“Bagaimana mencipta tulisan yang baik?”

Pertanyaan itu setali dengan tanya: bagaimana cara menulis yang baik? Menulis yang baik sama dengan menulis tulisan yang baik, bukan begitu?

Kalau Anda sepakat, maka saya akan menjawab bahwa sebetulnya tidak ada tulisan yang tidak baik di dunia ini, kecuali tulisan yang tidak jadi, bukan yang belum jadi.

Jawaban saya di atas tidak menafikan adanya tulisan berkualitas walau oleh penulisnya belum rampung digarap menjadi gagasan yang utuh. Ada memang beberapa tulisan yang belum rampung ditulis, namun oleh banyak generasi, tulisan itu dipelajari, dikutip, dan dijadikan patokan ilmu pengetahuan.

Cara terbaik menulis sebuah karya menurut saya adalah menuliskan judulnya terlebih dulu. Judul akan mengarahkan penulis mau dibawa kemana tulisan tersebut digarap hingga rampung. Soal akan diganti atau tidak setelah jadi, itu urusan lain. Judul mengarahkan sebuah karya selesai dikerjakan.

Tidak semua judul tulisan menarik minat baca. Karena itu, saya menyarankan Anda mendapatkan judul “cantik”, yakni yang membuat orang dengan suka rela dan penasaran membaca isinya lebih lanjut. Judul itu ibarat wajah. Orang membaca tulisan pertama kali ya judul. Nah, bila judulnya saja tidak menarik, bagaimana akan meneruskan baca gagasan kita yang ada di bagian isi. Gunakan bahasa atau logika yang tidak lazim dalam memilih judul. Seranglah pikiran pembaca sejak dari judul. Antara “Mengembalikan Arah Pendidikan Kita” dan “Menyoal Visi Pendidikan Kita”, mana yang kira-kira lebih menarik? Saya kira yang terakhir; lebih tegas, kritis, jelas, menantang pikiran. Saya memberikan beberapa judul yang pernah saya tulis ke media, dan diingat oleh pembaca: “Kemiskinan Yang “Menggembirakan” (Radar Surabaya, 29 Agustus 2010), “Empat Dosa Mahasiswa” (Suara Merdeka, 25 September 2010), “Matriarkhi yang Patriarkhal” (Pelita, 27 Maret 2011).

Banyak penulis gagal dimuat media dalam tahapan ini. Redaktur koran tidak selalu membaca keseluruhan artikel yang kita kirim. Tidak mungkin hal itu dilakukan mengingat keterbatasan waktu yang ada tak sebanding dengan kiriman artikel yang mengalir tiap harinya. Ia hanya membaca judul tulisan yang dikirim. Jika tertarik dengan judul, diteruskan membaca isi. Bila isinya bagus, akan dibaca kesimpulannya, apakah ada unsur kebaruan ide atau tidak. Baru setelah itu, nama dan martabat penulis dilihat redaktur sebagai faktor pendukung dimuat dan tidaknya tulisan yang telah dibaca tersebut.

Setelah mendapatkan judul yang “cantik”, jaga-lah ketertarikan pembaca terhadap isi tulisan tersebut dengan tidak melelahkan psikologi bacanya, yakni tidak banyak bertele-tele.

Tulisan popular yang oke menurut saya adalah yang gagasannya disampaikan dengan sederhana, thas-thes, langsung tembak tanpa banyak basa-basi.

Ingat, menulis ke media itu untuk masyarakat umum. Kita dibatasi redaktur menulis antara 4-7 ribu karakter. Kalimat yang efektif dan efisien bukan cuma baik tapi memang harus dan perlu. Gagasan yang disampaikan dengan thas-thes, membuat isi tulisan jadi sederhana tapi penuh makna. Saya menyebut tipe isi artikel demikian dengan “padat-berisi”. Ya, judul yang cantik tanpa isi yang padat-berisi membuat kecewa banyak pembaca. Sekedar contoh, saya sertakan di bawah ini paragraf yang saya sebut thas-thes itu:

“Ruang kampus makin sesak dengan transaksi dan ekspresi gaya hidup mahasiswa. Bagaimana dengan pusat studi? Dijamin, perpustakaan, majelis diskusi, seminar, dialog, dan lain-lain adalah tempat terasing dan singgahan terakhir bagi mahasiswa ketika ada tuntutan akademis: menulis makalah atau skripsi. Ia bukan ruang singgahan yang asyik untuk memanjakan diri. Perpustakaan adalah kegelapan yang sepi peminat.” (Di Kampus, Mahasiswa Bergaya, Suara Merdeka, 29 Mei 2010)

