Gema ketertarikan orang-orang, khususnya daerah Batang dan sekitarnya, mengkaji kitab Aisyul Bahri, yang menjadikan pembahasan kepiting dan hewan-hewan kuliner sejenis, semakin hari semakin terasa gaungnya. Mau tidak mau, pembahasan, sudut pandang dan pertanyaan kritis yang muncul saat atau setelah mengkaji kitab tersebut pun semakin beragam. Dua dari keberagaman itu adalah pertanyaan tentang, “Apa alasan penulisan kitab tentang hewan-hewan yang hidup di laut dan yang hidup di darat dan laut?” dan “Kenapa Kiai Anwar Batang menyatakan kepakarannya sebagai ahli perihal hewan kuliner laut?”

Untuk mengetahui alasan sebuah kitab ditulis biasanya bisa temukan dalam mukadimah kitab. Salah satu contohnya adalah Syaikh Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri. Di mukadimah kitab Risalah al-Bajuri tentang ilmu Tauhid, yang kemudian Kiai Nawawi Banten menulis kitab menjelasnya yang berjudul Syarah Tijan at-Darari, Syaikh al-Bajuri menulis bahwa latar belakang penulisan kitabnya adalah adanya permintaan dari sebagian beberapa teman. Lalu bagaimana dengan Kiai Anwar Batang? Apakah juga demikian?

Setelah memuji Allah dan membaca salawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan sebelum masuk pembahasan hukum mengkonsumsi hewan-hewan kuliner, Kiai Anwar menulis yang artinya kira-kira begini:

“Saya menulis Aisyul Bahri sebagai penyerahan mengaharap kebaikan karena Allah, bagi utusan-Nya dan untuk seluruh umat Islam, dan juga berharap masuk dalam sabda Nabi, salawat dan salam semoga tercurahkan atasnya, ‘setiap kebaikan (ma’ruf) adalah sedekah, dan orang yang menunjukkan kebaikan seperti halnya yang melakukannya, dan Allah mencintai orang yang membantu kebingungan/kesusahan”

Sepertinya apa yang dinyatakan Kiai Anwar di atas telah jelas, dan mungkin hanya satu hal yang berpotensi menimbulkan pertanyaan lanjutan di benak kita, yakni kata “kebingungan/kesusahan”. Kebingungan atau kesusahan dalam hal apa?

Kalau masuk dalam pembahasan kitab ini, bisa jadi yang di maksud Kiai Anwar adalah kebingungan perihal hukum mengkonsumsi hewan seperti kepiting, belut, ikan lele dan semacamnya, yang oleh beberapa orang dihukumi haram sebab dimasukkan dalam golongan hewan-hewan yang hidup di dua alam. Salah satunya, dalam rangka menyampakain kehalalan hewan tersebut dengan argumentasi data berbasi penelitian empiris, kitab ini ditulis.

Sedang perihal jawaban pertanyaan ke dua terkait Kiai Anwar yang menyatakan kepakarannya perihal hewan kuliner laut sebenarnya tak lepas dari jawaban pertanyaan pertama. Namun sebelum menjawab pertanyaan ini, lebih dulu kita ketengahkan pertanyaan, benarkah Kiai Anwar menyatakan kepakarannya?

Memang dalam isi kitabnya, seingat penulis, tak ada pernyataan beliau perihal kepakarannya itu. Namun jika bersandar kepada sampul kitab, baik yang versi lama berupa scan pdf kitab milik Kiai Basyir Jekulo Kudus, versi kitab yang masih tersimpan rapi di rumah Kiai Hasan salah satu keturunan Kiai Muntaha menantu Kiai Kholil Bangkalan yang disinyalir milik Kiai Kholil Bangkalan atau versi terbaru yang dicetak oleh Pondok Pesantren Darul Ulum Tragung Kandeman Batang milik Kiai Zainal Iroqi, selain keterangan beliau berasal dari Batang (al-Batangi) Kauman (al-Kaumani) juga pakar dalam hewan kuliner laut (min ahli soidil bahri). Melihat yang demikian, apa yang tertara di sampul kitab kemungkinan besar telah disetujui Kiai Anwar.

Sebagaimana dinyatakan di awal, dengan mellihat cara Kiai Anwar Berargumen, selain melengkapi argumen dengan basis pengamatan lapangan seperti kata “saya menyaksikanya berkali-kali”, Kiai Anwar juga menyatakan bahwa pengharaman hewan seperti kepiting tidak memiliki dasar yang kuat dan hanya berdasar pengamatan sekilas yang kemudian menjadi rumor yang diikuti. Di poisisi yang demikian ini, sudah selayaknya Kiai Anwar menyatakan dirinya sebagai pakar yang paham dengan hewan-hewan yang status kehalalannya “diperjuangkan” oleh beliau.

Dan ternyata, kepakaran Kiai Anwar yang ternyatakan di sampul kitab ini bukanlah isapan jempol belaka. Ia membuktikannya dengan menjelaskan detail perihal hewan-hewan tersebut. Dalam kasus kepiting, Kiai Anwar menjelaskan bentuknya, kebiasaannya, asal penamaan, cara memperoleh makanannya dan tempat persembunyiannya.

Apakah Anda sudah puas dengan jawaban dari dua pertanyaan di atas? Jika belum, mari kita kaji dan diskusikan di kedai @tak_selesai.

Plumbon, 9 Februari 2020

Zaim Ahya, Owner kedai @tak_selesai

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.