Tak berlebihan jika dikatakan bahwa faktor, tentu bukan satu-satunya, yang mengantarkan Gus Dur jadi presiden adalah kepiaweannya dalam membuat lelucon, humor.

Dalam buku Presiden Dur yang Gus Itu yang berisi anehdot-anehdot dari Gus Dur, terekam pendapat pakar folklol Universitas Indonesia (UI), bahwa Gus Dur jadi presiden tak lepas dari kecerdasan dan humor yang dimilikinya. Pendapatnya ini mungkin lantaran melihat cara komunikasi Gus Dur dengan Pak Amin Rais, yang mendukung Gus Dur jadi presedin, padahal sebelumnya sering bersebrangan.

Buku Presiden Dur yang Gus Itu, yang diedit oleh M. Mas’ud Adnan menarik lantaran dibukukan ketika Gus Dur menjabat presiden, tahun 2000 terbitnya, dan berisi humor, baik yang bersumber dari Gus Dur maupun yang berkenaan dengan Gus Dur.

Yang bersumber dengan Gus Dur contohnya banyak. Diantaranya adalah “Kiai Sahal Menjadi Sohal”, AS Hikam dan AC Milan, Ihwal Kemaluan, Kambingnya Gusti Allah, Proposal Itu Apa, Budaya Minta Petunjuk dan lain sebagainya.

Yang Kiai Sahal jadi Sohal ini adalah humor yang dilontarkan Gus Dur dalam pidatonya di aula PBNU Jawa Timur 1996, yang tampaknya merespons tentang pencalonan Abu Hasan di Muktamar di Cipasung. Abu Hasan pernah salah menyebut nama-nama kiai, termasuk nama Kiai Sahal.

Kata Gus Dur dalam pidato itu:

“Ini contoh guyonan saja, mau nyebut Kiai Sahal, Abu Hasan bilang Kiai Sohal. Sementara kata Sohal sendiri dalam bahasa Arab kan artinya kuda,”

Pidato Gus Dur ini disambut tawa oleh hadirin.

Humor Kambingnya Gusti Allah juga lucu, dan saya juga pernah dengar versi videonya, yang kalau ingatan tak khilaf ada sedikit perbedaan versi, kendati intinya sama.

Santri menangkap apa yang disampaikan kiainya, bahwa apa semesta ini milik Allah termasuk yang ada di dalamnya.

Suatu hari santri ini mencuri kambingnya kiai, dan ketahuan. Namun santri itu menjawab: “Saya mencuri kambingnya Gusti Allah, Kiai”

“Benna duweke Gusti Allah, ning aja gedhe-gedhe ngono, ta,” jawab kiainya.

(Sekalipun milik Allah, tetapi jangan yang besar begitulah)

Kalau dua contoh humor di atas berkenaan dengan pesantren dan NU, humor Gus Dur yang berjudul Budaya Minta Petunjuk sarat dengam kritik.

Humor tersebut dilayangkan Gus Dur untuk kroni orde baru, yang menurut buku ini terlalu berlebihan dalam mencari muka di hadapan presiden Soeharto, sehingga ketika dimintai keterangan mereka sering menjawab: “Ya, kita tunggu petunjuk presiden.”

Dalam humor Budaya Minta Petunjuk dikiceritakan, bahwa ada tiga dara cantik yang diterjunkan ke tiga pulau. Dara yang pertama diterjunkan di pulau yang dihuni dua orang Inggris. Namun, dara cantik itu dibunuh dua orang Inggris itu, lantaran keduanya adalah pasangan homoseks, yang tak ingin terganggu oleh dara tersebut.

Lalu dara yang kedua diturunkan di pulau yang dihuni oleh dua orang santri. Ketika keduanya bertemu dengan dara itu, yang terjadi justru kedua saling membunuh merebutkan dara tersebut.

Sedangkan dara yang ketiga diturunkan ke pulau yang dihuni oleh Abdul Gafur dan Harmoko. Ketika bertemu dengan dara itu, kedunya beradu pandang dan menganggukkan kepada, dan berkata: “Kita tunggu petunjuk dari Bapak Presiden.”

Humor yang berkenaan dengan Gus Dur juga cukup banyak dalam buku ini. Salah satunya yang berjudul Gagal Menjadi Kaya.

Ini terjadi ketika Gus Dur ke Madura. Tentu sebagaimana kiai pada umumnya masyarakat berbondong ingin menyalami Gus Dur, dan Banser pun sigap mengamankan Gus Dur. Tapi Gus Dur nyletuk:

“Waduh, saya hampir jadi kaya, malah nggal jadi…”

Menurut keterangan buku ini, waktu Gus Dur “diamankan”, kantong Gus Dur belum terpenuhi amplop dari masyarakat yang ingin menyalaminya.

Tidak hanya berisi humor dari Gus Dur maupun yang berkenaan dengan Gus Dur. Di bab akhir, buku ini juga melengkapi dirinya dengan bab sense of humor Gus Dur di mata para tokoh dan Komentar Para Tokoh.

Di bab Komentar Para Tokoh, saya tergelitik dengan komentar adik Gus Dur, Gus Hayim Wahid yang tertulis sebagai Ketua DPP PDI-P. Kata Gus Im (panggilan akrab Gus Hasyim Wahid), ada kiai NU yang mendatanginya, protes atas sikap Gus Dur. Gus Im menjawab, Gus Dur itu laiknya pembalap, yang punya dua penyakit: ketika belok tak menggunakan lampu sein, dan ketika mengerem selalu mendadak.

“Saya sendiri masih mikir-mikir waktu dia rame-rame dicalonkan menjadi presiden. Apa kakak saya ini mau belok atau mau ngerem? Eh, ternyata dia ndak belok, dia juga ndak ngerem. Dia jalan terus. Dan, ya nyatanya, jadi presiden,” kata Gus Im.

Begitu kira-kira sedikit hasil dari bacaan pagi ini. Di tengah menulis tesis yang referensinya serius, perlu buku humor untuk menjaga mood, biar tetap bisa tersenyum.

Oh, ya satu lagi. Kalau sekarang banyak yang memanggil Gus Yaqut dengan panggilan Gus Men, ternyata dulu Gus Dur juga dipanggil dengan Gus Presiden. Ini terekam dalam tulisan Mohomad Sobary dalam kata pengantar buku ini. Dia memanggil Gus Dur dengan Gus Presiden.

Apakah panggilan Gus Presiden ini akan terulang lagi? Wallahu a’lam. Kita tunggu saja!

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.