Mata Penakluk adalah karya kedua milik Abdullah Wong. Rencananya ia akan membuat kelanjutannya yang berjudul Hati Penakluk. Keduanya adalah sebuah novel yang menceritakan kisah hidup—atau biasa disebut manakib—Presiden Republik Indonesia ke-4 KH. Abdurrahman Wahid, yang akrab dipanggil Gus Dur.

Dalam novel ini diceritakan perjalanan hidup Gus Dur dari waktu dia kecil. Gus Dur digambarkan sebagai anak yang gemar sekali akan membaca. Semua buku ia baca, dari buku yang berbahasa Indonesia hingga buku bahasa asing. Gus Dur kecil diceritakan gemar sekali membaca lantaran turunan juga dari Ayahnya Wahid Hasyim. Setiap hari Gus Dur tak dapat lepas dari membaca, apalagi Ayahnya selalu memberi ia buku bacaan agar sang putra tidak kekurangan bahan bacaan.

Gus Dur kecil dikenal sebagai anak yang loyal dan diceritakan tingkahnya itu kadang slengean dan terkadang membuat orang lain yang belum mengenalnya bisa larut dalam amarah seperti dituliskan di buku ini ketika Gus Dur menyembunyikan terompah (sandal) jamaah sholat subuh di Masjid Kauman Yogyakarta.

Diceritakan juga kisah hidup beliau ketika hidup di beberapa pondok pesantren antara lain di Krapyak, Tegalrejo, Tambakberas, dan Denanyar yang dua terkahir ini masih ada hubungan keluarga dengan beliau. Di pondok pesantren Gus Dur dikenal sebagai santri yang memiliki beberapa perpedaan dari santri pada umumnya. Ketika santri yang lain disibukkan dengan kitab-kitab berbahasa arab Gus Dur selain sibuk mempelajari kitab yang sama, juga sering membaca buku buku dari luar negeri yang berbahasa Asing yang tak lumrah di pesantren. Ada suatu kejadian dimana teman Gus Dur bertanya buku apa yang sedang Gus Dur baca, dan Gus Dur menjawab bahwa ia sedang membaca buku tentang komunisme. Temannya kaget dan langsung menjudge yang tidak-tidak terhadap Gus Dur.

Ada pula kejadian waktu ia baru saja masuk pesantren, dia diantar oleh dua santri lama. Seluruh barangnya dibawakan oleh mereka. Salah seorang santri menanyakan isi koper Gus Dur. Beliau menjawab isinya buku-buku. Ketika kedua santri itu menimbali, bahwa di pondok pesantren itu para santri hanya membaca kitab, namun Gus Dur dengan entengnya bertanya balik. “Buku dengan kitab itu apa bedanya semua berisi ilmu yang bermanfaat” kira-kira begitu kata Gus Dur dalam novel yang di tulis Abdullah Wong ini.

Dalam novel ini juga ada sebuah kisah cinta beliau kepada Ibu Sinta Nuriyah yang khas cinta antara santri putra dan santri putri. Gus Dur hanya bisa bertemu pujaan hatinya ketika dia mengajari bahasa Inggris adik sepupunya Nafisah, yang selalu mengajak Sinta Nuriyah.

Momen saat Gus Dur dilengserkan dari kursi presiden RI juga dikisahkan dalam novel ini—bahkan momen ini menjadi titik mula diceritakannya kisah Gus Dur dari kecil. Menghadapi pelengserannya, Gus Dur dengan sangat santai menyikapi hal tersebut. Disaat istana negara dikepung oleh massa Gus Dur bersama pendamping pendampingnya keluar dengan memakai kaos engklek atau kaos dalam dengan celana pendek seraya berkata bahwa sekarang dia bukan presiden lagi melainkan rakyat biasa saja. Kisah yang terakhir ini mengajarkan pembaca bahwa, “tidak ada jabatan yang dibela mati-matian karena jabatan hanyalah sebuah titipan sementara, bukan sebuah kepemilikan seseorang yang akan abadi selamanya.”

Saat membaca novel ini, pembaca akan dibawa kepada suasana yang tertulis di buku seolah olah pembaca menjadi saksi kehidupan Gus Dur. Tata tulisan dan bahasa yang apik membuat pembaca akan mengenal lebih tentang sosok Presiden RI ke-4 tersebut. Ditambah dengan sentuhan kiasan dan sajak seperti perumpamaan Gus Dur adalah Rama dan Ibu Nuriyah sebagai Sita dalam kisah Ramayana.

Perumpamaan yang menggambarkan isi hati Gus Dur ketika menghadapi berbagai persoalan juga ditulis dengan menggambarkan sebuah fenomena alam, bahkan kadang mengutip dari beberapa novel yang beliau pernah baca, seperti ketika ayah Gus Dur kecelakaan dan meninggal, dalam hati Gus Dur mengatakan apakah ini kejadian dari tanda yang ada dalam novel yang berjudul Oliver Twist, yang menceritakan tentang kisah seorang Oliver yang yatim sejak kecil namun tetap kuat menjalani kehidupannya. Gus Dur merasa seolah-olah tertimbun dalam novel Oliver Twist yang ia baca sesaat sebelum ayahnya dan ia bersama sang supir kecelakaan.

Kiasan dan sajak yang ditulis itu membuat pembaca berimajinasi mengikuti penulis novel yang memulai ceritanya dari Gus Dur yang mengenang kejadian masa lampaunya yang penuh dengan suka dan duka, di sat pelengserannya
Hal yang membuat menarik lagi menurutku adalah ketika penulis novel mengisahkan kebiasaan Gus Dur yang suka membuat guyonan atau lelucon. Terkadang dibeberapa lelucon yang diceritakan, aku senyum senyum sendiri bahkan tertawa.

Aku mendapati pula, saat membaca sub judul tampak kepiawaian penulis dalam menyusupkan nilai-nilai kehidupan dan nasihat secara langsung ataupun secara tersirat, seperti saat Gus Dur bertemu dengan seolang kakek tua bernama Mbah Wongso yang gemar sekali dengan budaya wayang kulit. Sewaktu Gus Dur bertemu Mbah Wongso, selalu saja diberi nasihat dan dijelaskan padanya nilai nilai budaya leluhur yang kini kian terkikis oleh zaman.

Masih banyak lagi beberapa hal yang dimiliki oleh Gus Dur yang dikisahkan dalam novel ini, yang mungkin belum banyak diketahui. Setelah membaca novel ini, orang yang selalu berprasangka buruk tentang Gus Dur dan terkadang menganggap beliau adalah kiai nyeleneh berpotensi memperoleh gambaran lain tentang Gus Dur.

Kalisalak Limpung, 29 Januari 2019

Hafedz Maschun, Rekan IPNU PAC Limpung dan Pecinta buku-buku sastra

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.