Beberapa hari yang lalu, saat membuka lemari kitab-kitab lama, saya menemukan beberapa kitab tingggalan almarhum Bapak. Di antara beberapa itu, ada satu kitab yang sepertinya paling menarik perhatian saya.

Tertulis di sampul kitab dengan ukuran huruf cukup besar: al-Hafna ala Isaghuji. Perhatian saya langsung tertuju kepada kata Isaghuji.

Kalau dibandingkan dengan nama-nama kitab pada umumnya, Isaghuji tampak tak lazim dan sepertinya memang bukan bahasa Arab. Saya pun penasaran. Saya membatin: “kitab tentang apa ini?”

Karena penasaran, saya lalu membuka kitab tersebut dan membacanya, dan lagi-lagi saya tercengang, ternyata ini kitab tentang logika, yang dalam dunia pesantren disebut kitab mantiq.

Kitab Isaghuji ditulis oleh Syaikh Atsiruddin al-Abhari. Isaghuji, tulis Syaikh Zakaria al-Ansori dalam kitab al-Mathla’, komentar (syarah) dari kitab Isaghaji, merupakan bahasa Yunani yang bermakna kulliat yang lima — istilah lima katagori dalam ilmu mantiq: jinis, nau’, fasl, khossoh dan aradh am.

Pendapat lain, masih merujuk kepada penjelasan Syaikh Zakaria, Isaghuji bermakana tempat memasuki ilmu mantiq. Pendapat yang lain lagi, Ishaghuji adalah nama dari seorang filsuf yang mempelori dan membukukan ilmu mantiq.

Selain beberapa pendapat di atas, masih ada satu pendapat lagi yang dikutip oleh Syaikh Zakaria. Tulis beliau, Isaghuji adalah panggilan guru terhadap muridnya saat menjelaskan pelajaran.

Dalam komentarnya (hasyiah) atas kitab al-Mathla’, Syaikh al-Hafna mencantumkan sebuah pendapat. Tulis beliau, Isaghuji merupakan gabungan dari tiga kata Yunani: (1) Isa yang bermakna “kamu”, (2) Aghu yang bermakna “aku” , (3) Aki yang bermakna “di sini”. Artinya: “aku dan kamu di sini membahas kulliat yang lima.”

Oleh para ahli ilmu mantiq, tiga kata ini diadopsi dan mereka mengganti huruf kaf dengan huruf jim dan membuang dua huruf alif di dua kata, sehingga menjadi Ishaguji, dan menjadikannya sebagai nama dari kulliat yang lima.

Membaca Catatan Pinggir

Di kitab bapak itu, saya menemukan beberapa catatan di pinggiran kitab ini. Mungkin catatan Bapak sewaktu ngaji dengan kiainya dulu. Entah sewaktu beliau nyantri di Pondok Pesantren al-Hidayat Lasem milik Kiai Haji Ma’shum yang lebih akrab dipanggil Mbah Ma’shum atau atau ketika nyantri di pesantren lain. Yang saya tahu beliau di Lasem lama.

Di antara beberapa catatan itu, ada yang terbaca bahwa belajar ilmu mantiq itu hukumnya fardhu kifayah. Pendapat ini merujuk ke mana, saya belum tahu.

Kitab Isaghuji milik Almarhum Haji Ahyak Saifullah

Kalau kita merujuk kepada kitab Sulam Munauraq, kitab ilmu mantiq karya Syaikh Abdurrahman al-Akhdhari, ada tiga pendapat perihal hukum mempelajari ilmu mantiq: haram, dianjurkan, dan boleh khusus bagi mereka yang akalnya sudah sempurna dan betul-betul memahami al-Quran dan Hadis.

Catatan yang lain sepertinya tentang beberapa nama filsuf, seperti Aristoteles dan Plato. Bahkan terbaca, Aristoteles adalah murid Plato.

Ada pula catatan tentang jalan menuju Allah. Ada dua jalan yang dicantumkan: (1) berpikir, (2) bermujahadah dan riyadhah sesuai syariat para sufi atau ahli tasawuf.

Dua jalan ini mengingatkan saya kepada karya Ibnu Tufail tentang Hayy Ibnu Yaqzan, seorang anak dalam asuhan rusa. Dalam karya itu, jika ingatan tak khilaf, Ibnu Tufail melalui dua karakter dalam karyanya itu menjelaskan bahwa menuju kepada Allah bisa melalui jalan berpikir (filsafat) dan jalan mujahadah-riyadhah (tasawuf).

Catatan lainnya adalah perihal pedoman Imam Nawawi mengharamkan belajar ilmu mantiq yang tercampuri kesesatan ahli filsafat:

من حمى حول الحمى يوشك ان يقع فيه

Ada pula catatan yang sepertinya merujuk kepada ilmu mantiq itu sendiri:

“Cara menuntun berpikir supaya tercegah dari kekliruan.”

Dan:

“Berdebat mana yang benar dibenarkan, mana yang salah disalahkan.”

Begitu kira-kira sekilas tentang kitab Isaghuji yang baru saya kenal ini. Anda tertarik?

Zaim Ahya, Jumat 28 Agustus 2020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.