Suatu hari, tulis Imam al-Ghazali, Nabi Isa ditanya, “Siapa yang mengajari engkau beretika?”
Pertanyaan ini, tulis Kiai Nawawi Banten, timbul lantaran Nabi Isa lahir tanpa seorang ayah.
Saat itu, mungkin, ayah menjadi sosok sentral sebagai model seorang anak beretika, lebih-lebih di ruang publik, di mana perempuan tak terlalu mendapat ruang.
Nabi Isa pun menjawab, lanjut Imam al-Ghazali, “Aku mellihat orang-orang bodoh berlaku bodoh, lalu aku menghindari perbuatan bodoh itu”.
Pada kisah ini, kita dapati, bagaimana Nabi Isa membaca realitas dengan mendayagunakan akal dan hati, lalu mengontruksi etika/adab/akhak. Kalau dalam bahasa Pierre Bourdieu, bisa saja tak tepat, Nabi Isa melakukan ekternalisasi internal sekaligus internalisasi eksternal namun dengan saringan akal dan hati. Sehingga, alih-alih terkontaminasi dengan apa yang ada di luar dirinya, Nabi Isa justru merumuskan sebuah nilai positif dari realitas yang negatif.
Zaim Ahya, Founder Takselesai.com