Di bab 6 dalam bukunya, Nietzsche (LKiS, 1999), ST Sunardi berbicara tentang Nietzsche dan pengaruhnya. Ia menyebut enam nama filsuf: Karl Jaspers, Martin Heidegger, Michel Foucault, Jacques Derrida, dan Muhammad Iqbal.

Pada penjelasan tentang Muhammad Iqbal, Sunardi membuat semacam sub bab berupa dua kata yang dipararelkan dengan kata sambung: Kesepian dan Kegelisahan.

Kata Sunardi, Iqbal dan Nietzsche bukan hanya dilanda kesepian. Keduanya sudah sampai pada taraf identik dengan kesepian. Iqbal, tulis Sunardi, pernah mengatakan, “keadaan dasar jiwa manusia adalah kesepian.” Sedang Nietzsche menyatakan, “kesepian adalah rumahku.”

Iqbal menurut Sunardi merupakan seorang yang salah satu temperamen kepribadiannya adalah pendiam. Merujuk kepada kesaksian anaknya, Javid Iqbal, Sunardi mengatakan bahwa Iqbal adalah tipe seseorang yang suka memendam kesepian.

Javid Iqbal dalam artikelnya, Ayahku, memberi kesaksian; di fase akhir akhir kehidupannya, ayahnya sering meratap, “aku menghabiskan seluruh hari-hariku berbaring di sini, seakan-seakan aku orang asing. Tak ada seorang pun yang datang dan duduk bersamaku.”

Menurut tafsir Sunardi, dengan bertumpu pada ungkapan Iqbal: “keadaan dasar jiwa manusia adalah kesepian”, bagi Iqbal, kesepian tidaklah sekedar pengalaman psikologis, tapi turut mempengaruhi kehidupannya, dan bahkan menjadi pengalaman kehidupan yang menonjol dari filsuf cum penyair asal Pakistan ini.

Walaupun Iqbal adalah seorang yang sangat suka dengan kesendirian dan kesunyian — sampai-sampai, kata Javid, dalam rumahnya ada aturan dilarang berisik — namun ia terkenal humoris. Sekilas terlihat kontras: menyukai kesendirian dan homoris, tapi itulah nyatanya.

Iqbal dan Nietzsche, walaupun keduanya sama-sama menaruh perhatian yang mendalam kepada kesepian dan membahasnya secara eksistensial, berbeda dalam memangdang kesepian. Kalau Nietzsche, alih-alih berusaha menghapus kesepian, justru menganggap kesepian adalah bagian dari kehidupan sebagaimana ungkapannya: kesepian adalah rumahku, Iqbal membenci kesepian.

bukti penolakan Iqbal atas kesepian dan usahanya untuk melampauinya salah satunya tersirat dari peringatannya kepada Javid supaya tak bertengkar dengan adiknya.

“Kalau kau masih saja tidak akur dengannnya [Munirah, adik Javid], kau akan jadi orang yang paling kesepian dan ingat, kesepian di dunia sama sekali tidak enak”

Perlawanan Iqbal atas kesepian ini, sebagaimana dikutip Sunardi, digambarkan dengan apik oleh Daud Rahbar:

“Apa yang dimilikinya — paras yang tampan, rasa humor yang tinggi dan gaya bicara yang berilian — semuanya itu adalah pasir, batu dan adonan semen dari sebuah bendungan yang menyimpan aliran deras air mata.”

Kata Sunardi, walaupun bagi Iqbal kesepian adalah keadaan jiwa manusia, namun kesepian bukanlah tujuan hidupnya. Bagi Iqbal, tulis Sunardi, kesepian harus diatasi.

Lalu bagaimana Iqbal mengatasinya?

Iqbal, menurut Sunardi, mengatasi kesepian dengan ajaran Islam. Sunardi menulis:

“bagi Iqbal, kesepian dan kegelisahan dipandang sebagai cara berada di dunia. Tetapi cara yang demikian ini bukanlah merupakan cara final asalkan manusia menyelami dan mengakui kedudukannya sebagai khalifatullah.”

Begitu kira-kira pembacaanku atas kesepian yang melanda Iqbal dan Nietzsche, dan bagaimana pula keduanya memperlakukan kesepian.

Lalu bagaimana dengan anda? Apakah pernah dilanda kesepian juga? Bagaimana pula anda memperlakukannya?

Zaim Ahya, Founder takselesai.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.