Suatu senja, mengiringi terbenamnya matahari, di kedai pinggir sungai itu, kawan saya Dedik Kurniawan, sambil menawarang ke langit bagian barat, bergumam:
“Apakah tak ada yang menandai pergantian waktu ini?”
Saya yang mendengarnya sedikit tersentak dan tersadar, bahwa senja yang biasa kita nikmati ini ada peralihan waktu yang beriringan dengan keadaan: dari terang ke gelap.
“Mungkin shalat lima yang diwajibkan atas kita itu adalah penandanya” jawabku.
Kendati menjawab, tapi pertanyaan itu masih bergelayutan. Mungkin lantaran jawaban saya tanpa referensi, sehingga saya pun tak yakin betul atas jawaban itu.
#
Pada suatu pagi, saat bersama dengan beberapa kawan santri mengaji kitab Fathul Qorib, saya menemukan pembenaran atas jawaban perihal pergantian waktu itu.
Di kitab tipis yang kertasnya kuning itu, dijelaskan nama-nama shalat yang lima itu beserta alasan penamaannya.
Shalat Dzhuhur, yang berarti jelas, diberi nama demikian lantaran dilaksanankan di tengah-tengah hari, yang terang, jelas. Shalat Asar, yang berarti berdekatan, dinamakan demikian karena pelaksanaannya berrdekatan dengan terbenamnya matahari. Shalat Magrib, yang berarti terbenam, bernama demikian karena dikerjakan ketika matahari tenggelam. Shalat Isya’, digunakan sebagai nama permulaan petang, dinamakan demikian, lantaran mulai dilaksanakan pada permulaan petang setelah mega merah tak tampak lagi. Shalat Subuh pun demikian. Subuh berarti pagi. Dinamakan demikian lantaran dikerjakan pada permulaan pagi, ketika fajar menyingsing.
Dengan dasar ini, berarti jawaban saya perihal shalat sebagai penanda pergantian waktu ada landasannya bukan?
Lalu, setelah tahu demikian, kita mau apa?
Dalam kitab Hasyiah al-Bajuri, penjelas dari kitab Fathul Qorib, dijelaskan ada semacam pengingat yang perlu direfleksikan.
Waktu Subuh, tulis kitab tersebut, seperti kelahiran kita, manusia. Pagi atau permulaan hari laiknya permulaan kita hidup di dunia.
Dzuhur, yang waktunya dimulai ketika matahari bergeser setelah tepat berada di atas kita berpijak sebagai pengingat akan masa muda dan masa dewasa kita. Ketika matahari tepat berada di atas kita, itu menggambarkan masa muda yang terang, mebara, sedangkan saat matahari condong sedikit, itu sebagai analogi dari masa dewasa.
Lalu waktu Asar, saat matahari akan tenggelam, diibaratkan sebagai masa tua. Masa menjelang tenggelam, mati.
Matahari tenggelam, yang berarti masuknya waktu Magrib, seperti kematian. Dan terkahir waktu Isya’, yang dimulai permulaan petang, sebagai simbol jasad kita yang fana.
Kenapa kita diperintahkan shalat dipergantian waktu? Entah. Mungkin salah satunya agar kita sadar dalam menjalani waktu. Sadar akan tugas kita sebagai manusia, yang sering terlupa.
Zaim Ahya, 01 Januari 2021