Selat Bosphorus adalah salah satu tempat yang menjadi ikon kota Istanbul. Sebuah selat yang memisahkan Turki bagian Eropa dan Asia, menghubungkan laut Marmara di sebelah selatan dan laut hitam di sebelah utara. Pemandangan indah di sepanjang selat membuat siapa saja akan cepat jatuh cinta kepada Istanbul. Kecantikan Bosphorus semakin terasa dengan hadirnya tiga jembatan yang menghubungkan kedua benua: jembatan Bosphorus, Fatih Sultan dan Yawuz Salim. Namun tahukah Anda, bahwa selat ini juga memiliki penjaga, atau dalam tradisi kita biasa dikenal dengan istilah juru kunci?

Benar bahwa sejak zaman Otoman masyarakat Turki meyakini bahwa selat ini dijaga oleh ulama-ulama yang menjadi kekasih Allah, salah satunya adalah Yahya Efendi. Keyakinan ini membuat mereka tidak akan melewati selat itu sebelum mendapatkan restu dari sang wali. Ibarat selat itu adalah rumah, maka akan kulonuwun (permisi) terlebih dahulu kepada penjaganya.

Yahya Efendi adalah seorang guru mursyid, penyair, sufi dan wali atau kekasih Allah. Ia lahir di kota Trabzon pada tahun 900 H/1495 M. Selanjutnya dalam kehidupannya ia lebih banyak dikenal dengan julukan Molla Seyhzade. Yahya Efendi lahir dari pasangan Sami Omer dan Afifi Hatun. Bapaknya adalah seorang ulama ahli fikih yang bertugas sebagai hakim untuk wilayah provinsi Trabzon. Jabatannya sebagai hakim yang mempunyai reputasi baik membuatnya dekat dengan pihak istana. Beberapa sejarawan menyebutkan bahwa Yahya Efendi merupakan saudara sesusuan dengan Sulaiman Kanuni (Sultan Otoman X). Sebagai bentuk penghormatan, Sultan Sulaiman memanggil Yahya Efendi dengan sebutan ağabeyim, hocam! yang berarti kakak guru.

Semasa hidupnya, para nelayan yang akan berangkat mencari ikan menunggu di dermaga di dekat pesantrennya untuk mendapat doa dari Yahya Efendi. Mereka baru akan berangkat setelah beliau datang dan berdoa, “semoga hari ini penuh dengan berkah dan tangkapan kita melimpah”. Hal serupa juga dilakukan oleh armada laut Otoman. Sebelum melakukan ekspedisi, mereka terbiasa melabuhkan kapal-kapalnya di dekat kediaman Yahya Efendi untuk meminta doa sebelum berangkat.

Yahya Efendi bukan satu-satunya wali yang diyakini sebagai penjaga selat Bosporus, ada juga Aziz Mahmud Hudayi. Jika kita masuk ke selat Bosporus dari arah laut Marmara terdapat makam seorang wali berama Aziz Mahmud Hudayi. Beliau adalah seorang ulama pendiri tarekat Jawatiyah yang berpusat di Turki. Sebagai seorang ulama yang menjadi rujukan penguasa pada saat itu, Hudayi sering kali mengirimkan surat-surat nasehat kepada sultan. Bahkan, karena kedekatannya dengan para sultan, Hudayi dijuluki sebagai guru para sultan. Tidak main-main ada tujuh sultan Otoman yang mencium tangannya dan berbaiat menjadi muridnya. Dalam sejarah kesultanan Otoman, Huadayi adalah ulama yang paling banyak menjadi penasihat sultan.

Masyarakat Istanbul percaya bahwa Hudayi adalah penjaga selat Bosphrus. Kepercayaan ini bermula saat sultan Ahmad I telah selesai membangun masjid Slutan Ahmad (Blue Mosque) dan mengundang Hudayi untuk menjadi imam pertama dalam peresmian masjid tersebut. Namun, cuaca pada saat itu sangat buruk. Istanbul sedang dilanda badai besar sehingga tidak ada satupun kapal yang bisa menyeberangi selat. Sultan yang memahami keadaan tersebut pesimis akan kedatangan Hudayi, dan risau peresmian masjid terancam gagal. Namun apa yang terjadi, Hudayi dengan lima muridnya mampu melewati selat tanpa satu halangan apa pun. Bahkan, kesaksian muridnya menceritakan bahwa kapal yang dia naiki berjalan seperti biasa dan tidak terhambat oleh badai.

Selain Yahya Efendi dan Aziz Mahmud Hudayi, ada juga Telli Baba yang makamnya berada di daerah Sariyer. Tidak banyak yang tahu tentang siapa sebenarnya Telli Baba dan dari mana asalnya. Banyak pendapat yang berbeda tentang sosok Talli Baba, diantaranya adalah sumber yang mengatakan bahwa beliau adalah wali yang hidup pada zaman Sultan Bayazid II, ada juga yang berpendapat beliau adalah ulama sufi pra-Otoman. Namun, masyarakat meyakini beliau adalah seorang wali yang juga menjaga selat Bosphorus. Salah satu prestasinya adalah bahwa beliau menemukan makam Nabi Yusa’ AS yang terletak di sebuah bukit tertinggi di tepi selat Bospborus.

Hingga saat ini, tradisi masyarakat setempat, baik mereka yang hendak memancing karena hobi, nelayan yang menggantungkan hidunya kepada hasil laut, sampai dengan pengguna kapal yang berlalu-lalang di selat Bosphorus, akan mengawali pekerjaan mereka dengan mengirim surah fatihah kepada tiga sosok wali tersebut. Mereka percaya bahwa dengan demikian, hari mereka akan diberkahi sampai dengan sore menjelang. Makam-makam dari para wali tersebut juga selalu rami diziarahi oleh masyarakat Turki di hari-hari tertentu. Seperti hari Ahad, maulid, dan hari-hari besar Islam lainnya.

Istanbul, 22 Januari 2019

Ahmad Munji, Ketua Tanfidziyah PCI NU Turki dan mahasiswa doktoral di Universitas Marmara Turki

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.