Selain itu, Foucault pun mengusung konsep genealogi yang mencoba menelusuri asal-usul tak sedap dari suatu pengetahuan, yang menunjukkan pengaruh lainnya dari Nietzsche terhadap Foucault. Hal ini terkait dengan Nietzsche yang acapkali mendaku sebagai psikolog, suatu klaim yang seringkali tidak ditanggapi secara serius oleh para filsuf.
Solomon menjelaskan bahwa maksud klaim tersebut ialah “Para filsuf cenderung menuntut kebenaran dari suatu kepercayaan, tetapi para psikolog lebih tertarik pada mengapa seseorang mempercayai apa yang diyakininya. […] Doktrin-doktrin filosofis juga membawa serta rasa yang kuat akan universalitas dan keniscayaan, sementara analisis psikologis tetap terikat pada berbagai kontingensi partikular dari satu kepribadian atau suatu masyarakat. Akan tetapi Nietzsche curiga terhadap berbagai klaim universalitas dan keniscayaan, dan ia bisa dikatakan selalu lebih menyukai wawasan psikologis yang jenaka, melinglungkan atau bahkan ofensif ketimbang tesis filosofis besar.”
Nietzsche memandang dirinya sendiri sebagai pakar diagnostik, sedangkan filsafatnya sendiri terdiri dari begitu banyak diagnosis spekulatif, mengenai kebijaksanaan mau pun sifat buruk dari para filsuf serta para pendukungnya yang mempengaruhi semangat zaman saat itu. Maka strategi utama yang Nietzsche gunakan adalah argumentum ad hominem, yaitu teknik retorika yang seringkali ditolak dan dianggap sebagai “kesalahan” sebab menyerang motif dan emosi para lawannya ketimbang menyodorkan pembuktian kesalahan ide dan argumen mereka.
Solomon kembali menjelaskan bahwa “Dia bertanya-tanya apa yang membuat orang ‘mencentang’, dan dia dengan tepat mencurigai bahwasanya apa yang mereka pikirkan dan katakan tentang dirinya sendiri serta cita-citanya hampir selalu menyesatkan, keliru, atau sekadar penipuan. Tetapi tak ada penipuan diri serta kemunafikan yang lebih tersebar luas dalam berbagai aspek kehidupan di mana orang-orang biasa maupun juga para filsuf dan teolog itu cenderung untuk membuat berbagai pernyataan agung tentang berbagai subjek adiluhung seperti Tuhan, kebebasan manusia, dan moralitas.”
Argumentum ad hominem yang digunakan oleh Nietzsche ini hendak mengajak kita tidak hanya melihat tanaman yang menjadi tempat tumbuhnya bunga maupun buah, tetapi melihat ke benih yang ditanam serta tanah tempat tumbuhnya pohon tersebut beserta berbagai faktor yang mempengaruhi kondisi tanah itu. Nietsche ingin memahami apa yang disebutnya sebagai “kehendak akan kebenaran,” dan retorika argumentum ad hominem tersebut, bagi Nietzsche, menawarkan tesis tentang “perspektivisme”, yaitu bahwasanya seluruh doktrin dan opini itu hanyalah parsial dan terbatas pada titik pandang tertentu.
Nietzsche tidak merumuskan filsafatnya dalam bentuk sistematik sesuai pengertian Hegelian, karena gaya aforistik dan fragmenter dari tulisannya membuat filsafatnya sangat sulit disintesiskan atau dirangkum menjadi ringkas. Dia juga tidak banyak memberikan analisis dan justifikasi atas konsep dan doktrin filsafat, tidak hanya terfokus pada konsep atau doktrin saja seperti halnya para filsuf pada umumnya, tetapi lebih kepada pemahaman akan tipe orang yang merumuskan pemikiran filosofis tertentu.
Dalam hal ini Solomon menjelaskan bahwa Nietzsche “…[T]idak menyasar kebenaran abadi (kecuali sebagai target), tetapi filsafatnya juga tak lain adalah upaya untuk meledakkan kebenaran palsu dan mengakhiri pertanyaan yang bersifat menipu. Ini bukanlah antifilsafat tetapi suatu pendekatan yang lebih personal terhadap filsafat, di mana filsafat dan sang filsufnya tidak begitu dibedakan secara radikal, bahwasanya karakter dari sang pribadilah—dan bukan semata “ketepatan” dari apa yang dia yakini—yang diperhitungkan.”
Seperti halnya Hegel, Nietzsche pun berpandangan bahwa kita hanya akan bisa benar-benar memahami sebuah fenomena ketika memahami asal-usulnya, perkembangannya, dan bagaimana hal tersebut mendapatkan tempat dalam kesadaran manusia. Namun maksud “memahami” di sini tidak harus selalu mengarah kepada sebentuk apresiasi lebih jauh.
