Ada yang menarik dari argumen dan data yang diajukan Kiai Anwar Batang dalam kitab Aisyul Bahri (selesai ditulis tahun 1339 H/1920 M), perihal penolakannya atas justifikasi haram hewan kepiting dan beberapa hewan yang serumpun.
Kabar keharaman kepiting, dalam rekaman kitab Aisyul Bahri, sudah terlanjur menyebar, mungkin dalam bahasa sekarang bisa dikataka viral.
Menghadapi itu, Kiai Anwar tidak berkutat hanya tentang persoalan apa yang telah menjadi viral. Tapi beliau melakukan penelusuran, kenapa keharaman kepiting bisa menjadi viral? Bukan berhenti di apa yang terjadi, tapi bagaimana itu bisa terjadi, mirip genealoginya Michel Foucault?
Ada beberapa sebab yang dituturkan Kiai Anwar dalam kitabnya. Pertama adalah informasi yang tertera dalam kitab al-Majmu’ al-Jawi dan kedua lantaran ada yang mengatakan bahwa kepiting sama dengan hewan sarathon – dalam semua kitab fikih yang penulis temui, sarathon termasuk hewan yang diharamkan karena hidup di dua alam – namun tidak menyertakan dalil. Lantaran itu, tulis Kiai Anwar, orang-orang awam mengikuti pendapat tersebut.
Kiai Anwar juga menyatakan, bahwa orang yang berpendapat kepiting bisa hidup di darat (juga) secara langgeng itu karena praduga yang salah (wahm).
Menguatkan kritiknya itu, Kiai Anwar mencantumkan cerita seorang guru bersama murid-muridnya berjalan dipinggir sungai, lalu melihat kepiting mutar muter di pinggiran sungai padahal hanya sebentar (waqtin qolilin). Bersandar dengan pengamatan sekilas ini, guru menyangka bahwa kepiting bisa hidup di darat secara langgeng, lalu ia berkata pada murid-muridnya bahwa kepiting hukumnya haram dengan alasan tersebut.
Kiai Anwar menambahkan, praduga guru yang salah itu juga lantaran tak mengetahui klasifikasi atau tipologi kehidupan hewan laut saat di darat yang tiga itu: (1) hidup di darat seperti hidupnya hewan yang di sembelih seperti ikan lele , (2) hidup di darat tapi hanya bertahan sebentar seperti kepiting, bulus, belut, keong, (3) hidup di darat secara langgeng seperti sarathon, katak, buaya dan kura-kura.
Tipologi nomor dua dan nomor satu menurut Kiai Anwar termasuk yang halal dikonsumsi. Sedang yang ketiga haram, berbeda dengan pendapatnya Imam Malik.
Di penjelasan tentang hewan bulus, yang menurut Kiai Anwar berbeda dengan kura-kura, beliau secara tegas mengatakan perihal persoalan hukum, tak boleh hanya mengikuti rumor, harus ada dalil yang jelas atau pendapat ulama. Penegasan Kiai Anwar ini secara tidak langsung mengindikasikan, tersebarnya kabar di atas lantaran kurang sikap kritis dari masyarakat awam.
Sampai di sini – dengan tidak menafikan pendapat ulama yang mengharamkan kepiting – dalam konteks informasi dan pengaruhnya terhadap pandangan dan perilaku masyarakat, dulu perang informasi sudah terjadi dengan bentuknya yang khas era itu, yang berupa perihal halal-haramnya beberapa hewan laut.
Informasi yang lebih dulu dan sampai ke masyarakat luas khususnya kalangan awam, akan diikuti. Ini hampir sama dengan era sekarang, bukankah beberapa orang yang mencela Nahdlatul Ulama (NU)dan beberapa kiai lantaran ia tidak kenal secara pribadi, hanya dapat informasi dari internet?
Tidak berhenti dengan menelusuri sebab-sebab di atas, Kiai Anwar, dalam upayanya meluruskan padangan masyarakat perihal keharaman hewan, yang menurut ijtihad Kiai Anwar adalah halal, beliau mengemukakan data yang sangat detail tentang hewan-hewan tersebut.
Saat menjelaskan kepiting misalnya, Kiai Anwar menjelaskan mulai ciri-ciri fisiknya, alasan penamaannya, sampai detail perilakunya baik ketika ditangkap maupun sarangnya dan bedanya dengan rajungan serta sarathon.
Begitu pula saat menjelaskan hewan-hewan lain yang serumpun seperti bulus. Kiai Anwar menjelaskan warnanya, keserupaannya dengan hewan lain, tempat tinggalnya, bahkan bertelurnya.
Cara Kiai Anwar ini secara tidak langsung menunjukkan kepakarannya dalam identifikasi hewan-hewan tersebut, dan berpotensi punya pengaruh tersendiri kepada masyarakat perihal pendapat Kiai Anwar atas kehalalan tersebut.
Kiai Anwar memang mengutip ayat Alquran tentang kehalalan hewan laut, namun beliau hanya mengatakan ayat itu bersifat umum dan tak memperpanjang perihal makna ayat itu. Kiai Anwar tampaknya – tentu ini hipotesis penulis – bahwa detail mana hewan yang termasuk hewan laut dan hewan laut sekaligus darat adalah tugas manusia menelitinya di lapangan. Ini mirip dengan Prof Quraish Shihab saat ditanya mana yang lebih dulu antara Nabi Adam dan manusia purba? Dan pendapat beliau mengenai tentang teori evolusi Darwin?
Kata Prof Quraish, Alquran menjelaskan sebelum Nabi Adam, Allah telah menciptakan makhluk lain. Bisa jadi itu manusia purba, tidak ada penjelasan detail tentangnya. Alquran juga hanya menjelaskan manusia diciptakan dari tanah dan dihembuskan ruh ke dalamnya, tapi tak menjelaskan proses antara keduanya. Bagi Prof Quraish, sebagaimana termuat di nu online (22/10/2018), proses itu bagian dari ilmu (pen: riset ilmiah).
Kembali ke persoalan data. Mengutip perbincangan dengan salah satu guru penulis Day Milovich, kira-kira “Orang itu kalah dengan data. Kasih data”.
Kiai Anwar tak hanya berargumentasi, tapi juga menyodorkan data, yang beliau gali langsung di lapangan – Kiai Anwar mengatakan, “saya menyaksikannya berulang kali – dan inilah di antara kelebihan dari karya Kiai asal Batang tersebut.
Zaim Ahya, Plumbon 13 Agustus 2019