Saat kami membincang buku The Recontruction of Religious Thought in Islam karya filsuf cum penyair dari Pakistan, Muhammad Iqbal, pemantik diskusi berkisah bahwa ia, untuk memahami karya Iqbal ini, memerlukan beberapa kali pembacaan. Hal yang demikian, katanya, tidak hanya terjadi pada dirinya. Buya Syafi’i pun, menurut kisahnya, membaca karya Iqbal yang ini sampai berkali-kali.
Apakah kisah di atas valid? Saya tidak tahu, namun yang jelas, Buya Syafi’i adalah pembaca Iqbal. Beberapa artikel yang ditulis beliau dalam buku al-Quran, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Sebuah Refleksi) merujuk kepada karya Iqbal. Bahkan Buya secara khusus menulis artikel dengan judul: Iqbal: Dengan Sayap Jibril.
Dalam artikel tersebut, Buya menyebutkan keistimewaan Iqbal. Kata beliau, Iqbal sepertinya adalah filsuf cum penyair Muslim terbesar dalam kurun waktu 500 tahun terakhir yang diakui oleh Barat dan Timur. Namun Buya tak berhenti pada pujian kepada Iqbal. Melalui fakta ini, Buya melancarkan semacam auto kritik kepada kita, umat Islam, yang dalam waktu tak sebentar dunia Islam tak melahirkan pemikir seperti Iqbal kendati pada abad ke 16-17 di Iran lahir Mulla Sadra.
Kebesaran Iqbal, kata Buya, bisa dilihat pada karya-karya filosofisnya yang terlepas sama sekali dari logika Aristoteles. Iqbal, dalam percobaannya dan bisa dikatakan berhasil menurut ukuran kurun ini, mendasarkan filsafatnya pada al-Quran kendati belum tuntas. Namun ketidaktuntasan itu bagi Buya tampaknya tak jadi soal. Buya mengatakan, “tapi karya filsafat mana pula yang pernah memberikan sesuatu yang tuntas pada kita? Tak ada yang final dalam mengembaraan filosofis.
Dari pembacaan saya atas artikel Buya, Iqbal tampil sebagai seseorang yang mengajak umat Islam untuk bangkit. Beberapa kritik Iqbal kepada para pemikir yang dianggap turut berperan dalam kemunduran umat Islam dikutip dalam tulisan itu, seperti kritik Iqbal kepada Plato dan pengikutya dari dunuia Islam, penyair Hafiz.
“Iqbal”, tulis Buya, “dalam puisinya yang lain, Asrar-e Khudi menempatkan Plato sebagai salah satu dari kawanan biri-biri kuno berbaju manusia.” Bagi Iqbal, Plato dengan konsep dunia idenya, telah mendorong manusia lari dari kenyataan hidup. Konsep Plato ini, menurut Iqbal telah merasuki literatur dan mistik Islam yang turut mengakibatkan mental budak, sebagaimana tulis Buya, menjadi baju sehari-hari.
Filsafat bagi Iqbal tidak hanya memahami alam dan manusia sebagai penghuninya. Lebih dari itu, filsafat mengubahnya untuk menjadi tempat yang segar, sebagaimana perintah al-Quran. Buya juga menyebutkan perbedaan postulat Iqbal dan Descrates. Jika yang disebut kedua menyatakan, “I think, therefore I am/saya berpikir karena itu saya ada”, maka Iqbal berlandaskan, “I act, therefore I exist/saya berbuat karena itu saya ada.”
Terakhir, sebagai penutup tulisannya, Buya mengutip Annemarie Schimmel yang menulis buku tentang Iqbal, Gabriel’s Wing: A Study into the Religious Ideas of Sir Muhammad Iqbal: “tak seorang pun akan mengatakan bahwa ia (Iqbal) adalah seorang nabi — sebab posisi ini baik dipandang dari sudut sejarah agama-agama adalah salah dan sama sekali tak sejalan dengan dogma Islam tentang berakhirnya kenabian (setelah Nabi Muhammad) — tapi kita boleh menerima bahwa ia telah disentuh oleh sayap Jibril.”
Ungkapan sayap Jibril, yang oleh Schimmel dijadikan judul bukunya, sebelumnya telah dijadikan salah satu judul puisinya Iqbal, yang berbunyi:
If I fly a hair’s breadth higher,
The glory of the Epiphany would burn my wing
(Jika saya meninggi selebar sehelai rambut lagi
Maka kemahabesaran Tenaga Gaib akan membakar sayapku habis)
Begitu kira-kira sekilas catatan dari tulisan Buya tentang Muhammad Iqbal. Pada saat menulis tentang Iqbal, Buya kira-kira berumur 45 tahun. Tulisan Buya ini sebelumnya terbit di majalah Zaman 9 November 1980. Kemarin, 31 Mei 2020, usia Buya genap 85 tahun, berarti usia tulisan Buya ini kurang lebih sekitar 40 tahun.
Karena sudah begitu lama, bisa jadi pandangan Buya dalam tulisan ini sekarang berubah. Dan itu tak jadi soal, sebagaimana misalnya kita tak setuju dengan pandangan Buya dan Muhammad Iqbal dalam tulisannya. Bukankah begitu?
Zaim Ahya, Founder takselesai.com