Maka, menurut Solomon, “Menunjukkan kebenaran yang memalukan inilah salah satu tujuan utama Nietzsche, dan gayanya adalah gaya ahli bedah […] Membedah hingga ke inti moralitas, dia adalah ahli diagnostik yang kejam, dan metode diagnosisnya adalah argumen ad hominem.” Adapun penggunaan argumentum ad hominem oleh Nietzsche sangat berkaitan dengan pandangannya tentang “perspektivisme” yaitu bahwa seseorang selalu mengetahui atau mencerap atau berpikir tentang sesuatu sudah selalu dari suatu “perspektif” partikular, dan tak mungkin dari sudut pandang yang bebas perspektif serta global.
Yulius menandaskan bahwa “… [I]nti perspektivisme pada dasarnya adalah suatu penyelubungan akan realitas kaotis itu sendiri. […] [P]erspektivisme sudah selalu mencakup ketegangan antara kesadaran dan insting manusianya. Dalam konteks tersebut, Nietzsche memperlihatkan bahwa kekeliruan pengetahuan bermula karena manusia menerjemahkan realitas yang asing menjadi realitas yang dikenalnya. […] Oleh karena itu, Nietzsche menawarkan suatu eksperimen untuk mempersoalkan kembali segala hal yang telah dikenalnya—termasuk diri manusia sendiri.”
Pemikiran Nietzsche yang terkait dengan argumentum ad hominem ini adalah tentang genealogi, yang nantinya digamit juga oleh Foucault. Genealogi bukanlah semata sejarah, pencarian akan asal-usul, verbal atau pun material, namun semacam penelanjangan, melepaskan topeng, melucuti pretensi universalitas dan klaim yang semata mementingkan diri sendiri dari spiritualitas. Nietzsche menyajikan teknik genealogi seolah-olah itu bukan apa-apa selain hanya deskripsi saja, namun bahasanya memperlihatkan bahwasanya itu tidak lain adalah penelanjangan atas kesemua hal tersebut. Solomon menandaskan bahwa “Inti dari genealogi adalah untuk menunjukkan pluralitas sejarah manusia dan perbedaan esensial antara nilai-nilai dari mereka yang lemah dan nilai-nilai dari mereka yang kuat.”
Foucault menggambarkan genealogi melalui metafora yang agak puitis sebagai perkamen tua berwarna abu-abu yang telah mendokumentasikan dengan teliti, yang mulai tercabik-cabik di sana sini karena dibuka lagi dan lagi untuk disalin berulang berkali. Melalui penggambaran ini Foucault kemudian mengkritik kecenderungan dalam menggambarkan sejarah yang dipandang dari perkembangan linear, dan menandaskan bahwa “…[G]enealogi mengingat kembali pengekangan yang mestinya ada: genealogi harus mencatat singularitas dari berbagai peristiwa di luar dari finalitas monoton apa pun; genealogi harus mencarinya di tempat-tempat yang paling tidak menjanjikan, dalam sesuatu yang kita cenderung merasakan tak ada sejarah—dalam sentimen, cinta, hati nurani, naluri; genealogi harus peka terhadap pengulangannya, bukan untuk melacak kurva gradual dari evolusinya, tetapi untuk mengisolasi berbagai skena berbeda di mana mereka terlibat dalam peran yang berbeda.”
Tujuan genealogi bukanlah untuk mengukuhkan penggambaran tentang esensi atau prinsip yang tak berubah, sebuah ekspektasi akan kemajuan evolusioner, atau “penyebaran metafisik dari signifikansi ideal dan tak terbatas atas teleologi.” Melalui genealogi, Foucault mencari berbagai percabangan dari praktik, institusi, dan kebenaran yang kemudian diterima, sehingga “Apa yang ditemukan pada permulaan sejarah dari berbagai hal bukanlah identitas yang tidak dapat diganggu gugat dari sananya; ini […] disparitas.”
Genealogi berfungsi untuk menjelaskan perubahan dalam sejarah diskursus—tepatnya, membuka kedok berbagai aturan diskursif yang membentuk batang tubuh pengetahuan—dalam kaitannya dengan kuasa, sedangkan untuk menganalisis perkembangan batang tubuh pengetahuan dari dalam sistem kuasa, Foucault menggunakan metode historis baru yang disebutnya sebagai arkeologi. Pemikiran Foucault tentang arkeologi itulah yang paling banyak dipakai dalam buku ini.
[Cuplikan dari draft monograf berjudul “Gnōthi Seauton: Etika Pengenalan Diri Menurut Platōn”. Alhamdulillah, self-isolation bisa juga mengondisikan untuk lebih tekun merevisi naskah yang awalnya adalah tesis di STF Driyarkara tahun lalu ini. Sekalipun besok kematian datang menghampiri, toh hari ini masih banyak hal yang bisa kita pelajari dan kerjakan. Bismillah…]
*Dikutip dari status Facebook Alfathri Adlin [Filsuf, penulis dan Dosen Sosiologi Desain ITB]