Pengunduran diri Presiden Soeharto dari kursi kepemimpinan di tahun 1998, menjadi titik awal reformasi serta kemerdekaan ke-2 Republik Indonesia. Negara berjalan secara demokrasi, semua berhak menyampaikan aspirasi dan ikut andil dalam jalannya pemerintahan.

Lebih dari 20 tahun bentuk negara baru dijalankan, tetapi banyak yang tidak berubah. Salah satunya pembentukan perundang-undangan serta penetapan hukum yang sering menui konflik. Baik karena dianggap tidak pro rakyat, menjadi ajang eksistensi, maupun yang lainnya.

Yang saat ini masih menjadi api adalah pengesahan Undang-undang (UU) Cipta Kerja oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Beberapa poin yang tercatat dalam UU ini dianggap merugikan buruh dan merusak lingkungan. Berbagai kelompok masyarakat seperti serikat buruh dan mahasiswa menuntut transparansi sejak dibuatnya Rancangan Undang-undang (RUU).

Bola api pun meledak ketika di tengah krisis masa pandemi, DPR mengetok palu untuk mengesahkan UU Cipta Kerja (Omnibus Law). Seluruh buruh yang tergabung dalam serikat buruh serta ribuan mahasiswa di segala penjuru negeri turun ke jalan secara serentak pada tanggal 7 Oktober 2020 lalu.

Berbeda dari pandangan mahasiswa dan serikat buruh, pemerintah melalui Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengatakan, “Omnibus Law tujuannya untuk meningkatkan dan mengentaskan Indonesia dari middle income trap. Indonesia bisa menjadi negara yang efisien, regulasinya simpel, dan memberi kesempatan pada rakyat untuk berusaha secara mudah”.

Kedua pandangan tersebut tentu saling bertolak belakang, dan sukar dicari titik temu.

Perencanaan penyusunan UU dilakukan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang disusun oleh DPR, dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan pemerintah. Rancangan ini bisa berasal dari DPR, presiden atau DPD. Setiap RUU yang diajukan harus dilengkapi dengan naskah akademik, kecuali RUU anggaran pendapatan dan belanja negara. RUU Penetapan Pemerintah Pengganti Undang-undang (perpu) menjadi UU atau pencabutan Perpu. Setelah ditindak lanjuti sesuai prosedur. Jika tidak tercapai, kesepakatan melalui musyawarah mufakat. Keputusan diambil dengan suara terbanyak.

Selain itu, poin penting yang bisa kita kritisi dari proses RUU menjadi UU adalah naskah akademik. Naskah akademik ini seharusnya jika dikaji dengan seksama, setelah menjadi UU tidak akan mendapat penolakan dari masyarakat. Karena naskah akademik merupakan konsepsi pengaturan suatu masalah (jenis peraturan perundang-undangan) yang dikaji secara teoritis dan sosiologis. Secara teoritis naskah akademik dikaji dari dasar filosofis, dasar yuridis dan dasar politis (suatu maslah yang akan diatur sehingga mempunyai landasan dasar pengaturan yang kuat).

Secara sosiologis, naskah akademik disusun dengan mengkaji realitas masyarakat yang meliputi kebutuhan hukum masyarakat, aspek sosial ekonomi, dan nilai-nilai yang hidup dan berkembang (rasa keadilan masyarakat). Dengan begini, tentunya RUU yang telah menjadi UU merupakan jelmaan dari kebutuhan masyarakat itu sendiri.

Berdasarkan naskah akademik yang kita paparkan di atas, yang menjadi pertanyaan besar adalah, mampukah orang-orang yang mewakili rakyat, mengikuti proses perjalanan RUU menjadi UU secara keilmuannya?

Dari kasus Omnibus Law serta kasus-kasus sebelumnya, paling tidak membuat kita sedikit melek politik. Yang lebih penting lagi adalah selektif dalam memilih wakil rakyat.

Akan tetapi, mungkin terlalu berlebihan ketika menempatkan buruh sebagai yang tertindas dan paling dirugikan saat terjadi pergolakan di dalam pemerintahan. Jika mengkaji secara universal, mulai dari pendapatan perkapita, dll. Buruh masih di atas petani.

Berdasarkan data Badan Pusat Setatistik (BPS), rata-rata upah minimal buruh tani pada Januari 2019 sebesar Rp.53.604 per hari. Dengan demikian upah buruh tani perbulan Rp1,68 juta. Itu pun jika mereka bekerja tiap harinya, karena rata-rata pekerja buruh tani itu musiman. Data ini mengatakan, para petanilah yang paling merugi ketika kebijakan pemerintah tidak benar-benar matang.

Kita seharusnya memikirkan bagaimana masa depan dunia pertanian sebagai ketahanan pangan nasional. Merumuskan kembali kebijakan-kebijakan pemerintah yang bisa menjamin peningkatan kualitas perekonnomian para petani. Selain itu, usaha maupun industri yang mampu berdampingan dengan pelestarian lingkungan hanyalah dari sektor pertanian.

Data BPS pada tahun 2019 mengungkapkan, dari 267,7 juta penduduk Indonesia, masyarakat yang bekerja di dunia pertanian sejumlah 33,4 juta. Dalam artian, para petani menghidupi orang-orang yang berpenghasilan lebih besar. Secara tidak langsung, para petani mengalami penindasan berlipat dari kebijakan pemerintah.

Melihat fenomena ini, beberapa tahun terakhir pemerintah seakan melakukan gebrakan dengan membuat beberapa program dengan harapan mampu mengengentaskan para petani dari keterpurukan. Di antara program pertanian saat ini adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR), Kartu Tani, dan asuransi pertanian. Sayangnya, program ini pun masih dianggap mandul. Bahkan, ada juga yang malah menjadi parasit dalam dunia pertanian.

Terlepas dari segala permasalahan pelik dalam pemerintahan kita, semoga para pemimpin mampu mengentaskan segala kebijakan. Termasuk dalam UU cipta kerja, agar juga bisa diarahkan untuk mengembangkan dunia pertanian. Baik dari segi teknologi maupun distribusinya. Karena seyogyanya, dunia pertanian bukan hanya milik petani. Orang-orang kota, pejabat, buruh dan segala aspek masyarakat adalah bagian dari dunia pertanian.

M. Lutfi Maulana, Petani Muda (Pati)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.