Setelah isinya disampaikan secara “padat-berisi”, pertahankan gairah para pembaca hingga akhir tulisan. Sampaikan kesimpulan tulisan dengan “seksi”, yakni tetap memancing gairah pengetahuan pembaca. Atau, kalau tidak demikian, puaskan pembaca dengan rasa penasaran yang Anda tulis di awal. Contoh sederhana:

“Kultur bahasa lisan dan tulisan ala Agul (Anak Gaul) memang merepotkan kemapanan bahasa. Entah itu fenomena yang menggembirakan atau tidak, belum ada penelitian mendalam yang menyoroti secara khusus. Namun yang pasti, technology is my life (techlife), telah menciptakan “kamus bahasa” komunikasi ala Agul kian meluas menjadi gaya komunikasi yang khas. Di sini, teknologi komunikasi menemukan pembenaran; mampu membentuk kultur hibrida “gaya gue”, life style komunikasi baru yang semena-mena.” (Komunikasi dalam Kultur Agul, Radar Surabaya, 3 Juli 2011)

Esai di atas menyimpulkan: teknologi sms mampu membentuk kultur hibrida ala anak gaul yang menggunakan bahasa Indonesia “sak kepenake dewe/ se-enak dirinya”. Namun, masih menyisakan tanya: “Entah itu fenomena yang menggembirakan atau tidak.” Ini yang saya sebut ‘tetap memancing gairah pengetahuan pembaca’.

Untuk mencapai derajat karya yang “cantik”, “padat-berisi” dan “seksi”, pesan yang selalu saya ingat dalam pelatihan-pelatihan menulis yang saya ikuti adalah:

“hindari menulis kata yang sama dalam satu paragraf bila tidak sangat diperlukan.”

Itu membuat kalimat kurang nyaman dibaca, kecuali kata sambung. Mengulang kata sambung pun ada tekniknya. Bila di barisan awal sebuah paragraf kita telah memakai kata sambung “namun”, agar lebih padat, gunakan kata sambung yang sesuai pada baris kalimat setelahnya, misal; “tetapi”, “ironis”, “meskipun”, “dengan demikian”, “begitu pula”, “bila”, “jika”, “maka”, “kalau”, “umpama”, “sehingga”, “walhasil”, “oleh karena”, “sebab”, “pasalnya”, “akibatnya”, “akhirnya”. Selain tanda baca, kosa kata yang sama juga harus kita ganti-pakai dalam barisan-barisan kalimat atau antar kalimat. Kata “waktu”, bisa kita ganti “saat” atau “kala” pada kalimat berikutnya. Bila di satu barisan kalimat kita sudah menggunakan kata “mempunyai”, ganti kata itu di lain baris dengan misalnya; “memiliki”. Begitu pun, kata “menggunakan” bisa diganti “memakai”. “Pula” sama makna dengan “juga” dan “jua” dengan sentuhan rasa yang sedikit beda. “Melaksanakan” sama makna atau mirip arti dengan “menjalankan”, “memproses”, “melangsungkan”. “Seringkali” bisa diubah jadi “acapkali”, “tidak jarang”, “lumrah”, “lazim”, “banyaknya.” Demikian seterusnya, sesuai dengan selera dan olah rasa bahasa kita.

Antar satu paragraf dengan lainnya diusahakan nyambung dan kontinyu bahas. Sepengalaman saya, strategi “hindari menulis kata yang sama dalam satu paragraf bila tidak sangat diperlukan” inilah yang akhirnya membuat saya menulis dengan kepekaan rasa. Sehingga, saya tahu kapan harus menggunakan tanda koma (,), titik (.), petik (“…”), seru (!), tanya (?), titik koma (;), dua titik (:), tanda miring (/), garis tengah (-), kapan harus menulis dengan huruf kapital, dimiringkan, ditebalkan dan sebagainya.

Dalam banyak kasus, ada saja yang dalam menggunakan titik-koma, masih belum pas. Ini tanda baca yang saya lihat sering dilanggar oleh para penulis pemula, walau, –maaf- sudah sarjana S3 sekalipun. Bila saya ditanya kapan menggunakan koma, jawaban yang saya berikan adalah:

ketika kita membaca kalimat lalu bernafas (jeda) di tengah jalan sebelum ide utuh dibaca, di sanalah tanda koma diperlukan.

