Berbicara tentang kekayaan budaya, maka Indonesialah rajanya. Terbentang dari Sabang sampai Merauke, Indonesia diwarnai ragam keunikan dan kekhasan di setiap daerahnya. Tradisi kesusastraan berupa syair, dongeng, dan pantun menjadi budaya paling khas masyarakat Indonesia.
Masyarakat Betawi mengenal Palang Pintu, tradisi balas pantun dalam upacara pernikahan. Wong Jawa, menggunakan parikan sebagai nasehat. Bagi masyarakat Batak Mandailing, tradisi berpantun dikenal dengan sebutan ende-ende. Tanah Madura pun memiliki tradisi berpantun yang disebut Papareghân.
Melihat dari struktur dan aturannya, tradisi berpantun di setiap daerah di Indonesia memiliki kesamaan. Umumnya satu bait pantun terdiri dari empat larik: dua larik pertama sebagai sampiran dan dua larik selanjutnya sebagai isi. Pola rima dari suku kata terakhir pun bersajak a-b-a-b.
Berstatus sebagai warisan budaya leluhur, tradisi berpantun di Nusantara kini mulai ditinggalkan. Tak terkecuali Papareghân yang mulai ditinggalkan generasi penerus Tanah Madura.
Padahal, leluhur masyarakat Madura menggunakan Papareghân sebagai pengajaran dalam hidup. Aspek moralitas dan ritus sosial menjadi tema yang sering digubah menjadi bait-bait Papareghân. Lewat tradisi Papareghân rasa kemanusiaan dan kerukunan sosial di setiap sendi masyarakat akan lebih bermakna.
Melacak Jejak Papareghân
Sebuah buku berjudul Humanitas Madura karya Tauhed Supratman, memberikan perhatian mendalam terhadap sepak terjang Papareghân yang sudah eksis sejak ratusan tahun lalu. Salah satu pembahasan yang menarik perhatian ialah tentang muasal tradisi Papareghân.
Belakangan, Papareghân yang tergolong pada sastra lisan atau foklor dihadapkan pada sesuatu yang kontradiktif. Menurut Gazali, tradisi berpantun yang berkembang dari mulut ke mulut. Hal ini dilatarbelakangi oleh budaya masyarakat Madura masih belum mengenal tulisan. Akibatnya beberapa sajak Papareghân klasik yang masih bertahan pun tidak diketahui nama pengarangnya alias anonim.
Di sisi lain Hubb de Jonge memiliki pendapat yang berseberangan. Ia berpendapat bahwa ketika tradisi Papareghân berkembang, masyarakat Madura telah mengenal dunia tulis-menulis. Namun anehnya, sampai sekarang belum ditemukan bukti konkret berupa naskah-naskah Papareghân. Jika kita mengacu pada pernyataan Hubb de Jong, akan terbersit sebuah pertanyaan. “Di manakah naskah-naskah Papareghân yang sangat bersejarah itu?”
Meskipun tidak dijumpai naskah Papareghân warisan leluhur, nyatanya pola dan aturan Papareghân tidak mengalami perubahan sedikit pun. Pola dan aturan Papareghân yang statis justru membuat isinya mampu bergerak dinamis. Papareghân mampu memasuki setiap sendi kehidupan masyarakat Madura dari generasi ke generasi, sebelum akhirnya hampir kalah oleh kemajuan zaman.
Cermin Jati Diri Masyarakat Madura
Jika ingin mengetahui karakter bahkan jati diri masyarakat madura, cukuplah dengan membaca sajak-sajak Papareghân. Bait demi bait Papareghân menjadi refleksi dari jati diri masyarakat Madura dari generasi ke generasi.
Dalam bukunya, Tauhed menyebutkan bahwa Papareghân dipenuhi dengan intrik, laku, dan sikap hidup orang Madura dalam berhadapan dengan sesama manusia, alam, bahkan Tuhan. Manusia Madura yang terkenal akan budaya yang sangat menjunjung tinggi harga diri. Pada dasarnya hal itu merupakan rujukan yang sesungguhnya atas kemuliaan karakter manusia meliputi: keadilan, ibadah, kesetiaan, kasih, kesabaran, serta kelembutan.
Ungkapan di atas dapat diwujudkan melalui pembelajaran setiap hari. Hari-hari yang dijalani, seharusnya dapat dijadikan kesempatan untuk mengikis karakter buruk dalam diri manusia untuk terus mengembangkan kebiasaan baik untuk mewujudkan harga diri yang adiluhung. Dengan demikian, manusia akan menjadi mahluk yang benar-benar berharga. Seperti yang terekam dalam Papareghân di bawah ini:
Oreng males tadha’ lakona
Lakona ngokor dhalika
Palerres tengka lakona
Ma’ kantos kacale dhika
Terjemahannya:
Orang malas tak tak mau bekerja
Kerjanya mengukur tempat tidur
Yang baik dalam bekerja
Agar engkau tidak ditegur
Mengacu pada klasifikasi Papareghân menurut Tauhed Supratman, bait Papareghân di atas termasuk dalam kategori Papareghân bhabhurughan (pantun nasehat). Selain itu, masih terdapat tiga klasifikasi Papareghân: Pertama, Papareghân sekasean (pantun cinta). Kedua, Papareghân agama. Ketiga, Papareghân loco (pantun lelucon).
Tentunya, dalam setiap pantun yang disampaikan tidak akan pernah luput dari pesan yang berupa moralitas tak jarang juga dibumbui dengan humor-satire. Akhirnya dari pantun yang berkembang kita bisa menelisik esensi sifat sastra itu kembali seperti apa yang sudah dikemukakan oleh Heratius: dulce dan utile (menyenangkan dan mendidik).
Fahrus Refendi (Mahasiswa Program Studi Bahasa & Sastra Indonesia, Universitas Madura)