Bumi Manusia adalah sebuah tetralogi karya Pramoedya Ananta Toer, seri pertama dari seri lainnya Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Buku yang dicetak sejak 1980 dan sudah dicetak ulang sebanyak 20 kali oleh Lentera Dipantara—dan kali ini saya membaca cetakan yang ke 20 dan saya tak tahu buku ini akan dicetak ulang lagi atau tidak—cukup tebal digenggam karena berisi 550 halaman.

Sampul luar buku ini didominasi warna hijau dan kuning dengan tengahnya bergambar emlat orang dua lelaki, dua perempuan sedang menaiki kereta dengan dua kuda khas zaman dahulu. Pakaian yang dikenakan beberapa sosok di sampul itu beragam. Sang kusir berpakaian serba hitam dengan kaos dalam bercorak merah putih seperti pendekar dari Madura. Sedang di sebelah kusir ada pria dengan pakaian adat Jawa laiknya seorang pangeran dan di kursi belakang ada dua wanita dengan pakaian yang berbeda, yang satu memakai kebaya dan jarit dengan rambut disanggul khas ibu-ibu di negeri Jawa, dan yang satunya memakai gaun dengan rambut diuraikan dan berjambul.

Waktu pertama kali melihat buku ini mungkin pembaca akan terheran heran dan bertanya siapakah empat orang disampul ini, namun ketika mulai membaca pembaca akan segera mengetahui siapa empat orang yang digambarkan disampul. Mereka adalah tokoh yang diceritakan di dalam buku!

Pram, dalam novelnya itu, bercerita teentang seorang pemuda Jawa yang dipanggil Minke. Sebenarnya nama itu bukanlah nama asli melainkan hanya sapaan, namun didalam buku ini tidak disebutkan siapa nama asli Minke bahkan diceritakan tokoh utama ini lupa dengan namanya sendiri karena saking seringnya dipanggil dengan sapaan Minke.

Cerita dalam Bumi Manusia berlatar kan pada zaman Hindia Belanda (Nedherland Indische. 1890-an) dimana seorang pemuda bernama Minke menjalani kehidupannya yang selalu mengagungkan pengetahuan Eropa, sampai ia kehilangan jati diri bangsanya sebagai pemuda Jawa.

Diceritakan, dia diajak oleh temannya bernama Robert Suurhoft ke rumah salah satu temannya di Wonokromo (daerah di Jawa Timur dekat dengan kota Surabaya) bernama Robert Mellema yang hidup dengan seorang gundik sekaligus ibunya bernama Sanikem yang akrab dipanggil Nyai Ontosoroh dan juga adiknya bernama Anneliess Mellema.

Dalam kunjungannya ke rumah teman Suurhoft yang memiliki perusahaan peternakan bernama Boerderij Boeitunzorg, Minke yang juga memimpikan seorang dara dari Eropa langsung jatuh cinta pada Annelies. Di pertemuan mereka yang pertama, dengan sengaja Minke mencium Anneliess dan membuat ia jatuh hati pada Minke hingga keesokan harinya dan seterusnya Annelies menginginkan Minke hidup satu rumah dengannya. Nyai ontosoroh yang tak kuasa jika putrinya bersedih karena tak bisa jauh dari lelaki idamannya terus mengejar Minke dan meminta untuk hidup di rumahnya selama beberapa waktu.

Kehidupan Minke di rumah tersebut mendatangkan masalah demi masalah yang datang bergantian. Diawali dengan kecemburuan kakak Annelies karena sang Ibu lebih memanjakan dan mengagungkan Minke dan berlanjut hingga berubahnya sikap Robert Mellema yang kabur dari rumah dan bersembunyi di rumah pelesiran tetangganya dari keluarga Tionghoa bernama Ah Tjong dengan membawa dendam dan berencana membunuh Minke. Namun rencana itu tek pernah terealisasi, karena selalu diawasi oleh pembantu sekaligus prajurit Nyai Ontosoroh bernama Darsam.

Tak hanya itu Minke juga mendapat masalah dengan keluarganya sendiri yang hidup sebagai keluarga Bupati kota B yang tidak merestui bahkan melarang Minke hidup bersama dengan nyai-nyai.

Banyaknya gesekan yang terjadi membuat Minke terkadang berpindah, tinggal ke rumah seorang pensiunan tentara bernama Jean Marais dan Mevrouw Telinga. Di sana dia sering menulis tentang Nyai Ontosoroh kemudian diterbitkan. Banyak tulisan Minke yang mendapat apresiasi dari berbagai pihak termasuk guru yang ia sayangi Jeufrow Magda Petters.

Masalah demi masalah hadir sepanjang tinggalnya Minke di rumah Annelies hingga pada akhirnya ditemukan Ayah Annelies Herman Mellema tewas karena keracunan di rumah pelesiran Babah Ah Tjong. Di sinilah konflik puncak terjadi di mana seluruh harta Nyai dirampas kepemilikannya oleh Ir. Maurits Mellema putra dari istri syahnya Tuan Mellema. Nyai tidak dapat mempertahankan semua hartanya tersebut termasuk putrinya sendiri Annelies juga dibawa ke Nedherland supaya hidup dengan keluarga Mellema di sana, tanpa Nyai Ontosoroh dan Minke.

