Apa yang khas dan memiliki persamaan dari tulisan Gus Dur dan ngaji Gus Baha?
Saya memberanikan diri dan saya kira Anda pun setuju, kesamaan dari keduanya adalah adanya usaha memperkenalkan bermacam-macam buku.
Kalau kita baca tulisan-tulisan Gus Dur, misalnya. Sering kali Gus Dur mengutip buku, bahkan yang mungkin asing bagi komunitasnya. Salah satunya saat Gus Dur menulis kata pengantar di buku karya sahabatnya, Gus Mus yang berjudul Cand Nabi dan Tawa Sufi.
Tak tanggung-tanggung, di pembukaan pengantarnya, Gus Dur langsung mengutip Ernest Hemingway:
“Keberanian adalah rahmat di bawah tekanan”.
Kendati tak menyebutkan sumbernya, para pengagum Gus Dur seperti para santri akan tertarik mencari tahu siapa Hemingway.
Contoh lain ketika Gus Dur membahas tentang pendidikan atau transfer of knowledge di pesantren. Selain mengutip kisah Mahabharata, beliau juga menyebut salah satu novel yang meraih penghargaan Nobel karya Albert Camus, L’Étranger yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi Orang Asing.
Kenapa tak hanya kitab kuning yang Gus Dur pekernalkan? Tentu jawaban pastinya hanya Gus Dur yang tahu. Namun sepertinya hal itu tak lepas dari tesisnya tentang kosmopolitananisme Islamnya yang terkenal itu. Menurut pemahaman penulis, Gus Dur menginginkan terciptanya dialog antara pengetahuan pesantren dan pengetahuan yang berkembang di luar pesantren.
Demikian juga Gus Baha. Kendati tak seperti Gus Dur dalam persoalan ragam buku yang diperkenalkan, namun beliau punya andil besar dalam menghadirkan kitab-kitab, yang sebenarnya berasal dari tradisi kitab kuning, asing, atau hanya sedikit diketahui orang-orang pesantren era ini.
Kitab-kitab yang diperkenalkan Gus Baha, dengan kekuatan kharisma beliau, langsung ramai dicari banyak orang, khususnya komunitas pesantren. Kitab-kitab tersebut pun dipelajari dan ikut berperan dalam memperkaya pandangan intelektual kita.
Sebut saja kitab Syajarotul Ma’arif karya Imam ‘izzuddin bin Abdisalam, yang disebut Gus Baha saat ngaji di Universitas Tribakti Lirboyo, Kediri. Dengan kitab ini, Gus Baha, sebagaiman penulis dengan, ingin mengubah persepsi yang sekarang berkembang bahwa memahami al-Quran itu sulit.
Ketika mencoba membaca kitab tersebut, penulis secara tidak sengaja menemukan kisah yang menginspirasi perihal sikap kita terhadap kemaksiatan. Kisah ini berbeda dengan mereka yang memilih jalur kekerasan untuk membasmi kemaksiatan.
Conton lain adalah kitab al-Allamah Hasyim Asy’ari: Wadli’u Labinatis Tiqlali Indunisia karya Sayyid Muhammad Asad bin Ali bin Ahmad Shihab. Oleh Gus Baha kitab ini diperkenalkan di haul Gus Dur belum lama ini di Jombang.
Melalui kitab ini, Gus Baha menyampaikan kepada masyarakat pengajian, bahwa pertemuan dengan orang luar (orientalis) tidak hanya terjadi pada era Gus Dur. Namun sudah berlangsung pula sejak zaman Kiai Hasyim Asy’ari. Kitab tersebut menunjukkan pula kapasitas keilmuan Kiai Hasyim yang luar biasa dan luasnya pergaulan beliau.
Apa orientasi Gus Baha mengenalkan kitab-kitab “asing” (ghorib) kepada masyarakat luas? Jawabannya, tentu hanya perkiraan, sebagai upaya beliau memperkuat dan menjaga basis intelektual, khususnya komunitas pesantren. Sehingga para santri generasi mendatang juga punya pengetahuan dan pandangan luas seperti para pendahulunya.
Bagi penulis sendiri, mengenalkan generasi selanjutnya kepada kitab atau buku merupakan hal penting. Karena, walau bagaimanapun kita terbatas ruang dan waktu, maka mengenalkan ragam kitab dan buku adalah langkah alternatif yang penting. Bukankah Anda juga setuju?
Zaim Ahya, Jogja 10 Februari 2020