik ini secara luas terbukti memberikan kesejahteraan bagi rakyat secara ekonomi disatu sisi, dan mampu mempertahankan keragaman biodiversitas, sosial, budaya dan identitas Indonesia pada sisi yang lain.

Studi ekonomi nusantara dilakukan 10 lokasi di 8 provinsi yang mewakili lanskap ekologis berbeda, mulai dari lanskap hutan dataran tinggi, rawa gambut, hutan dataran rendah, sabana, hingga pesisir dan pulau kecil. Keseluruhan lokasi tersebut merupakan wilayah kelola rakyat dengan keragaman praktik ekonomi berbasis keberlanjutan, yang selama ini dijalankan oleh komunitas masyarakat bersama dengan WALHI.

Secara singkat studi ini memiliki dua tujuan; pertama, visibilitas, Dengan memperlihatkan bahwa masih ada potensi ekonomi di nusantara yang tidak merusak, menghormati relasi manusia dan alam, dan berdaulat atas tanah airnya, kedua, perjuangan “kategoris”, Studi ini hendak mendorong kategori ‘baru’ bernama “ekonomi nusantara” sebagai satu karakter khusus yang menjadi alternatif dari economic growth.

Sebagai sebuah diskursus degrowth, ekonomi nusantara menurut WALHI harus memiliki empat indikator. Pertama, terdapat warisan ketersambungan sejarah kejayaan masa lampau. Artinya semua lokasi studi dipilih karena ada tapak historis yang menunjukkan kekuatan ekonomi masa lampau.

Kedua, adanya ketergantungan terhadap lanskap ekologis. Semua lokasi studi merupakan bagian dari keragaman sumber ekonomi di nusantara dulu dan sekarang yang memiliki basis ragam lanskap ekologis.

Ketiga, memiliki praktik pengetahuan dan kearifan lokal. Artinya semua lokasi yang ditampilkan dalam studi ini juga menunjukkan bahwa jenis ekonomi yang dikelola masyarakat terbukti tidak merusak, manusiawi dan berbasis pengetahuan lokal dengan seluruh kearifannya.

Keempat, mempunyai inisiatif pemulihan krisis sosial-ekologis. Semua temuan ekonomi lokal di lokasi studi harus memiliki atau tersambung dalam upaya gerakan yang lebih luas, dalam upaya pemulihan dan pembalikan krisis sosial-ekologis yang dialami di tingkat lokal.

Beragam Praktik Ekonomi Nusantara

Dari studi yang dilakukan oleh WALHI, terdapat temuan praktik ekonomi lokal yang memenuhi empat indikator kriteria ekonomi nusantara. Praktik ekonomi nusantara tersebut dibagi menjadi tiga gradasi berdasarkan visibiltasnya yaitu; ekonomi nusantara masih berdiri kokoh, ekonomi nusantara terancam keberpihakan negara pada investasi, dan ekonomi nusantara eksistensinya terancam punah.

1. Ekonomi Nusantara Masih Berdiri Kokoh

Secara historis, dua lokasi riset di Kedonganan Bali dan Tanjung Aur Bengkulu pernah mengalami kejayaan, dan kejayaan tersebut masih eksis hingga saat ini. Desa Adat Kedonganan mengalami gerusan bisnis pariwisata Bali dan meningkatnya kebutuhan ekonomi, baik untuk kebutuhan sehari-hari, maupun mempertahankan kebudayaan lokal mengakibatkan adanya perubahan struktur nafkah hidup.

Dominasi aktivitas ekonomi berubah menjadi ketergantungan dari aktivitas bisnis pariwisata modern. Hanya saja praktik bisnis pariwisata dikelola secara komunal di bawah garis koordinasi desa adat. Pengembangan pariwisata Kedonganan tidak mengandalkan investasi dari luar, karena investor utamanya adalah desa adat dan seluruh krama desa adat.

Secara valuasi ekonomi, pendapatan tiap kafe yang berjumlah 24 secara normal bisa mencapai 500 s/d 700 juta tiap bulannya. Pendapatan ini berkontribusi kepada desa adat dan krama-nya. Ia juga bersumbangsih memberikan insentif khusus untuk aktivitas sosial, budaya dan pendidikan.

Dari aspek pengelolaan berbasis kearifan lokal, bisnis modern yang dikembangkan desa adat bersama krama-nya masih terikat pada nilai lokal. Di Kedonganan, ditemukan pengaturan praktik ekonomi nusantara. Model bisnis modern diatur melalui perkembangan hukum adat dalam perarem dan awig-awig.