Bila menggunakan standar nada, koma diperlukan kala suara kita saat membaca menurun. Penggunaan imbuhan “di” sering pula salah pakai. Banyak yang belum bisa membedakan “di” bermakna tempat dan “di” menunjuk arti objek seperti “dipukul”. Yang dipakai penunjuk tempat harus dipisah, sementara yang menunjuk arti objek, disambung. “Disambung” (objek), sambung. “Di parkiran” (tempat), pisah. Spasi setelah koma dan titik juga acapkali dilupakan. Padahal, itu penting untuk keindahan baca dan memang demikian seni menulis yang sudah disepakati. Pelajaran Bahasa Indonesia saya kira lengkap membahas hal-hal teknis di atas. Menulis artikel yang baik (cantik, padat-berisi, seksi) ke media harus rampung teknis bahasa, kaya “bank” kata, menguasai “bank” data yang akan ditulis.

Tak Terpikirkan

Sementara orang ada juga yang menyatakan sebuah tulisan itu baik karena faktor popularitas penulisnya. Semua yang ditulis oleh si Fulan, misal, dianggapnya bermutu. Sehingga, karya apa pun yang lahir dari tangan kreatifnya akan dibeli dan dibaca. Sulaiman Al-Kumayi, M. Ag, adalah contoh terdekat saya. Dosen penulis inspiratif saya tersebut pernah menyatakan tidak pernah merugi menulis sebuah buku. Apa pun yang ia tulis, laku keras di pasaran, mengingat pasar bukunya jelas, dan sudah memiliki pembaca fanatik. Walau bukunya jarang dipromosikan lewat resensi buku atau iklan mini koran, ada saja yang menunggu buku terbitan barunya. Ia punya obsesi menulis 100 judul buku sebelum habis umur. Hingga saya menulis buku ini, baru 40-an judul buku telah ditulis. Setiap bulan, royalti yang diterima dari penerbit konon mencapai 5 juta lebih, terutama dari buku pertamanya yang best seller; “Kecerdasan 99”.

Yang pasti, tulisan baik bagi saya tidak selalu karena ia sesuai dengan Ejaan Yang Disesuaikan (EYD), melainkan oleh ide-ide kreatif yang tertuang di dalamnya. Soal EYD, ternyata setiap media punya aturan baku sendiri yang berbeda antara koran satu dengan lainnya. EYD bagi redaktur media adalah dasar pemakaian bahasa yang tidak selalu dituruti aturannya secara kaku. Kata “Al-Qur’an,” ditulis-edit dengan “Alqur’an” atau “al-Qur’an” oleh koran lain. Mana yang lebih baku? No one. Bahasa adalah pilihan rasionalitas suka dan tidak suka, nyaman dan tidak nyaman menggunakannya. Bahasa sifatnya semena-mena, namun tetap mengandung makna. Kursi disebut kursi karena memang disebut demikian. Manusia, dunia, laki-laki dan perempuan, disebut demikian karena kesemena-menaan bahasa, atau alasan lain menyebutnya sebab kesepakatan yang sudah terlanjur digunakan antar pemakai bahasa.

Dengan demikian, ketika kita mengirim artikel atau esai ke koran, kita sedang menegosiasikan bahasa yang kita gunakan dalam tulisan tersebut dengan redaktur yang kita kirimi. Saya punya cerita seorang kawan. Saking terganggunya ia dengan tanda koma dalam tiap tulisan yang ia baca, ia mencoba mengirim esai panjang tanpa koma. Tanda baca yang digunakan hanyalah titik (.), seru (!), dan tanya (?), tanpa sudi menggunakan kata sambung juga (karena, sebab, demikian, tetapi, dst.). Mengingat pembaca koran terdiri atas masyarakat umum yang beragam, akhirnya ia diminta redaktur mengedit esainya bila ingin dimuat. Kata redaktur, gagasan esainya bagus, cuma bahasanya kurang sesuai EYD. Bahasa jadi perantara negosiasi tulisan antara penulis dengan redaktur. Bahasa adalah soal olah kata, pilihan diksi, dan seni menyusun kalimat menjadi barisan gagasan yang memahamkan dalam paragraf per paragraf. Bahasa adalah soal komunikasi kita dengan pembaca, namun ide dan gagasan merupakan substansi yang menentukan kualitas, apakah yang ditulis itu repetisi gagasan lama atau rekonstruksi kabaruan ide. Karena itulah, faktor utama yang menentukan tulisan disebut berkualitas baik adalah gagasannya, walau bahasa juga penentu ketertarikan pembaca sehingga laku.

Lalu, gagasan macam apa yang baik? Orisinil. Saya menjawab demikian. Artinya, ukuran tulisan ditentukan publik karena belum pernah ditulis oleh orang lain.

