Kalau ingatan tak khilaf, aku pertama kali mendengar novel Bumi Manusia, seri pertama Tetralogi Pulau Burunya Pram, di sebuah diskusi dengan teman-teman mahasiswa lintas kampus. Ketika itu aku masih semester 4.

Setelah dari diskusi itu, aku pun tertarik mencari novel tersebut, yang oleh pembicara dan salah satu kawan diskusi dijadikan rujukan dalam menggambarkan prilaku penjajah kepada pribumi Indonesia tempo dulu.

Kebetulan ada salah satu kawan memiliki novel tersebut dan aku meminjamnya dengan niatan untuk dibaca. Di luar dugaaan, karena bayanganku akan merasa asyik membaca novel ini, ternyata saat itu novel ini tak menarik minat untuk dibaca lebih lanjut, alih-alih khatam. Hanya beberapa halaman, lalu kutinggalkan.

Selang setahun atau dua tahun, minat membaca novel ini menjumbul kembali. Aku pun meminjam dari salah satu adik angkatan. Malam itu di gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM), aku sudah siap memulai membaca. Namun ternyata lagi-lagi novel ini terasa tak menarik dan aku tinggalkan begitu saja.

Entah karena apa, pada tahun selanjutnya aku berminat membeli novel itu, Bumi Manusia. Tak seperti sebelumnya, yang hanya sampai pada beberapa halaman saja, aku bisa merampungkan novel ini dan menikmatinya. Percakapan dan cerita dari novel ini juga beberapa aku catat.

Awalnya aku kira cerita dari novel ini tidak dilanjutkan pada seri berikutnya. Aku terperangkap pada rumor beberapa orang yang mengatakan itu. Tapi akhirnya aku mengetahui bahwa novel Bumi Manusia adalah seri pertama dari Tetralogi Pulau Buru yang semuanya berjumlah empat jilid: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak langkah dan Rumah Kaca.

Untuk yang Bumi Manusia, setelah khatam aku bersemangat menuliskan catatan sederhana tentangnya, yang awalnya dimuat di takselesai.com dan sekarang juga di muat di laman minerva.id dengan judul Empat Hal dari Bumi Manusia

Di seri yang pertama ini aku mendapati kisah seseorang yang sedang berada pada titik awal dalam proses menjadi seorang terpelajar-pejuang. Aku menemukan kata-kata yang turut membentuk karakter dirinya seperti “seorang pelajar harus adil sejak dalam pikiran” dan “melawan dengan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya”

Pada seri ke dua, Anak Semua Bangsa, aku juga bisa menuliskan catatan dengan judul “Melalui Novel, Pram Memberi Wejangan Menulis” yang di muat pada laman alif.id. Tak seperti catatan dari Bumi Manusia, aku baru bisa merampungkan catatan ini setelah membuat drafnya kurang lebih setahun.

Dari Anak Semua Bangsa ini, aku melihat Minke, tokoh utama dalam novel, berada pada proses kebangkitan setelah mengalami kekalahan sebagaimana dikisahkan pada novel Bumi Manusia. Minke juga digambarkan sedang mengalami proses menjadi seorang penulis yang lebih matang. Di seri ke dua ini ada banyak nasehat untuk seorang penulis, seperti keistimewaan daya teriak dari sebuah tulisan, menulis dengan data, tak berpidato dalam tulisan, menulis dengan bahasa bangsanya dan penyisipan secercah cahaya harapan dalam tulisan.

Pada novel yang ke tiga, Jejak Langkah dan yang ke empat, Rumah Kaca, aku belum menuliskan catatan tentang keduanya. Yang jelas, kalau ingatan tak khilaf, di dua seri terakhir ini, Pram menggambarkan bagaimana Minke mulai melakukan konsolidiasi perjuangan, membentuk organisai perjuangan, dan menjadikan pers sebagai alat propaganda perjuangan lengkap dengan tantangan-tantanganya yang tak mudah, dan kisah cintanya yang berliku.

Di seri terakhir, Ruma Kaca, Minke diasingkan oleh penjajah dan lalu dibebaskan dengan syarat tak ikut campur lagi dalam politik/perjuangan, namun ia dengan tegas menolak syarat itu. Akibatnya, Minke pun dibunuh secara perlahan setelah sebelumnya segala yang ia punya dilucuti sau persatu. Ia pun mati dan dikuburkan dalam sunyi, bahkan nama nisannya terindikasi sengaja dikaburkan.

Minke memang kalah, tapi setidaknya ia telah melawan, dengan sebaik dan sehormat-hormatnya perlawanan.

Zaim Ahya, Plumbon 21 Mei 2020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.