Sistem ini tidak memperkenankan aktivitas yang bertentangan dengan norma kesopanan Bali, tidak membatasi ruang publik sepanjang pantai, dan aktivitasnya tidak boleh mengganggu kegiatan upacara adat.

Untuk lokasi Tanjung Aur, kejayaan ekonomi yang ada saat ini memang mengalami penurunan. Hanya saja masyarakat masih mampu hidup sejahtera dengan kondisi lingkungan hidup yang baik. Pendapatan penduduk diperkirakan sekitar 6,12 juta/bulan (minimal) dan 18,03 juta/bulan.

Penguasaan ruangnya juga relatif merata. Luas kepemilikan maksimal 8 hektar dan minimal 2 hektar, dengan rata-rata kepemilikan 2,9 hektar/keluarga. Model budidaya yang dilakukan merupakan model yang diwariskan secara turun temurun, yang berorientasi pada perlindungan ekosistem Bukit Kumbang. Sebuah kawasan ekosistem penyangga Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).

2. Ekonomi Nusantara Terancam Keberpihakan Negara pada Investasi

Lokasi riset yang masuk kategori terancam oleh keberpihakan negara pada investasi tersebar di Lebak Rawang, Sumatera Selatan; Desa Sinar Mulya, Bukit Kumbang, Bengkulu; Desa Adat Sendi di Jawa Timur; Kampung Long Isun, Kalimantan Timur; Kalaodi, Maluku Utara; dan Desa Bararawa, Kalimantan Selatan.

Seluruh lokasi studi memenuhi empat kategori ekonomi nusantara, namun lokasi studi tersebut mengalami kondisi krisis dan terancam. Ketiadaan pengakuan dan perlindungan oleh negara membuat kondisi atau potensi krisis dapat membesar.

Kampung Long Isun dan Desa Adat Sendi masih dalam posisi terancam oleh investasi sektor kehutanan dan perkebunan. Legalitas investasi membuat kedua desa terancam kehilangan identitasnya sebagai masyarakat hukum adat. Desa Sendi secara de jure sudah dihapus sebagai desa administratif sejak tahun 1989, dan kini dimasukkan ke Desa Pacet.

Apabila investasi terus menggerus keberadaan dua lokasi ini, maka potensi kerusakan ekosistem hutan dataran tinggi Sendi dan hutan dataran rendah Long Sun dilakukan oleh Perhutani dan PT. KBT. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya konflik, meningkatkan potensi bencana ekologis dan hilangnya struktur nilai yang dipertahankan masyarakat. Tidak menutup kemungkinan kedua entitas masyarakat adat ini akan hilang.

Desa Sinar Mulya mengalami krisis dan ancaman karena wilayahnya masuk dalam area HPT Bukit Kumbang dan kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Sedangkan di lokasi Lebak Rawang dan Bararawa tidak memiliki legalitas terhadap wilayah kelola rakyat.

Inisiatif pemulihan lanskap ekologis gambut di Bararawa dan Lebak Rawang terancam investasi perkebunan kelapa sawit dan kehutanan. Model perkebunan sawit yang menggunakan kanal mengakibatkan rusaknya sistem hidrologi rawa gambut di dua lokasi studi tersebut. Pembukaan lahan sawit oleh korporasi juga mengakibatkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan.

Sedangkan praktik ekonomi nusantara di Desa Kalaodi Halmahera, terancam oleh kebijakan negara berupa penetapan Kalaodi sebagai kawasan hutan lindung. Pada tahun 1982, pemerintah menetapkan wilayah Kalaodi sebagai kawasan Hutan Lindung Tagafura dengan luas mencapai 2.513,08 hektar.

Kalaodi adalah salah satu desa yang masuk dalam kawasan tersebut. Penetapan kawasan hutan lindung tersebut berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor SK.302/Menhut-II/2013 tanggal 1 Mei 2013 tentang Kawasan Hutan Provinsi Maluku Utara, yang menetapkan wilayah Kalaodi sebagai kawasan Hutan Lindung Tagafura.

Kebijakan tersebut mengabaikan keberadaan perkampungan para petani rempah yang telah ada sejak ratusan tahun lalu. Sejak ditetapkan sebagai kawasan Hutan Lindung Tagafura, warga tidak dapat lagi melakukan pembukaan lahan baru untuk perkebunan. Warga hanya memanfaatkan lahan-lahan yang sudah dikelola sejak dulu secara turun temurun.

Meski demikian, warga Kalaodi sendiri menyebut bahwa tanpa status hutan lindung, mereka sejak dulu sebelum ada negara, telah menjaga dan melindungi hutan dan pegunungan Tidore dari kerusakan ekosistem.