Saya menyebutnya sebagai tulisan tak bersayap. Yakni sebuah karya tulis yang ide-nya tidak terpikirkan (unthinkable atau unthought) oleh banyak orang dan tidak disentuh (untouchable) oleh kebanyakan penulis lainnya.

Untuk mendeteksi apakah yang kita tulis belum pernah diipikirkan atau disentuh, membaca adalah ritual utamanya, selain tentu diskusi dengan kawan yang tidak sepaham juga urgen. Strategi yang paling mudah untuk mendapatkan ide tak bersayap adalah menjadi pengamat atas fenomena yang biasa berlangsung di hadapan mata kita. Ketika orang lain menganggapnya biasa, jiwa seorang penulis menganggapnya luar biasa. Itulah yang akan melahirkan ke-takterpikirkan dan ke-taktersentuhan. Newton selalu menarik saya jadikan contoh. Ketika manusia lain menganggap wajar kejatuhan buah Apel dari pohonnya, ia justru menyoal dengan mengajukan tanya pada dirinya sendiri mengapa bisa jatuh? Teori gravitasi-lah yang ditemukannya sebagai jawaban. Oleh Michael H Hart, Newton ditempatkan sebagai manusia kedua paling berpengaruh dalam sejarah peradaban manusia, setelah Nabi Muhammad SAW.

Ada banyak tradisi, ritual dan laku sehari-hari yang bisa dijadikan permulaan mencipta tulisan tak bersayap. Nyumbang adalah salah satu contohnya. Banyak orang menyelenggarakan pesta nikah dan sunatan dengan harapan mendapatkan sumbangan dari sanak saudara, tetangga, kolega dan lainnya. Bahkan ada juga yang menyewa jasa paranormal untuk mendatangkan sekian tamu. Bagi saya, ini perlu dikritik. Terutama soal utang sumbangan. Bagaimana bisa sumbangan dikategorikan sebagai seakan akad utang-piutang. Padahal, dalam sejarahnya, nyumbang hanyalah salah satu cara seorang tetangga menolong tetangga lainnya yang sedang mengadakan pesta, butuh biaya. Sumbangan dalam bentuk makanan pokok atau perlengkapan rumah tangga tiada lain merupakan hadiah. Namun, realitasnya tidak demikian. Saya melihat tradisi tersebut cenderung kapitalistik. Unsur ikhlash menolong antar tetangga tergerus oleh logika utang-piutang. Saya mengarang ide, menyatakan bahwa tamu yang datang dalam tradisi nyumbang hanya untuk dua kepentingan: membangun jasa (memberikan utang sumbangan), dan membalas jasa (memberikan sumbangan balik karena dulu pernah disumbang). Kegelisahan tersebut saya tulis dalam esai bertajuk “Mental Kapital dalam Tradisi Nyumbang” (Suara Merdeka, 18 Agustus 2008), dan dengan sedikit sentuhan pada kasus aktual yang berbeda, dimuat lagi dengan judul “Logika Kapital Tradisi Nyumbang” (Kompas, 13 Desember 2008).

Tulisan-tulisan baik yang tak bersayap sepengalaman saya biasanya bukan merupakan sebuah karangan yang dikejar deadline. Ia lahir dari kegelisahan yang mendalam dari penulisnya.

Tulisan yang diminta sesuai batas waktu tertentu kadang dibuat asal jadi saja. Sehingga, tingkat permenungan penulis dan imajinasinya kurang ekspresif, terutama bila temanya ditentukan. Imajinasi atau gagasan itu muncul secara tiba-tiba dan acapkali tanpa disengaja. Ia tidak bisa dipesan dalam tempo singkat walau kadang bisa dirangsang dengan keinginan menulis tentang sebuah tema. Di sinilah mood penulis kadang menentukan rampungnya sebuah karya. Bila Anda pernah menonton Film “Limitless”, Anda akan diperlihatkan cara kerja penulis yang menunggu mood-nya bertemu kesiapan menulis. Bila perasaannya mendukung, maka apa yang ia tulis jadi begitu ekspresif. Psikologi penulis bisa dibaca dari karya yang ditulis olehnya. Oleh karenanya, bila Anda membutuhkan tulisan dari seorang penulis, mintalah karya yang sudah ditulis sebelumnya tapi belum dipublikasikan. Biasanya penulis memiliki stok cukup tulisan lawas yang berkualitas.

M Abdullah Badri, Penulis Lepas, Aktivis Muda NU tinggal di Jepara

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.