Dalam novel ini pembaca akan disuguhkan kejadian dan hukum yang terjadi di zaman penjajahan dulu di mana berlakunya sistem kasta sosial berdasarkan warna kulit. Seseorang yang memiliki warna kulit putih dalam konteks ini bangsa Belanda mendapatkan kelas teratas dari pada seseorang yang memiliki warna kulit gelap yang dimiliki oleh masyarakat pribumi.

Dalam berbagai hal, entah itu hukum, atau pun hak dan kekuasaan orang kulit putih yang lebih leluasa menentukan hukum dan menerima hak asasi yang berlaku. Dijelaskan bahwa ada empat kasta sosial yang berlaku zaman ini. Kasta paling atas adalah bangsa Eropa asli (orang Belanda). Di bawahnya ada Indo dan Totok, yaitu seseorang yang memiliki darah Eropa baik dari sang ayah atau pun sang ibu yang menikah atau berhubungan dengan pribumi. Lalu yang paling bawah adalah Pribumi atau warga asli bangsa Hindia Belanda.

Adanya kelas sosial semacam ini seolah olah jadi rebutan dan dambaan beberapa individu yang menginginkan hak-haknya terpenuhi. Mereka sangat menginginkan berada di kelas paling atas atau kelas bangsa Eropa yang mendapatkan kebebasan berpendapat dan kebebasan hidup dengan jaminan keamanan dari negara hal ini sampai terjadi di kalangan pelajar.

Diceritakan Robert Mellema sangat mengidam-idamkan hidup di negeri Eropa bersanding dengan masyarakat kulit putih dengan segala kelebihannya dan segala ilmu pengetahuan yang lebih maju dari pada di Hindia. Kegilaannya pada negeri Belanda ini hingga membuat dirinya berlaku tidak sopan pada ibunya sendiri dan juga Minke yang hanya seorang pribumi. Tak hanya itu di sekolah tempat Minke belajar, ketika siswa pribumi mempunyai kelebihan, maka akan dianggap sebagai hal yang baru dan mengherankan oleh siswa yang dari Eropa asli maupun dari Indo/Totok. Bahkan diceritakan siswa yang Totok maupun Indo terkadang menyembunyikan ke Totok-an-nya dan mengaku bahwa dirinya sepenuhnya Eropa pada para guru dan siswa lainnya.

Pram sangat pandai dalam merangkai kata-kata, terlebih penulis menyisipkan kata-kata dari bahasa Belanda seperti Mevrouve, Tweeder, Vaandrig dan semacamnya, sehingga pembaca seperti dibawa ke kehidupan masa itu, di mana bahasa Belanda dijadikan bahasa resmi utama. Alur ceritanya juga runtut, namun ada beberapa bab yang sempat saya bingungkan.

Penulis juga sangat lihai memaparkan sifat dari para tokoh dalam cerita ini. Seperti Nyai Ontosoroh yang diterangkan memiliki kebijaksanaan yang sangat tinggi yang digambarkan melalui cara jalannya yang tegap dan berpandangan ke depan, dan gaya bicaranya yang tegas ketika hak-haknya dirampas oleh orang Belanda, dan juga keuletannya mengurus kantor perusahaan seorang diri tanpa bantuan dari orang lain.

Ada pula sifat Minke yang ditulis sebagai seorang yang mengagumi ilmu pengetahuan Eropa, sehingga kehilangan sifat ke-Jawanya, namun masih memiliki jiwa nasionalisme yang tersembunyi. Ini diceritakan ketika ia bertamu ke rumah keluarga De la croix dan berbincang-bincang pada putrinya Sarah dan Miriam De la croix. Mereka membicarakan tentang banyak hal yang menyinggung tentang sekolahnya H.B.S. juga warga pribumi yang dianggapnya sebagai masyarakat rendahan.

Suatu ketika Mirriam memberitahu tentang teori asosiasi milik Doktor Snouck Hurgronje dimana warga Eropa dapat membuka kerja sama terhadap para pelajar pribumi agar mengatur negaranya sendiri, Minke menanggapi dengan nada pertanyaan kritis:

“Mengapa teori tersebut tidak lahir tiga ratus tahun yang lalu di saat pribumi tidak keberatan memikul tanggung jawab bersama bangsa Eropa ?”

Minke bermaksud menyatakan bahwa teori tersebut datang terlambat karena sudah sangat lama pribumi murka terhadap bangsa Belanda dan hendak mengusir mereka dari bumi Nusantara dengan nada sindiran.

Novel setebal lima ratus lebih halaman ini banyak sekali memberi kita pengajaran dan pelajaran. Pram banyak menceritakan kegigihan dan keuletan seseorang dalam bekerja dan belajar menuntut ilmu, juga mengajak kita untuk berlaku adil sebagai seorang terpelajar dan harus berani melawan sesuatu yang tidak benar, walaupun akhirnya kalah, sebagaimana terekam dalam dialog antara Minke dan Nyai Ontosoroh di akhir novel ini:

Saat Annelis pergi, Minke berkata pada Nyai Ontosoroh: “Ma, kita kalah”.

“Iya Nyo, tapi kita telah melawan dengan sebaik-baik dan sehormat-hormatnya” jawab Nyai Ontosoroh.

Hafedz Maschun, Rekan IPNU PAC Limpung, Pecinta buku-buku sastra dan Pegiat di taman baca takselesai.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.