3. Eksistensi Praktik Ekonomi Nusantara Terancam Punah

Dua lokasi studi di Lebak Belanti, Sumatera Selatan, dan Desa Napu Nusa Tenggara Timur secara kategori pernah mengalami sejarah kejayaan. Sayangnya, kejayaan ini sudah tidak lagi eksis. Kerusakan ekosistmemaksa masyarakat mengubah struktur mata pencahariannya.

Bahkan dalam kasus di Napu terjadi migrasi kelompok pemuda ke Waingapu dan Bali karena sulitnya bertahan hidup di kampung. Praktik kearifan lokal di kedua lokasi juga tergerus karena krisis ekonomi yang dialami warga. Apabila dibandingkan antara Lebak Balanti dan Napu, posisi Lebak Belanti masih lebih baik, karena ada inisiatif warga untuk mengubah mata pencaharian, dengan menyesuaikan kondisi ekosistem yang rusak.

Masih ada beberapa lokasi atau hasil alam yang bisa dimanfaatkan. Secara valuasi ekonomi, pendapatan rata-rata setiap bulan yang diperoleh warga masih dalam kategori cukup. Sedangkan di Napu, lokasi ini mengalami kondisi krisis yang luar biasa, antara lain krisis air, krisis pangan dan kebakaran lahan. Hal ini yang menyebabkan sulit menemukan anak muda yang masih mau bertahan di Napu.

Keberpihakan pemerintah terhadap investasi dan tidak adanya insentif khusus untuk mempertahankan kelestarian ekosistem, telah meluluhlantangkan lanskap ekologis yang menjadi pusat pengetahuan/kearifan lokal. Terkait dengan inisiatif lokal untuk lepas dari krisis sangat sulit berhasil, apabila tidak ada intervensi dan keberpihakan negara secara serius.

Refleksi dan Proyeksi Diskursus Ekonomi Nusantara

Hasil temuan studi WALHI tentang praktik ekonomi nusantara di 10 lokasi menunjukkan, bahwa tata kelola ekonomi berkelanjutan telah ada dan dipraktikkan sejak lama. Sayangnya, praktik baik ekonomi nusantara yang secara valuasi ekonomi mempunyai nilai ekonomi signifikan, tidak mendapatkan legalitas pengakuan, insentif dan perlindungan dari negara.

Bahkan inisiatif pemulihan yang digagas untuk mencegah atau melawan krisis, tidak diakomodir serta atau direspon secara serius. Eksistensi praktik ekonomi nusantara terancam oleh investasi yang masuk ke jantung ekonomi lokal melalui izin perkebunan, kehutanan, pertambangan dan pembangunan infrastruktur.

Menghadirkan ekonomi nusantara sebagai alternatif dari economic growth merupakan sebuah pekerjaan rumah yang berat. Ia harus terus disuarakan di ruang publik agar menjadi diskursus yang mendapat dukungan sehingga mampu secara perlahan meruntuhkan kepercayaan negara terhadap model pembangunan yang kapitalistik berwatak ekstraktif dan eksploitatif.

Studi Ekonomi Nusantara ini adalah langkah awal dan semacam trigger discource atau pemantik diskursif untuk mendudukkan ulang daulat ekonomi rakyat berbasis pengetahuan, kearifan dan potensi ekonomi lokalnya sendiri sebagai soko guru ekonomi nasional.

Dengan dasar ini, setidaknya ada 4 tujuan yang ingin ditunjukkan; Pertama, isibilitas ragam ekonomi berbasis kerakyatan nusantara yang selaras prinsip social-ecological justice.

Kedua, mendorong pengarusutamaan alternatif ekonomi nusantara di ranah kebijakan negara sebagai koreksi atas model economic growth yang gagal. Ketiga, penyelamatan dan pemulihan ragam ruang hidup dan hak kelola rakyat, akibat warisan krisis ekosistem dalam kurun waktu yang sangat panjang.

Keempat, menunjukkan bukti-bukti empirik praktik masyarakat dengan kelola ekonomi lokal, mampu sejalan dengan tujuan keuntungan ekonomi (benefit), dengan berlandaskan nilai-nilai luhur yang selaras dengan prinsip keberlanjutan lingkungan hidup.

Masihkah negara percaya dengan economic growth yang telah terbukti gagal dan justru membawa petaka ketimpangan ekonomi serta krisis lingkungan hidup? Tidakkah negara ingin mendorong praktik ekonomi nusantara dengan memberikan pengakuan seluas-luasnya atas wilayah kelola rakyat yang terbukti mensejahterakan, berkeadilan dan berkelanjutan?

Abdul Ghoffar, Aktivis Lingkungan

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.