“Jadilah editor bagi dirimu sendiri,” begitu kira-kita kata Day Milovich dalam salah satu tulisannya perihal kepenulisan.

Saran ini tak lain supaya kita berhati-hati dalam menyajikan tulisan untuk pembaca. Tentu kita tak ingin, hanya gara-gara persoalan teknis penulisan misalnya, ide kita dalam tulisan tak tersampaikan.

Namun, tampaknya tak setiap orang sanggup menjadi editor bagi dirinya sendiri. Ada beberapa penulis, kendati idenya bagus dan out of the box, mudah sekali terperangkap dalam lautan salah ketik (typo), seperti membuat kalimat yang tak lengkap secara aturan bahasa:subyek tanpa predikat tapi langsung keterangan, atau membuat kalimat yang boros kata padahal bisa disampaikan secara ringkas.

Saya pernah menonton film yang mengisahkan peran penting editor dalam karir kepenulisan seorang penulis. Judulnya Genius, diangkat dari kisah penulis terkenal Thomas Wolfe dan editor hebat Max Perkins.

Thomas Wolfe sebelum bertemu Max Perkins adalah seorang penulis yang karyanya ditolak oleh sekian banyak penerbit. Namun tidak dengan Perkins, naskah Wolfe diterima dengan editing yang sangat ketat. Wolfe harus rela menghapus banyak kata dalam karyanya, bahkan kalau tak salah yang harus dihapus mencapai ribuan kata.

Dalam film itu diperlihatkan perdebatan, atau lebih tepatnya diskusi, antara penulis dan editor secara intens. Bahkan, sampai-sampai membuat isteri Wolfe “cemburu” karena waktu Wolfe lebih banyak untuk berdiskusi dengan Perkins. Pada titik ini penulis ingat rumor yang cukup populer di kalangan pesantren, entah valid atau tidak, perihal istri Imam Sibaweh yang membakar kitab-kitab milik suaminya itu, lantaran cemburu atas perhatian Imam Sibaweh kepada kitab-kitabnya.

Dengan tangan dingin Perkins, karya Wolfe lahir sebagai karya yang laris di pasaran, bahkan oleh penulis yang lain Wolfe dijuluki dengan genius.

Zaim Ahya, 21 Mei 2020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.