Setelah akhir tahun kemarin menulis tentang Kiai Anwar Batang dan kitab Aisyul Bahri (selesai ditulis tahun 1339 H/1920 M) di alif — yang oleh rekadsi dikasih judul Fikih Kuliner: Aisyul Bahri, Kitab Ulama Batang yang Hilang, lalu dimuat ulang oleh takselesai.com dengan judul Fikih Pesisir: Aisyul Bahri, Kitab Ulama Batang yang Hilang dan disusul dengan tulisan Aisyul Bahri dalam Obrolan Pojok Pondok Alfadllu yang mengaitkan kitab Aisyul Bahri dengan kitab Hayatul Hayawanil Kubro karya Syaikh Kamaluddin Muhammad bin Musa ad-Damiri (742-808 H/1341-1405 M)– perbincangan tentang Kiai Anwar dan kitabnya, alih-alih selesai, justru semakin intens.

Dalam tulisan Fikih Kuliner: Aisyul Bahri, Kitab Karya Ulama Batang yang Hilang, dijelaskan bahwa dalam memberi label hukum halal atas kepiting, Kiai Anwar mendasarkan pada data empiris. Menurut pengamatannya, kepiting adalah hewan yang hanya hidup di laut, bukan hidup di laut dan di darat sekaligus seperti pendapat beredar saat itu.

Di tengah-tengah mengaji kitab karya ulama Batang dengan teman-teman santri pondok Plumbon, penulis menemukan, Kiai Anwar melangkah lebih jauh. Beliau tidak hanya bersandar pada data empiris, tapi juga menjelaskan tipologi kehidupan hewan laut (air) ketika berada di darat.

Tipologi tersebut ada tiga: [1] kehidupan yang seperti hidupnya hewan yang disembelih (aisyu madzbuhin) seperti ikan lele, [2] kehidupan yang hidup namun tidak langgeng seperti kepiting (aisyu hayyin la yadum) dan [3] kehidupan yang langgeng (aisyun daimun) seperti buaya. Menurut Kiai Anwar, hewan yang termasuk tipologi ke tiga saja yang haram di makan. Contohnya seperti katak, buaya dan lain sebagainya. Sedangkan kepiting, walaupun kadang tampak di darat, tapi hidupnya di luar laut (air) tidak langgeng.

Dengan tiga tipologi ini, Kiai Anwar melancarkan kritik perihal kisah seorang syaikh dengan pengamatan sekilas atas kepiting, lalu memberi label haram. Menurut Kiai Anwar, syaikh tersebut tidak tahu tiga tipologi ini. Kepiting dianggapnya bisa hidup di darat juga, padahal bukan hidup yang langgeng.

Perumusan tiga tipologi ini memiliki dua kemungkinan alur logika sekaligus: induktif dan deduktif.

Bisa jadi dalam merumuskan tiga tipologi ini, Kiai Anwar bertumpu pada data empiris hasil observasinya. Dari fakta-fakta partikular itu, beliau lalu menarik sebuah kesimpulan, bahwa kehidupan hewan laut (air) itu ada tiga macam.

Kemungkinan lain, tiga tipologi di atas sudah ada sebelum Kiai Anwar. Dengan berlandaskan tipologi ini – yang merupakan skema besar—dan pengamatan Kiai Anwar di lapangan, Kiai Anwar merumuskan bahwa kepiting masuk dalam katagori tipologi pertama atau kedua.

Model ijtihad Kiai Anwar ini menunjukkan bahwa ilmu fikih yang notabenenya dikategorikan sebagai ilmu agama, tidaklah berdiri sendiri. Kitab Aisyul Bahri lahir dari tangan seorang kiai yang paham fikih sekaligus paham macam-macam hewan laut (air) dan hewan yang hidup di laut dan di darat yang masuk ranah ilmu zoologi.

Jalan ijtihad yang ditempuh Kiai Anwar tentu perlu dikembangkan oleh generasi selanjutnya. Sehingga rumusan fikih akan kontekstual dengan permasalahan aktual yang dihadapi masyarakat. Dalam artian, santri tak cukup belajar fikih saja, tapi juga masalah aktual yang terus berkembang atau minimal diskusi-diskusi fikih ini melibatkan pakar-pakar dalam bidangnya (misalnya pakar lingkungan, pertanian, ekonomi, teknologi dan lain sebagainya) yang fikih akan berbicara tentangnya.

Perlawanan Kiai Pesisir?

Di tulisan yang lalu (baca Fikih Pesisir: Aisyul Bahri… di alif) telah dijelaskan, bahwa dalam Kitabnya, Kiai Anwar merespons hukum tentang kepiting yang beredar, yang salah satunya bermula dari pengamatan sekilas atas kepiting dan justifikasi hukum yang miskin argumen.

Dari sini, penulis berpikir, jangan-jangan respons Kiai Anwar di atas berhubungan dengan mata pencaharian masyarakat saat itu di wilayah Batang.

Mungkin saja, pasar kepiting termasuk menjadi penopang utama ekonomi masyarakat waktu itu, dan kepiting juga diyakini masyarakat pesisir termasuk hewan yang hanya hidup di laut (air) yang halal dimakan, juga dijual-belikan.

Dengan tersebarnya kabar, bahwa kepiting adalah hewan yang hidup di dua alam yang tidak boleh dikonsumsi, tentu berdampak pada ekonomi masyarakat pesisir saat itu.

Dalam posisi ini, sebagai ulama yang hidup di tengah-tengah masyarakatnya, Kiai Anwar memberikan respons. Tidak tanggung-tanggung, beliau menulis sebuah kitab, yang secara khusus membahas hewan yang hidup di laut (air) dan hidup di laut sekaligus di darat.

Namun, sebagaimana saya katakan di atas, persoalan yang terakhir ini adalah sebuah kemungkinan, dan perlu data sejarah perihal mata pencaharian masyarakat Batang saat itu, untuk menguatkan kemungkinan ini atau menolaknya. Karena itu perlu diskusi lebih lanjut dengan para senior dan teman-teman pegiat literasi, khususnya perihal kitab kuning dan sejarah Batang.

Zaim Ahya, santri, penulis lepas dan redaktur takselesai.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.